SETIAP tulisan selalu memiliki
takdir masing-masing. Ada yang hanya meninggalkan jejak berupa separagraf
coretan di media sosial. Ada yang meninggalkan jejak di hati pembacanya. Ada
yang hanya sekadar melintas di blog, tanpa meninggalkan impresi apapun. Ada
pula yang menempuh takdir berbeda, membelah diri, berbiak, lalu menjadi
berlembar-lembar yang ditampung dalam satu buku.
Setiap penulis pernah
menghamilkan gagasan, merawatnya dalam pikiran, lalu mengeluarkannya dalam bentuk baris-baris kata di layar laptop. Takdir tulisan itu
adalah menjadi anak ruhani seorang penulis yang menjadi anak panah lalu melesat
ke berbagai arah. Ketika ada tulisan yang lalu dikemas ulang dan diterbitkan
ulang di satu media, maka jejak-jejak seorang penulis tetap terasa kuat.
Momen ketika tulisan itu
kembali menemui penulisnya menjadi momen magis yang sukar dilukiskan dalam
kata. Terasa ada bahagia saat melihatnya bersalin rupa menjadi bentuk berbeda,
serupa anak yang kembali menyapa ibunya. Tulisan itu telah melalanglang buana,
menyentuh hati banyak orang, mengabarkan jejak pemikiran, sekaligus menjadi
duta bagi sosok yang melahirkannya di satu sudut realitas, dalam kondisi
tertentu, dalam segala keterbatasan dan keberlimpahan yang mengiringinya.
(demikian kesanku saat melihat
catatan blog yang terbit di Majalah Bakti)
0 komentar:
Posting Komentar