Sekelumit Inspirasi Profesor Muladno




SEORANG pendekar sakti mandraguna tak membutuhkan satupun senjata untuk bertarung. Di saat dia harus mengeluarkan kesaktian, ranting pun bisa menjadi pedang. Jika kehidupan ini serupa arena kependekaran, seseorang tak perlu berbagai atribut untuk sekadar dianggap sakti. Dia hanya butuh sesuatu yang muncul dari dalam dirinya. Dia cukup tampil apa adanya.

Di dunia akademis, ada banyak orang yang selalu ingin disapa dengan gelarnya. Tapi di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), saya menemukan satu teladan yang justru tak ingin dipanggil dengan gelarnya. Di saat sosok itu menjabat satu posisi penting di kementerian, dia justru melepaskan semua gelar akademik, dan hanya bersedia dipanggil dengan namanya saja.

Perkenalkan, nama lengkapnya Profesor Muladno.

***

SUATU sore, saya bersiap-siap hendak meninggalkan kantor di kampus IPB Bogor. Seorang bapak masuk ke dalam ruangan tempat saya berkantor bersama beberapa orang. Bapak itu membawa dua anak kecil dan menunggu di situ. Rupanya, dia menunggu atasan saya yang saat itu sedang menerima tamu,

Saya lalu menemaninya berbincang. Dia mengaku sebagai warga biasa. Pengakuannya, dia seorang peternak, yang bersama salah satu bos di kantor saya, hendak mendirikan Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). Kami berbincang lama. Saya merasakan pribadinya hangat dan suka berbicara berbagai topik.

Seminggu setelahnya, ada acara diskusi di kantor saya. Saya melihat bapak itu duduk di deretan paling belakang. Yang menjadi pembicara adalah para profesor dan doktor. Tiba-tiba saja, moderator berkata, “Kita beri kesempatan kepada Profesor Muladno untuk berbicara.”

Saya menoleh ke kiri ke kanan mencari yang dipanggil Professor Muladno. Pelantang suara lalu diserahkan ke bapak yang seminggu sebelumnya berbincang dengan saya. Ternyata dialah Professor Muladno, yang saat itu menjadi dekan di salah satu fakultas di IPB. Bapak yang rendah hati itu sebelumnya memperkenalkan diri. Dia tak menyebut namanya sebagai profesor. Dia menjadi dirinya sendiri.

Pada saat itu, saya melihatnya sebagai sosok lain. Dalam diskusi itu, hampir semua orang yang hadir di situ disapa dengan gelarnya. Ia menjadi dirinya sendiri, dan barangkali ingin dilihat secara orisinal dengan buah pikirannya sendiri. Padahal, di banyak kampus, saya amat sering menyaksikan para akademisi selalu memulai perkenalan dengan berbagai gelar berderet, setelah itu mengemukakan buah pikirannya yang ternyata tidak sementereng gelarnya.

Tapi, Profesor Muladno ini berbeda. Barangkali, dia tak lagi memerlukan pengakuan di satu acara dskusi. Sebagai akademisi, reputasinya cukup mentereng sebagai seorang profesor di usia muda, publikasi di banyak media internasional, serta kiprahnya yang bersih dan berwibawa. Dari sisi keilmuan, dia mencapai banyak hal di usia yang masih terbilang muda. Pencapaian itu tak sedikitpun membuatnya jumawa.

Saya terkenang dengan kehangatan pribadinya saat berbincang. Dia cukup fleksibel dan bisa memosisikan diri saat bersama siapa saja. Dalam pembicaraan sebelumnya, dia jelas tak ingin merusak suasana dengan menyebut dirinya sebagai profesor. Mungkin dia berpikir, ketika menyebut siapa dirinya, maka saya akan sungkan dan memberinya perhatian sebagai orang berpangkat.

Saya akhirnya melihat kiprahnya. Dirinya bukan tipe akademisi tulen yang hanya melakukan kegiatan riset dan mengajar. Dia turun lapangan, bersahabat dengan banyak peternak, lalu mengorganisir mereka ke dalam wadah bernama Sekolah Peternakan Rakyat (SPR). Dia melakukan transformasi pengetahuan dari dunia akademik yang melangit itu ke masyarakat biasa. Sebagai profesor bidang peternakan, dia memandu, membimbing, dan mengajari para peternak agar bisa lebih produktif. Dia membumikan pengetahuan menjadi anugerah berharga bagi banyak orang biasa melalui kerja-kerja pemberdayaan yang dilakukannya.

Tak lama setelah diskusi itu, saya mendengar dirinya diangkat sebagai Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian RI. Dia menjadi pejabat eselon satu yang bertanggungjawab untuk mengurusi soal ternak. Dia beberapa kali tampil di televisi. Dalam satu penampilan, saya menyimak bagaimana presenter televisi menuduh adanya penimbunan sapi. Dengan santainya dia menjawab, “Saya orang peternakan. Para peternak selalu ingin sapinya segera dijual selagi muda. Semakin ditimbun, maka sapi itu akan semakin tua, yang justru semakin tidak laku. Problem yang harus kita atasi adalah kelangkaan sapi.”

Dia tetap menjadi Muladno yang dulu. Dia tetap mendedikasikan dirinya untuk orang banyak. Sungguh langka melihat pejabat sepertinya bersedia berbagi ilmu dengan peternak dalam satu siklus pembelajaran kreatif yang didesain orang dewasa. Dalam banyak kesempatan, ia mengatakan kalau posisinya itu didedikasikan untuk orang banyak.

Dia pun menolak memakai gelar profesornya, sebab menganggap gelar itu hanya tepat digunakan di ranah akademis. Bahkan, dia juga jarang menggunakan gelar doktornya di kementerian. Baginya, gelar itu tak tepat digunakan pada ranah birokrasi. Dengan cara itu, dia membangun kultur kerja yang egaliter. Dia memosisikan dirinya sama dengan orang lain, dan lebih mengedepankan visi serta kerja keras.

Sikap Muladno meningatkan saya pada sikap para profesor di Amerika Serikat. Di negeri itu, para profesor berinteraksi dengan mahasiswa tanpa ada batasan. Saking akrabnya, mahasiswa memanggil professor dengan nama panggilan. Sewaktu di sana, saya sungkan juga saat harus menyapa Profesor Don Flournoy, seorang pakar kajian media, dengan panggilan Don. Sempat sungkan pula harus menyapa pemimbing saya Dr Lawrence Wood dengan panggilan Woody.

Mahasiswa Amerika santai saja dengan panggilan nama ke profesornya. Demikian pula profesornya. Bukan berarti mereka menganggap rendah sang profesor. Sebab, mereka sangat menghormati semua profesor itu. Dalam interaksi yang sejajar, orang tidak lantas merasa lebih tinggi dari yang lain. Mereka saling menghormati dan menghargai posisi semua pihak. Saya menikmati saat bekerja dengan profesor, yang serupa bekerja dengan rekan sejawat. Interaksinya natural dan saya merasa bebas berbicara apapun.

Di tanah air, kenyataannya sering berbeda. Posisi sebagai guru besar seringkali menjadi alasan bagi penyandangnya untuk diperlakukan lebih tinggi. Hubungan antara profesor dan mahasiswanya menjadi hubungan antara dua pihak yang tidak setara. Posisi guru besar ditransformasikan menjadi kelas sosial yang lebih tinggi, yang seringkali menuntut penghargaan dan pengistimewaan secara berlebih. Mahasiswa pun terpaksa menerima keadaannya yang seakan terjajah. Mahasiswa bersedia melakukan apapun demi sekadar mendapatkan nilai atau apresiasi dari profesornya. Relasi itu tak berujung pada produktivitas, malah pelestarian hierarki dan kultur patron-client.

Namun, Muladno berbeda dengan yang lain. Pada dirinya, saya menemukan kultur egaliter yang menekankan pada kerja keras. Saya berharap agar pencapaiannya di bidang akademik bisa berjalan seiring dengan kiprahnya di dunia birokrasi. Namun saya sadar kalau dunianya berbeda. Ranah akademisi menuntut kerja individual cemerlang demi menggapai prestasi dan kinerja penelitian yang bermutu, sedangkan ranah birokrasi adalah ranah di mana seseorang harus memahami ritme, aturan main, dan kerja kolektif dengan banyak orang, yang belum tentu bersesuaian ide.

Saya tahu bahwa tantangannya tidak mudah. Pada sosok yang bersahaja dan selalu ingin tampil apa adanya itu, saya menyerap banyak pelajaran berharga.



Bogor, 27 Juni 2016

BACA JUGA:








0 komentar:

Posting Komentar