hot choco di kafe donkey (foto: Arin Hening) |
DI kafe yang mungil ini, senyummu semengembang brownies yang tersaji di depan mejamu. Aku duduk di sini, sembari menyaksikan pahatan langit di wajahmu. Pahatan langit yang setiap kali mengembang, hatiku ikut mengembang. Apakah kamu tahu bahwa senyummu sanggup melumerkan hati ini hingga laksana es krim magnum yang meleleh karena sinar matahari?
Aku
lalu memesan hot chocolate yang panas demi melawan dingin. Kulihat dirimu tetap
setia dengan brownies itu. Ada segelas coffee latte di dekat brownies itu.
Uapnya mengepul hingga membentuk garis-garis tipis menuju langit-langit kafe.
Aku
memperhatikan brownies yang seakan menggodaku. Konon, cinta hadir seperti kue
brownies. Awal mengunyah, rasanya biasa saja. Namun semakin lama, nikmatnya
semakin terasa. Semakin lama, nikmatnya seakan meresap hingga ke hati ini,
membuat jejak yang serupa gurat-gurat abadi di belantara hati ini.
kue-kue |
brownies |
Kamu
pernah bilang kalau kamu bisa membuat brownies. Sayang, kamu belum pernah
mempersilakanku untuk mencobanya. Padahal, ingin kurasai sedikit demi sedikit
sentuhan tangan lembutmu itu. Apakah brownies itu senikmat senyum yang kau
pancarkan sore ini di satu kafe dengan iringan music jazz yang mengalun lembut?
Konon,
brownies bisa mendeteksi perasaan pembuatnya. Ketika kamu sedih, rasanya tak
akan nikmat. Ketika kamu gembira, rasanya akan semerbak bunga magnolia di taman
kampus itu. Bisa kutebak, kalau brownies buatanmu tak begitu enak. Di mataku,
kamu adalah tipe yang mudah peka dengan sentuhan kalimat. Kamu reaktif. Kamu
emosional. Kamu mudah meneteskan air mata untuk sesuatu yang sering tak begitu
jelas.
Ah. Mungkin aku tak banyak mengenalmu. Kamu punya keriangan yang lepas ke udara. Kamu adalah kanak-kanak yang menghuni tubuh orang dewasa. Mungkin ketika sifat kekanakanmu itu hadir, kamu akan membuat brownies terbaik yang pernah dibuat seorang manusia.
depan kafe |
Di
luar hujan rintik-rintik. Aku baru saja mengemas beberapa lembar kertas kerja
yang tak tuntas-tuntas. Mungkin aku tak berbakat menjadi seseorang yang menatah
kerja di atas kertas demi kertas. Bakatku adalah duduk diam di sudut kafe ini
sembari menyusun patahan demi patahan imajinasi atasmu.
Ajaib!
Kamu tiba-tiba tersenyum di sudut sana. Senyum yang membentuk garis tipis.
Mungkin sudah saatnya aku datang menghampirimu. Sekadar menyapa apa kabar, lalu
mengajakmu makan burrito, makanan ala Mexico berupa sedikit nasi dan sekepal
daging.
Ah.
Aku malu dengan drimu. Bukan saatnya diriku berkarib-karib dengan cinta. Juga
dirimu. Tapi, apa yang harus kulakukan ketika sebaris senyum itu terus-menerus
menyapa hari-hariku?
Athens, 24 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar