Lain JOKOWI, Lain RIDWAN KAMIL



MEDIA sosial tak hanya mendekatkan hubungan dua orang yang terpaut jauh. Media ini juga mendekatkan hubungan seorang public figure dengan publik. Melalui media sosial, segala tindakan, aktivitas, ucapan, ataupun pemikiran seorang public figure bisa terdiseminasi secara cepat dan tak perlu menunggu media mainstream untuk memberitakannya. Di era baru, komunikasi politik terus mengalami pergeseran.

Marilah kita mengamati bagaimana figur seperti Joko Widodo dan Ridwan Kamil menata personal branding di media sosial. Kita bisa menyimak apa pelajaran berharga dari sosok-sosok ini, bagaimana mengendalikan media sosial, serta bagaimana seharusnya membangun interaksi dengan publik melalui cara-cara yang sederhana namun penuh daya ledak kreativitas tinggi. Marilah kita melihat bagaimana pergeseran peran para Public Relation (PR) dan para anggota tim komunikasi dan strategi politik.

***

DI satu halaman facebook, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memosting pesan lowongan kerja. Ia membutuhkan seorang tim kerja dengan kualifikasi bisa membuat content berupa postingan, foto, meme, reportase, yang ditujukan untuk media sosial. Ia mencari seseorang yang memiliki keaktifan di media sosial yang tinggi, bisa meng-create lalu mengendalikan isu, kemudian bisa secara kreatif menyampaikan pesan kepada audience tentang dirinya.

Saya teringat pengalaman beberapa bulan lalu. Saya pernah diminta untuk memberikan materi di hadapan tim komunikasi politik dari seorang menteri yang tengah bersinar dan disiapkan agar kelak menjadi presiden. Saya diminta memberikan ceramah dan melatih tim itu bagaimana merebut atensi publik media sosial, bagaimana menyiapkan content yang kreatif dan bisa mendulang pembaca yang banyak.

Kata seorang kawan, satu profesi paling mahal dalam waktu dekat ini adalah jasa pengisi creative content. Yang termasuk dalam jasa ini adalah mereka yang secara kreatif bisa menghasilkan konten yang laris di media sosial, bisa mengemas informasi hingga dibagikan dan dibincangkan terus-menerus di media sosial, memiliki kharisma yang kuat di jagad maya sehingga informasi yang dibagikannya akan menjadi viral ke mana-mana. Mereka dibutuhkan semua unit bisnis dan politik.

Sosok-sosok seperti ini dengan mudahnya ditemukan di media sosial. Mereka tak selalu para kolumnis hebat yang bisa dengan fasih berdebat di televisi. Mereka adalah warga biasa yang punya seribu akal dalam mengemas konten, memberinya opini, dan membuat orang lain mejadi follower-nya. Di era ini, warga biasa sekalipun bisa menantang kemapanan industri media. Kita bisa melihatnya pada fenomena akun Kurawa yang berhadapan dengan raksasa media sekelas Tempo. Saya tak sedang menyoal benar dan salahnya, tapi kehadiran akun Kurawa bisa menunjukkan kepada kita bagaimana media sekelas Tempo bisa dibuat repot oleh cuitan seorang warga biasa.

Tapi bukan berarti sosok-sosok seleb akan tenggelam di era digital. Selagi, popularitas dan nama besar mereka dikelola dengan baik di media sosial, ama mereka bisa akan terus terkerek tinggi-tinggi. Tapi jika tak ada aktivitas, maka nama mereka akan tenggelam di lipatan sejarah. Di era ini, para PR ataupun konsultan politik harus berani menjemput bola. Mereka harus membobardir media sosial dengan pencitraan dari client-nya. Jika tak pandai,

Marilah kita menyaksikan bagaimana kiprah Joko Widodo dan Ridwan Kamil dalam mengelola media sosialnya. Dua sosok ini sudah punya popularitas yang tinggi. Namun, keduanya selalu merawat berbagai akun media sosial. Biarpun Jokowi sudah sangat populer sebagai presiden Indonesia, ia membentuk tim khusus yang mengelola berbagai akun media sosial yang dimilikinya. Timnya mengelola fanpage di facebook, twitter, instagram, hingga akun di Youtube.

Hampir setiap hari, publik bisa memantau apa yang dilakukannya, lokasi atau daerah yang dikunjunginya, serta apa gerangan yang dipikirkannya. Setiap perjalanan Jokowi akan terdokumentasi secara rapi di media sosial. Tak hanya perjalanan, publik juga bisa melihat gambar-gambar terbaru, permasalahan yang dihadapi presiden, hingga optimisme atas kerja-kerja politik yang dilakukannya. Publik pun bisa dengan mudah memberi komentar atau catatan atas apa yang dipostingnya. Di facebook, Jokowi seolah berbicara langsung kepada khalayak. Publik setia mengikuti semua perkembangan pemikirannya.


Saya sangat yakin kalau semua akun media sosial itu tidak dikelola langsung oleh Jokowi. Yang mengelolanya adalah satu tim kerja yang setiap hari mengikuti langkahnya. Mereka adalah para penulis, fotografer, hingga videographer yang lalu mengelolah semua materi dan informasi ke berbagai kanal media sosial. Jangan terkejut jika akun fanpage milik Jokowi jauh lebih cepat menyajikan informasi melalui media sosial ketimbang media massa. Jangan heran pula jika publik lebih suka mencari tahu segala hal tentang Jokowi melalui media sosial itu. Di situ bisa ditemukan orisinalitas dan narasi personal, sehingga seolah-olah Jokowi menyapa langsung semua orang.

Satu catatan, akun ini dikelola dengan terlampau “lurus”. Maksud saya, semua narasi dan pesan disampaikan dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jokowi terlampau serius di sini. Padahal, dalam bebrbagai tayangan media dan wawancara langsung, Jokowi adalah figur yang kocak dan berbicara dalam bahasa rakyat biasa. Ia tampak nyantai dan tak terlalu formal. Nah, ini yang gagal dirangkum dalam akun media sosialnya.

Lain Jokowi, lain Ridwan Kamil. Sebagaimana Jokowi, Ridwan Kamil terbilang sering menyebarkan segala pemikiran, tautan, kemajuan, pemikiran, ataupun segala hal mengenai pembangunan di kota Bandung. Bedanya, Ridwan Kamil lebih bisa memikat khalayak melalui humor-humor segar yang disampaikan di sela-sela pesan. Ridwan Kamil lebih lihai mengemas informasi dan membuat publik tak hanya tercerahkan, tapi juga sesaat bahagia karena berbagai candaan yang dilontarkannya.

Salah satu postingan yang saya sukai adalah postingan mengenai kota cerdas di Indonesia. Kang Emil, demikian ia disapa, menjelaskan tentang Kota Bandung yang menjadi rujukan bagi pelaku kota cerdas. Di situ ada foto mojang Bandung di dekat beberapa komputer. Ia lalu menulis kalau pengetahuan tentang kota cerdas gratis di bagikan ke berbagai kota, tapi gadis Bandung berbaju biru itu tak boleh ke mana-mana. Ia tetap di Bandung. Postingan ini menjadi viral, dibagikan banyak orang. Postingan ini cerdas sebab bisa menyampaikan pesan kepada publik, sekaligus memberikan hiburan yang menyegarkan. Tak sembarang orang bisa melakukan hal ini.

Terakhir, saya melihat postingannya tentang berbicara di media massa. Ia memajang gambar dirinya di layar yang sedang disaksikan seekor kucing. Di situ ada kalimat: "ternyata hanya kucing yang tertarik obrolan politik. Atau disangkanya saya seonggok ikan pindang." Kalimat ini sukses membuat saya terpingkal-pingkal. Saya bayangkan jutaan warga Indonesia juga menyukai olok-olok ala politisi seperti yang dilakukan Kang Emil.


Membaca postingan Ridwan Kamil, saya menangkap kesan kuat bahwa dunia politik bukanlah dunia yang selalu serius dan menguras energi. Politik bisa dikelola menjadi sesuatu yang membahagiakan dan menyenangkan. Di tengah himpitan tugas-tugas yang berat itu, ia bisa berbagi keriangan, namun tetap tidak kehilangan esensi penting yakni membagikan semua informasi tentang kemajuan ke publik. Ia menyebar optimisme atas Bandung, dnegan cara-cara yang kreatif dan jenaka.

Saya penasaran dengan postur tim komunikasi politik Ridwan Kamil. Beberapa kawan menyebut satu media online besar memiliki kontrak eksklusif untuk mengelola semua akun kampanye Ridwan Kamil. Jika itu benar, maka media itu amat pandai memotret sosok Kang Emil. Kalaupun informasi itu tak benar, berarti Kang Emil memang memahami dinamika informasi dan bagaimana berinteraksi di media sosial. Dengan banyak menyebar pesan positif, Emil bisa menjadi prototype dari politisi yang meramaikan medsos dengan hal-hal yang mencerahkan. Di titik ini, ia berbeda.

***

Di Indonesia, kehadiran internet memiliki sejarah yang cukup menarik untuk ditelusuri. Internet mulai hadir saat Indonesia berada dalam iklim politik yang otoritarian pada masa Orde Baru. Saat itu, negara mengontrol semua informasi yang ada di media massa. Kehadiran internet disambut gembira oleh semua aktivis pro-demokrasi, sebab media ini tidak bisa dikontrol dan dikendalikan pemerintah. Di masa itu, pemerintah kerap memberikan ancaman berupa sensor atau pencabutan izin cetak kepada media-media yang anti-pemerintah.

Sebagaimana dicatat David T Hill dan Krishna Sen dalam buku The Internet in Indonesia’s New Democracy yang terbit tahun 2005, internet memainkan peran penting dalam transisi demokratis. Pemerintah tidak bisa mengontrol internet, sekaligus menyeleksi lalu lintas informasi yang ada di dalamnya. Semua aktivitas di internet, seperti email, newsgroup, website telah menjadi senjata bagi aktivis karena karakteristik real-time dalam tindak oposisi terhadap pemerntah melalui tukar-menkat nformasi serta ajang konsolidasi gerakan.  Tak mengherankan jika internet memainkan peran penting untuk menjatuhkan kediktatoran Soeharto dari kekuassaannya.

Internet memasuki ruang-ruang publik, membayangi proses demokratisasi. Semua aktivitas politik, mulai dari kampanye dan pemilihan umum tak bisa dilepaskan dari kehadiran internet. Bahkan pendekatan terbaru dalam kampanye adalah melalui media online, yang dilakukan hampir semua partai politik. Ini menjadi bukti bahwa semua partai politik menggunakan internet untuk menopang aktivitas politiknya.

Hubungan antara politisi dan media baru di era internet telah dibahas dalam beberapa laporan penelitian. Gazali (2014) pernah mendiskusikan tentang “new media democracy” atau “social media democracy” yang kadang-kadang sering pula disebut “networking democracy”. Dalam hal ini, internet –khususnya media sosial—dianggap sebagai katalis demokratisasi. Media sosial memiliki potensi untuk menyusun ulang relasi kuasa dalam komunikasi. Dengan menggunakan media sosial, warga bisa memfasilitasi jejaring sosial (social networking) dan memiliki kemampuan untuk menantang kontrol monopoli produksi media dan diseminasi yang dilakukan negara dan institusi komersial.

Keterbukaan platform media sosial bagi individu dan kelompik telah menjadi sumber inovasi dan ide-ide dalam praktik demokratik. Bersetuju dengan Gazali, kita bisa menyebutnya sebagai “demokrasi media sosial” yakni proses demokratis yang secara substansial dipengaruhi oleh penggunaan media sosial. Dalam hal ini, setiap ‘click’ yang dakukan warga bisa disebut sebagai ekspresi dalam iklim demokratisasi yang wadahnya berlangsung di media sosial.


Tak hanya digunakan oleh para aktivis pro-demokrasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa internet juga digunakan oleh elemen gerakan sosial yang lain sebagai wadah untuk membangun konsolidasi. Di antaranya adalah studi yang dilakukan Yanuar Nugroho (2012) yang dipublikasikan dengan tajuk Localising the Global, Globalising the Local: The Role of the Internet in Shaping Globalisation Discourse in Indonesia NGOs. Ia menunjukkan bahwa pihak aktivis NGO menggunakan internet untuk merespon berbagai wacana antiglobalisasi. Mereka menggunakan konteks lokal untuk merespon wacana global, menggunakan teknologi secara strategis sebagai pelempar isu ke dunia luar.

Studi Nugroho ini menarik untuk ditelaah sebab menunjukkan bahwa internet adalah tols yang bisa digunakan berbagai elemen gerakan sosial lainnya. Seiring dengan kehadiran media sosial, lalu-lintas percakapan itu pun berpindah dari sebelumnya menggunakan website, email, ataupun groups ke media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, ataupun beberapa diskusi melalui WhatsApp dan Blackberry Messenger. Lalu lintas diskusi menjadi lebih interaktif, lebih semarak, dan melibatkan lebih banyak orang.

***

MENGAMATI akun media sosial milik Jokowi dan Ridwan Kamil, kita bisa menyerap satu pesan penting. Bahwa media sosial bisa membantu seorang politisi untuk berkomunikasi dengan publik serta berbicara langsung tentang apa yang sedang dihadapinya.

Mengamati akun dua tokoh politik itu, serta mengamati kecenderungan masyarakat untuk berbagi informasi lewat jejaring sosmed, kita bisa menarik beberapa kesimpulan sederhana.

Pertama, sedang terjadi satu transformasi komunikasi politik di era yang baru. Dahulu, para Public Relation (PR) atau tim komunikasi politik hanya menunggu di balik meja lalu menjalin relasi dengan banyak media. Kini, pendekatan itu sudah dianggap kaku. Dalam konteks komunikasi politik, seorang PR harus setiap saat menggempur pasar dengan berbagai informasi tentang client-nya. Ia tak menunggu, tetapi ia pro-aktif dan siap menggempur publik dengan informasi.

Semua tim komunikasi politik seyogyanya bisa menulis, bisa mendiseminasikan informasi ke seluruh penjuru. Mereka dituntut untuk lebih pro-aktif dan membagukan segala hal ke publik melalui berbagai kanal medsos. Mereka harus bisa mengombinasikan berbagai cara menyampaikan pesan, bisa melalui foto, sketsa, infografis, lukisan, hingga kutipan-kutipan yang mencerahkan, lalu membaginya ke publik.

Kedua, dahulu, ketergantungan seorang PR atau tim komunikasi politik dengan media massa sedemikian tinggi. Media massa menjadi satu-satunya kawah yang mengolah berbagai informasi yang berseliweran di media sosial. Demi membangu citra yang positif di media, seorang praktisi PR akan membangun relasi, membuat media gathering, dan sesekali mengajak awak redaksi makan siang. Disiapkan pula beberapa bonus liputan bagi media yang menulis sesuai permintaan.

Sering pula, seorang PR membuat press release yang ditujukan kepada pihak media dengan harapan agar memuat sebanyak mungkin informasi tentang politisi yang didampingi PR tersebut. Namun, dalam perkembangannya, liputan media itu tak selalu sesuai dengan yang diinginkan. Sementara mengandalkan ruang iklan (advertorial) di media juga bukan solusi yang baik, sebab pembaca cenderung menghindari halaman iklan.

Ketiga, tim komunikasi politik harus mengenali bagaimana dinamika informasi. Mereka harus bisa mengenali bagaimana informasi menyebar secara viral. Kemampuan ini penting untuk menyalurkan berbagai kanal informasi. Bisa pula digunakan untuk encegat satu informasi yang mendiskreditkan client-nya. Dia harus bisa mengenali siapa saja blogger atau fesbuker yang berpengaruh dan bisa mengendalikan opini. Dengan cara membangun netwrk yang kuat, maka satu isu bisa digelembungkan, namun bisa pula ditengelamkan secepat mungkin.

Keempat, tim komunikasi politik harus piawai dan menguasai seluruh medsos. Ia mesti terbiasa berinteraksi di medsos, dan tahu bagaimana kiat dan etika berinteraksi di dunia baru itu. Meskipun ia membawa nama seorang tokoh penting, ia tak boleh bersikap jumawa di dunia itu. Sikap angkuh hanya akan membuka pintu bagi banyak orang untuk mem-buly serta memojokkan orang tersebut, tanpa upaya

Kelima, semua tim komunikasi politik harus punya sisi kreativitas di atas rata-rata. Mengemas pesan politik tak bisa lagi dengan hard campaign yang berupa glorifikasi atas satu tokoh. Yang harus dilakukan adalah melakukan soft campaign yang antun, sehingga publik ataupun netizen merasa nyaman dan setia menjadi follower. Informasi yang dibagikan adalah infrmasi yang mencerahkan, bukan informasi negatif yang hanya akan merusak mood seseorang. Semakin banyak menebar hal positif di medsos, maka semakin besar pula peluang untuk disukai, dan terakhir menjadi trendsetter dari semua arus informasi.(*)


Bogor, 21 Juni 2016




3 komentar:

wijatnikaika mengatakan...

Keren dan inspiratif tulisanya bang.

Salam,

lilih muflihah mengatakan...

Wow...

mfariz mengatakan...

Gagah tulisannya...

Posting Komentar