ilustrasi |
TERNYATA
tak mudah menyelesaikan sebuah paper kuliah sejarah. Saya menabung paper ini lebih dari sebulan. Hari ini, saya mulai membuka lembaran demi lembaran,
melihat kembali sejauh mana yang telah saya tuntaskan, dan kemudian memikirkan
apa yang sekiranya bisa ditulis, atau bisa diabaikan.
Saya
membayangkan masa silam yang begitu rumit. Saya membayangkan jejaring politik,
ekonomi, serta kebudayaan yang saling kait-mengkait. Semuanya tidak mudah,
sebab saya melihat masa silam dengan perpektif masa kini. Namun, terkadang
muncul pertanyaan, bisakah kita membaca masa silam dengan menggunakan
perspektif masa silam?
Saya
tahu persis kalau jawaban atas pertanyaan ini tidak mudah. Satu-satunya yang
bisa dilakukan adalah menangkap masa silam itu melalui sastra, novel, atau
manuskrip yang dicatat di masa itu. Bisa juga dengan menangkap istilah-istilah
yang kemudian berfungsi sebagai kode budaya untuk membaca masa itu. Saya
teringat catatan para filolog yang amat berguna untuk memahami kode-kode kebudayaan.
Salah
satu contoh kode budaya itu adalah istilah ‘negeri atas angin.’ Dalam
penjelasan seorang filolog, istilah ini dahulu sering digunakan untuk menyebut
sejumlah negeri seperti India, Arab, dan Eropa. Sementara istilah ‘negeri bawah
angin’ adalah negeri yang terletak di sebelah timur. Istilah ini menunjukkan
cara berpikir masyarakat zaman itu yang melihat geografis berdasarkan arah
angin.
ilustrasi 2 |
Sekarang,
saya sedang berusaha memahami Solo di tahun 1800-an. Saya membayangkan betapa
rumitnya memahami zaman itu. Apalagi jika upaya memahami itu dengan cara
memasuki lanskap berpikir seseorang yang hidup di zaman itu. Tentu saja,
teks-teks budaya serta sosiologi pengetahuan akan sangat berguna demi memahami
bahwa sebuah peristiwa tak pernah lepas dari relasi sosial, politik serta
sejarah yang ada di satu masa.
Saya
berusaha membaca sejarah dengan perspektif manusia. Ini menjadi tantangan
besar. Saya tidak ingin meniti di jalan yang dibentangkan Leopold Von Ranke,
pendiri ilmu sejarah yang selalu
memperkenalkan obyektivitas. Ia jarang memberi apresiasi pada pandangan subyek
di masa kini, sebab dianggapnya subyek adalah mereka yang bisa memanipulasi
masa silam. Sejarah yang dipahami Ranke memang kaku, namun setidaknya ia bisa
menunjukkan mana yang obyektif dan mana yang rekayasa dalam memahami masa
silam.
Bagaimanakah
memahami Solo di tahun 1800-an? Saya sedang berusaha melakukannya, samibil
didera kekhawatiran apakah saya tiba pada pahaman atau malah tersesat di
jejaring pemikiran yang saya pintal sendiri.
Setidaknya
saya punya peta jalan. Saya menginginkan sejarah yang lebih manusiawi. Sejarah
yang menempatkan posisi seorang manusia sebagai subyek dengan segala kelebihan
dan kekurangannya. Saya ingin sejarah yang lebih subyektif. Sejarah yang
meneropong persoalan dengan cara pandang seorang manusia sesuai dengan konteks
zamannya, sesuai dengan titik berpijaknya pada suatu masyarakat dan kebudayaan.
Saya
ingin sejarah yang emik, sejarah yang jauh menukik pada pandangan dunia
seseorang dalam memandang segala hal yang terjadi pada zamannya. Entah, apakah
saya sanggup menuliskannya atauah tidak.
Bagaimanakah
memahami Solo di tahun 1800?
Athens, 4 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar