Musibah di Rimba Kalimantan

memperbaiki mobil yang tabrakan

UNTUK pertama kalinya saya mendapatkan musibah di perjalanan. Mobil yang saya tumpangi tabrakan dengan mobil lain. Jika terjadi sesuatu, saya tak bisa bayangkan hendak berlari ke mana. Saya berada di tengah rimba Kalimantan, pada satu lokasi yang tak banyak dijangkau orang-orang.

***

JALANAN itu nampak rusak parah. Air hujan yang turun sebelumnya telah membuat jalan itu serupa kolam lumpur yang mustahi untuk dilewati. Namun tak ada sedikitpun gentar terlihat di wajah Riki (25 tahun). Dia adalah supir yang bekerja di PT Wartsila, perusahaan listrik yang berbasis di Finlandia. Dia mendapat tugas untuk mengantar beberapa tamu yang datang dari Jakarta ke lokasi pembangkit listrik tenaga mesin gas (PLTMG) Bangkanai.

Saya bertemu Riki di Muara Teweh, ibukota Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Saya adalah salah satu tamu yang akan diantar Riki menuju lokasi pembangkit listrik. Saya hendak menyaksikan langsung bagaimana pembangkit listrik berdiri di tengah-tengah hutan, serta bagaimana harapan masyarakat atas pembangkit listrik itu.

Ini adalah pertama kalinya saya datang ke Muara Teweh. Dari Jakarta, saya terbang menuju Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selatan. Penerbangan itu ditempuh dalam waktu sejam. Dari sini, saya lalu menempuh perjalanan darat menuju Muara Teweh, Kalimantan Tengah, selama 10 jam. Sebenarnya, Muara Teweh lebih dekat dijangkau dari Palangkaraya, ibukota Kalimatan Tengah. Namun, jalanannya rusak parah, sehingga orang-orang lebih memilih menjangkaunya dari Banjarmasin. Selain itu, perjalanan dari Banjarmasin ke Muara Teweh banyak melalui kota-kota kecil sehingga perjalanan terasa singkat. Di sepanjang jalan, terdapat banyak kuliner dan pemandangan indah.

Pembangkit listrik yang akan saya datangi terletak di Bangkanai, wilayah yang terletak di Desa Karenda, Kecamatan Lahai, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Wilayah ini terletak di tengah-tengah bumi Kalimantan yang dahulu merupakan paru-paru dunia. Tingginya angka deforestasi atau kerusakan hutan menjadikan pulau ini sebagai daratan besar yang bolong di sana-sini. Hasil buminya berupa tambang telah dikuras di banyak tempat. Hutan-hutan yang dahulu lebat, kini telah berkurang drastis. Yang tersisa dari wilayah ini adalah cerita tentang rimba-raya luas, yang dipenuhi hewan-hewan seperti orangutan, burung enggang, dan lain-lain.

Menurut Riki, perjalanan ke Bangkanai akan ditempuh selama empat jam. Namun saat meninggalkan Muara Teweh, saya yakin kalau perjalanan itu akan lebih lama. Dari Muara Teweh, kami lalu menyeberangi Sungai Barito dengan kapal ferry menuju Kecamatan Lahai. Sungai Barito merupakan nadi utama kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah. Banyak kota-kota yang didirikan di pesisir sungai ini. Saya menyaksikan bagaimana sungai ini menjadi bagian penting kehidupan masyarakat. Banyak rumah-rumah yang didirikan di atas sungai. Masyarakat menggunakan sungai ini untuk mandi, mencuci, serta buang air.

Setelah menyeberang dengan fery, kami melalui satu perkampungan, setelah itu memasuki hutan lebat. Jalanan di hutan ini rusak parah. Nampaknya, hujan baru saja mengguyur kawasan ini sehingga jalanan menjadi sangat licin. Lumpur memenuhi jalanan. Di banyak tempat, saya melihat kolam yang berisikan lumpur di jalan yang akan kami lewati. Beberapa motor yang dimiliki warga di parkir ditepian jalan sebab tidak bisa melintas. Beruntung, mobil yang dikemudikan Riki adalah jenis Strada Triton memiliki kemampuan untuk melalui jalanan berlumpur.

Riki adalah pemuda Suku Dayak Bakumpai yang merupakan etnik mayoritas di Muara Teweh. Masa kecilnya dihabiskan di pesisir hutan yang membuat dirinya sangat mengenali setiap jengkal di hutan Kalimantan. Ia telah mencoba berbagai jenis pekerjaan, sebelum akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Wartsila. Pemuda yang bergabung di Wartsila sejak tahun silam ini mengaku bisa mengemudikan semua jenis kendaraan, termasuk eskavator. Beberapa pekerja asing menyebutnya sebagai “supir gila” dikarenakan dirinya bisa mengemudikan mobil di jalan rusak dan licin hingga kecepatan 60 km per jam. 

pemukiman penduduk di tepian Sungai Barito
jalanan rusak yang harus dilewati

Meskipun usianya masih terbilang muda, ia tak pernah gentar saat berhadapan dengan jalanan rusak dan licin itu. Masalah besar berkendara di jalanan licin adalah kesulitan mengendalikan kemudi. Saat kemudi dibanting ke kanan, ban tidak lantas membelok. Jalanan licin menjadi penghalang utama. Dengan kecekatannya melalui jalan rusak, tidak mengejutkan jika dirinya menjadi salah satu driver terpercaya di PT Wartsila. Ia bekerja di perusahaan listrik asal Finlandia itu sejak tiga tahun silam. Selain tugasnya menjadi supir yang mengantar karyawan, ia juga menjadi penghubung yang setiap waktu bisa ke kota untuk membeli perlengkapan.

Perjalanan itu menjadi semakin berat saat berada di dalam hutan. Topografi wilayah Barito Utara didominasi oleh pebukitan dan lembah. Saat berkendara bersama Riki, saya seolah berada di atas roller coaster yang sesekali menurun, namun tiba-tiba menanjak dengan cepat. Sepanjang perjalanan, jantung saya berdetak lebih cepat dari biasanya. Mata saya tak berkedip sebab khwatir terjadi kecelakaan.

Kekhawatiran itu terbukti. Di satu tikungan, Riki melihat ada mobil datang dari arah berbeda. Dia lalu berhenti dan menepi. Dalam kecepatan tinggi, mobil itu lalu mengerem secara mendadak. Jalanan licin menyebabkan mobil itu tetap meluncur ke arah kami. Brak!!

Mobil itu menabrak mobil yang kami tumpangi. Saya didera kekhawatiran. Untungnya, kami baik-baik saja. Bagian depan mobil rusak. Riki segera turun dan mendokumentasikan kecelakaan itu. Ia mesti melakukan itu sebagai standard operation procedure yang berlaku di perusahaan itu. Dokumentasi sangat penting untuk proses investigasi yang akan dilakukan pihak safety control di perusahaan.

dua mobil yang bertabrakan

Kata Riki, kecelakaan ini bukanlah yang pertama baginya. Sebelumnya, ia pernah bertabrakan di jalan yang sama. Saat itu, ia mengendarai mobil jenis Pajero. Bagian depan mobil rudak parah. Menurutnya, tabrakan adalah bagian dari risiko yang harus dihadapi saat berkendara di jalanan berlumpur. Pada musim hujan, jalan-jalan itu hanya bisa dilewati oleh mobil tertentu. Itupun ada risiko tabrakan sebab masing-masing mobil akan sulit dikendalikan. Sopir mobil yang menabrak pun ikut turun. Keduanya lalu berdebat dalam bahasa Dayak, yang diakhiri dengan kesepakatan untuk sama-sama memperbaiki mobil. Tak ada manfaat untuk berkonflik di tengah-tengah hutan.

Tabrakan itu membuat saya was-was. Saya pun semakin menyadari bahwa medan yang dihadapi ini tidaklah mudah. Kalimantan serupa rumah besar yang di dalamnya tak banyak tertata. Jalanan rusak menjadi potret dari buruknya infrastruktur serta tiadanya perhatian dari pemerintah pusat.

Ini baru awal. Tabrakan itu ibarat ucapan selamat datang yang semakin membuat saya jauh menyelami banyak sisi negeri ini. Inilah Indonesia, sisi-sisi yang tak banyak dijangkau kebijakan pemerintah.

Saya akan mengisahkan perjalanan di rimba Kalimantan pada kesempatan lain. Semoga dirimu tak bosan membaca kisah ini.



Muara Teweh, awal Juni 2016

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Terimakasih pak Yusran Dermawan.. Semoga dgn apa yg telah kita lalui menjadi pengalaman bukan halangan..

Yusran Darmawan mengatakan...

amin. terimakasih.

Posting Komentar