Kisah Petani yang Berhenti Menyadap Karet

Tagah, petani karet di Muara Teweh

BAPAK itu bernama Tagah. Ia tinggal di depan site perusahaan listrik Bangkanai, Muara Teweh, Kalimantan Tengah. Rumahnya adalah satu dari sebanyak 10 rumah yang berada di depan perusahaan. Ia tinggal bersama istrinya Galuh dan keempat anaknya. Semua anaknya adalah laki-laki dan bekerja di berbagai perusahaan di dekat situ. Ada yang bekerja sebagai buruh, ada pula yang bekerja sebagai tenaga security. Anaknya adalah Suparman, Fahrurrozi, Joni Rumansyah, dan Ali Sadikin.

Ia mengaku merupakan anggota etnis Dayak Bakumpai. Kebanyakan anggota Suku Dayak Bakumpai beragama Islam, namun masih banyak juga yang  masih beragama lokal yakni Kaharingan. Mereka banyak ditemukan di Marabahan, yang terletak di salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan yakni Kabupaten Barito Kuala, kemudian menyebar melalui pesisir.

Bakumpai adalah julukan bagi suku dayak yang mendiami daerah aliran sungai Barito. Bakumpai berasal dari kata ba (dalam bahasa banjar diartikan memiliki) dan kumpai yang artinya adalah rumput. Dari julukan ini, dapat dipahami bahwa suku ini mendiami wilayah yang memiliki banyak rumput. Menurut legenda, bahwa asal muasal suku Dayak Bakumpai adalah dari suku Dayak Ngaju yang akhirnya berhijrah ke Marabahan.

Suku Dayak Bakumpai, dalam bahasa Belanda disebut Becompaijers/Bekoempaiers, adalah subetnis rumpun Dayak Ngaju yang tinggal di sepanjang tepian daerah aliran sungai Barito di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yaitu dari kota Marabahan, Barito Kuala sampai kota Puruk Cahu, Murung Raya. Suku Bakumpai berasal bagian hulu dari bekas Distrik Bakumpai sedangkan di bagian hilirnya adalah pemukiman orang Barangas. Mereka tinggal di pesisir sungai sebab sungai itu menjadi nadi dari segala aktivitas, mulai dari mandi, cuci, dan juga buang air besar.

Orang Dayak Bakumpai memiliki beragam profesi. Banyak di antara mereka yang bergantung pada hutan dan berprofesi sebagai penyadap karet, pengumpul rotan, dan penebang kayu. Mereka juga berkebun yang hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Profesi ini telah dilakoni selama puluhan tahun di hutan-hutan adat yang dahulu menjadi area perburuan nenek moyangnya.

Dahulu, Tagah tinggal di Marabahan. Ia adalah peladang berpindah di hutan-hutan sekitar Barito. Selanjutnya ia lalu berprofesi sebagai penyadap getah karet sebab hasilnya cukup menjanjikan. Ketika harga jual karet jatuh, ia lalu mencari profesi lain. Dia lalu pindah ke sekitar site pembangkit karena meyakini kawasan itu akan berkembang. Apalagi, ia bekerja sebagai penyadap karet di sekitar pembangkit itu. Tapi sejak dua tahun terakhir, ia tidak lagi menyadap karet. Mengapa? “Sebab keuntungan dari menyadap karet sangat sedikit. Tak sebanding dengan kerja keras untuk menanam pohon, merawat pohon, lalu menyadap getahnya menjadi karet,” katanya.

Di masa jayanya, harga karet bisa mencapai 15 ribu rupiah per kilogram. Kini, harga karet turun drastis dan hanya mencapai 4.000 rupiah per kilogram. Jumlah ini tak sebanding dengan kerja keras para petani karet. “Sekarang susah bertahan alau hanya menjadi penyadap karet. Penghasilan itu tidak cukup untuk membeli bahan kebutuhan pokok. Harga gula pasir saja 20 ribu per kilogram. Beras 10.000 per kilogram. Bagaimana mau bisa belanja kalau hanya jadi petani karet,” katanya.

Harga getah karet sejak dua tahun terakhir terus anjlok. Di tingkat petani, harga karet terus mengalami penurunan, dari 15 ribu menjadi 10 ribu rupiah per kilogram. Dan sudah setahun ini anjlok lagi dikisaran 5 ribu hingga 4 ribu rupiah per kilogram. Padahal, karet adalah salah satu komoditi penghasil devisa negara, sekaligus jadi lapangan kerja bagi penduduk Indonesia. Namun nasib petani karet sangat memprihatinkan.

rumah di atas sungai

Para petani bertanya-tanya, mengapa harga karet bisa terpuruk. Kualitas getah karet semakin membaik. Permintaan karet juga makin tinggi. Apalagi nilai dolar AS juga semakin tinggi. Tapi entah kenapa, kondisi petani karet masih memprihatinkan. Karet diserap ke pasar dengan harga sangat murah. Akibatnya, di beberapa tempat, kondisi petani karet sangat terpuruk. Media melaporkan banyak anak petani karet yang putus sekolah. Kriminalitas meningkat. “Kalau andalkan hasil bumi bisa sakit. Untung ada perusahaan listrik yang bisa diharapkan untuk memberikan lapangan pekerjaan bagi warga sekitar,” kata Tagah.

Tak hanya Tagah, banyak orang Dayak Bakumpai lainnya hanya bisa memandang roda zaman yang kian berubah. Masuknya berbagai korporasi besar di Kalimantan menjadi awal dari hari-hari mereka sebagai buruh di berbagai perkebunan kelapa sawit ataupun di beberapa perusahaan pertembangan. Mereka menjadi pekerja kasar dan kuli di perusahaan, lalu meninggalkan profesi mereka sebelumnya yang beraktivitas di hutan sebagai petani dan pekebun.

Tagah pun tak kuasa menghadapi arus perubahan. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penyadap karet. Ia lalu datang ke dekat pembangkit lalu membeli sepetak lahan. Di situ, ia mendirikan rumah kecil yang nampak sesak untuk menampung semua anggota keluarganya. Di depan rumah kecil itu, ia lalu membuka warung kecil yang sering dipenuhi para pekerja. Ia menjual kopi, teh, serta beberapa kue-kue.

Saat saya singgah di warung itu, ia lalu mempersilakan saya untuk memiih hendak meminum apa. Saat menyebut kopi, ia lalu mengambil kopi dalam kemasan, menyobeknya, lalu menyilahkan saya untuk mencicipi. Sambil mencicipi kopi kemasan itu, saya memilih untuk mendengarkan kisah-kisahnya.

“Di sini, hampir tak ada lagi yang bisa menjadi penopang kehidupan ekonomi warga. Hutan telah lama dikapling oleh swasta. Hasil bumi sudah lama dikeruk. Kita hanya kebagian jadi perambah hutan yang bisa menjual beberapa komoditas seperti rotan dan damar,” katanya lagi.

Saya menangkap nada getir dalam suaranya. Pernyataannya memang tidak salah. Kalimantan dikenal sebagai pulau besar yang menjadi rebutan bagi banyak orang. Di sini, semua sumber daya alam dikuras demi memaksimalkan berputarnya roda kapitalisme. Alam Kalimantan telah lama menjadi ladang jarahan dari banyak pihak yang saling bekerja sama demi orientasi kehidupan jangka pendek, tanpa memilikirkan bagaimana mewariskan bumi kepada generasi penerus.

Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin 148.820 orang, atau sekitar 6,07 persen dari total penduduk. Untuk Kabupaten Barito Utara sendiri, jumlah penduduk miskin adalah lebih 7.450 orang atau 5,88 persen dari populasi.

Bertambahnya jumlah orang miskin ini dimulai sejak kegiatan penebangan liar (illegal logging) dilarang oleh pemerintah, sehingga masyarakat seolah kehilangan mata pencaharian mereka yang menjanjikan. Pemerintah melabel kegiatan warga sebagai ilegal, dan di saat bersamaan memberikan akses penebangan hutan kepada korporasi besar. Demikian pula yang terjadi di sektor pertambangan. Masyarakat tidak memiliki akses atas pengelolaan sumberdaya sebab dianggap bisa merusak ekosistem dan lingkungan.

Sayangnya, alasan ini tidak berlaku saat memberikan ijin konsesi kepada pihak swasta. Kemiskinan itu semakin merebak saat beberapa faktor seperti rendahnya tingkat pendidikan, ikatan adat-istiadat, jumlah keluarga yang besar, usia perkawinan muda, kebiasaan minum tuak, dan tidak adanya kreativitas untuk mencari terobosan di bidang perbaikan kehidupan ekonomi keluarga.

Maraknya perkebunan dan pertambangan memosisikan masyarakat setempat hanya sebagai penonton. Usaha perkebunan dan pertambangan dikerjakan dengan skala besar, yang keuntungannya hanya dinikmati segelintir elite politik di Jakarta. Sungguh ironis saat melihat provinsi yang kaya dengan sumberdaya alam itu memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Kita bisa mengambil kesimpulan kalau kekayaan tidak terdistribusi secara merata. Padahal, masyarakatlah yang mengalami dampak dari kerusakan lingkungan seperti banjir, tanah longsor, hingga hilangnya sumber mata pencaharian di hutan-hutan.

Save Our Borneo (SOB), sebuah lembaga peduli lingkungan, menyatakan sekitar 80% kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan disebabkan ekspansi sawit oleh perusahaan besar. Lembaga ini memaparkan kerusakan terbesar hutan di Kalimantan adalah karena pembukaan lahan untuk kelapa sawit, dan sisanya sebanyak 20% karena pertambangan, dan area transmigrasi.

Lembaga ini juga memaparkan, berdasarkan prediksi tren 10 tahunan, dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektare, laju kerusakan hutan (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16%. Kerusakan hutan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah tercatat sebagai yang terluas dibanding tiga provinsi lain dari sisi luasan kerusakan yakni mencapai 256 ribu hektare per tahun.

warga yang mencuci dan mandi di sungai
rumah di atas sungai

Dari lebih 10 juta luas hutan yang dimiliki Kalimantan Tengah, laju kerusakannya telah menembus sekitar 2,2% per tahun. Sementara Provinsi Kalsel, memiliki laju kerusakan yang paling cepat dibanding provinsi lain, meski luasannya relatif kecil. Tercatat seluas 66,3 ribu hektare hutan musnah per tahun dari total luas wilayah hutan sekitar 3 juta hektare.

Kondisi hampir serupa terjadi di tiga provinsi lain, dengan luas dan laju yang berbeda. Penyebab utamanya karena pembukaan pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit. Kalimantan Barat misalnya, dari luas wilayah hutan mencapai 12,8 juta hektare memiliki laju kerusakan mencapai 166 ribu hektare per tahun atau 1,9%. Kegiatan eksploitasi secara serampangan itu selain mengakibatkan hutan rusak, juga berdampak pada terjadinya bencana banjir dan tanah longsor.

Pada akhirnya, masyarakat lokal yang harus menerima dampak dari pembangunan. Bencana kerap melanda di beberapa kabupaten di Kalteng seperti Barito Utara, Murung Raya, Barito Selatan. Banjir musiman yang semula hanya sekali setahun, kini bisa terjadi empat atau lima kali dalam setahun.

Dampak negatif lain dari eksploitasi hutan adalah hilangnya identitas masyarakat setempat. Arus masuknya budaya luar yang dibawa oleh masyarakat pendatang dalam kegiatan perkebunan maupun pertambangan dinilai telah mengakibatkan lunturnya nilai-nilai kearifan lokal. Ketergantungan dengan pihak luar itu karena prasarana berproduksi masyarakat yakni berupa lahan kian menyempit, sehingga mereka menjadi tergantung dengan pihak luar.

***

DI depan kompleks pembangkit listrik itu, Tagah memutuskan tak lagi menyadap karet. Ia juga tak mungkin menebang hutan dan menjual kayunya. Ia menunggui warung kecil yang dikelolanya bersama istri. Empat anaknya menjadi buruh di berbagai perusahaan sekitar Bangkanai.

“Dulu, tanah di sini tidak ada harganya. Tapi sejak perusahaan listrik berdiri, harga tanah sekarang sudah mahal. Satu meter persegi senilai 100.000 rupiah,” katanya.

Kembali, saya menangkap nada getir terpancar dalam suaranya. Di tengah hutan itu, saya menyimpan banyak catatan.(*)



Muara Teweh, awal Juni 2016

BACA JUGA:






0 komentar:

Posting Komentar