Bule Belanda yang Mengindonesia


TERLAMPAU banyak kbetulan dalam hidup. Saat menunggu digelarnya Festival Kesenian Bali (FKB) di Denpasar, saya singgah berteduh di satu pos polisi. Di situ, ada seorang bule yang mengajak seorang fotografer untuk berbicara. Tapi fotografer itu terlihat enggan meladeni. Bule itu berbicara tentang satu hal yang substansial yakni bagaimana musik bisa membantu pengembangan karakter kaum marginal.

Saya suka topiknya. Kebetulan, saya lagi ingin melemaskan otot-otot bahasa Inggris yang lama tak digunakan. Kami lalu berdiskusi banyak hal. Saya kisahkan tentang korban kekerasan yang menyembuhkan traumanya lewat musik. Matanya berbinar. Dia bercerita tentang musik sebagai dunianya serta obsesinya untuk membimbing semua musisi muda di Bali.

Namanya Raoul Wijffels. Dia berprofesi sebagai dosen di University of Rotterdam. Pada mulanya dia datang sebagai turis, selanjutnya dia betah lalu memutuskan tinggal di pulau dewata itu. Dia mendirikan organisasi One Dollar for Music (ODFM) lalu menjadikan musik sebagai medium berekspresi. Ia mengagumi Ki Hajar Dewantara, dan menjadikan filosofi Ki Hajar sebagai landasan geraknya. Dia menginginkan musik sebagai bagian dari pendidikan, penemuan karakter, dan pengembangan kaum muda.

Melalui organsasi nirlaba itu, ia membimbing 1.200 musisi muda di Bali, 150 murid di Lombok, serta puluhan anak jalanan. Ia menggelar event dan berbagai festival, merilis CD komposer muda, membuat film dokumenter. Bagi saya, manusia seperti dirinya sangat langka. Dia keluar dari batasan geografis, ras, dan keyakinan demi membumikan ide-idenya, demi sesuatu yang dianggapnya baik.

Seusai bertemu dengannya, saya lalu men-search kiprahnya. Ternyata ia pernah diundang sebagai narasumber di acara KickAndy sebagai bule yang sangat Indonesia. Namanya disejajarkan dengan Janet de Neefe yang menyelenggarakan Ubud Writers Festival. Dia adalah satu dari sejumlah orang yang mencintai Bali dengan caranya sendiri, memopulerkan tanah itu ke mancanegara, lalu bergerak mewujudkan idenya di tanah yang bukan tanah moyangnya. Kecintaannya melebihi mereka yang mengaku lahir di satu wilayah, tapi tak melakukan apapun di wilayah itu.

Dia pun mengajak saya untuk sama-sama bermain musik di satu bar. Saya tidak lantas mengiyakan. Saya ragu, apakah jemari saya masih cukup lincah bermain gitar akustik, setelah sekian lama tak lagi memainkannya.

Uniknya, saya bertemu dengannya di pos polisi, saat singgah berteduh. Pelajaran berharga dari kisah ini adalah di saat anda membutuhkan inspirasi, singgahlah berteduh ke pos polisi. Boleh jadi, ada orang hebat yang sedang berteduh di situ. hihihi.



Denpasar, awal Juni 2016

BACA JUGA:



0 komentar:

Posting Komentar