warga Indonesia di depan Islamic Center, Athens (foto: Muhammad Fauzi) |
PERTAMA
kalinya saya menjalani puasa di bumi Athens, Ohio, Amerika Serikat (AS). Jika
di Indonesia, terjadi debat tentang permulaan bulan suci ini, di Athens,
situasinya sangat berbeda. Semua warga Muslim mengikuti arahan banyak
organisasi Muslim bahwa puasa akan jatuh pada hari Jumat (20/7), sedangkan
Lebaran akan jatuh pada hari Minggu (19/8).
Beberapa
organisasi yang mengeluarkan keputusan tersebut adalah Majelis Fikih pada
Islamic Society of America (ISNA), yang kemudian diikuti oleh beberapa
organisasi Muslim warga Indonesia yakni Asosiasi Muslim Indonesia di Amerika
(IMAAM), dan Perhimpunan Masyarakat Muslim Indonesia di Amerika dan Kanada
(IMSA).
Saat
tulisan ini dibuat, saya baru saja selesai berbuka puasa bersama warga Muslim
di gedung Islamic Center, Athens. Saya mendapat informasi bahwa ada juga warga
yang meyakini bahwa puasa dimulai nanti keesokan harinya, yakni Sabtu. Tapi
jumlah mereka tidak banyak. Mayoritas warga mengikuti keputusan berbagai
organisasi Muslim tentang puasa yang dimulai sejak hari ini.
Sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya, puasa di hari pertama adalah yang terberat. Saya mesti
menyesuaikan dengan kondisi musim panas di Athens yang amat terik. Dan yang
paling berat buat saya adalah menanti buka puasa, yang jadwalnya jatuh pada
pukul sembilan malam.
Anda
jangan terkejut. Pada musim panas, waktu siang bertambah beberapa jam. Matahari
terbenam nanti pukul sembilan malam, sementara imshak adalah pukul lima subuh.
Artinya, saya menjalani puasa selama 16 jam. Betapa beratnya menjalani puasa
ini.
Andaikan
puasa ini dilaksanakan pada musim dingin, maka situasinya akan berbeda. Pada
musim dingin, matahari terbenam pada pukul empat sore. Malah, kadang pada pukul
tiga sore. Jika puasa dilaksanakan pada saat itu, maka pastilah akan lebih
singkat.
Pada
saat-saat seperti ini, saya amat merindukan situasi di kampung halaman, nun
jauh di sana. Di tanah air, puasa bukan sekadar momen religius, tapi juga momen
kultural. Malam saat puasa perdana adalah salah satu malam tersibuk. Jalanan
penuh pawai kendaraan takbiran. Petasan berdentum di mana-mana. Kembang api
melukis langit. Dan dapur-dapur mengepulkan asap dari wanginya menu yang
disiapkan. Puasa adalah kemeriahan, serupa menyambut seorang tamu jauh yang
datang membawa banyak rezeki.
Islamic Center di Athens |
Sementara
di Amerika, awal puasa tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Tak ada
kemeriahan. Warga Muslim juga tidak menggelar keramaian. Puasa menjadi momen
privat yang dirasakan semua orang, menjadi momen yang sublim dan dirasakan di
hati yang melaksanakannya.
Di
sini, di tanah yang jauh dari tanah air, puasa seakan tak punya jejak. Puasa
tak punya getar yang menggores di hati masyarakatnya. Menjadi minoritas tak
selalu menyenangkan. Hari-hari puasa adalah hari-hari sunyi di musim panas,
tatkala banyak orang berrekreasi atau berleha-leha sambil mengenakan bikini dan
menyeruput root beer. Puasa tak punya jejak kultural pada
masyarakat setempat.
Saya
juga mencatat perbedaan lain. Di tanah air, masyarakat masih mempercayai
otoritas tertentu untuk mengumukan puasa. Malah, negara memiliki peran besar
untuk mengatur awal puasa. Sementara di sini, semuanya diserahkan pada
keyakinan warganya sendiri. Negara tak mencampuri hal-hal menyangkut awal
puasa, sebab memberikan kebebasan bagi warganya hendak mengacu pada aturan yang
mana.
Malah,
negara kerap mencurigai komunias Muslim. Beberapa bulan silam, saat ke New
York, saya mendapat informasi kalau pihak kepolisian New York kerap mengawasi
semua aktivitas di masjid. Sering pula, mobil polisi berjaga-jaga di depan
masjid semalam suntuk. Hal ini sempat menjadi kontroversi, namun pasca
peristiwa WTC, langkah warga Muslim tidak sebebas sebelumnya.
Mungkin
inilah tantangan yang sesungguhnya. Inilah medan yang sesungguhnya, yang mesti
disikapi dengan keyakinan bahwa esensi puasa terletak pada sejauh mana
seseorang bisa mengendalikan dirinya, sejauh mana seseorang bisa berrefleksi
dan mengasah kepekaan sosial, sehingga ketika puasa berlalu, ia menjelma
sebagai priadi baru yang penuh dengan empati pada sesamanya.
Nikmat
Puasa
Selain
tantangan yang harus dihadapi, puasa ini juga memberikan nikmat yang tak
ternilai. Saya menemukan kenikmatan itu saat berinteraksi dengan banyak warga
Muslim. Di sini, batasan negara serta batasan etnik menjadi lebur. Siapapun
akan melihat yang lain sebagai saudara, tanpa mempersoalkan etnik, ras, ataupun
warna kulit. Semua orang datang berkumpul, berbuka puasa bersama, kemudian
saling berbagi pengalaman atau pengetahuan.
Warga
Muslim di Athens memusatkan kegiatan ramadhan di Islamic Center, pada sebuah
rumah kecil yang kemudian difungsikan sebagai masjid. Jumlah warga Muslim tidak
seberapa banyak. Saya memperkirakan jumlahnya sekitar 300 orang. Warga
Indonesia hanya sekitar 18 orang. Itupun, dari julah 300 orang itu, tidak
semuanya punya tradisi ke masjid.
Selama
Ramadhan, kegiatan di Islamic Center cukup beragam. Selain menggelar salat
tarwih setiap malam, juga diadakan buka puasa sebanyak tiga kali dalam
seminggu. Suasananya meriah sebab menjadi ajang pertemuan bagi warga Muslim
yang tinggal di kota kecil ini. Kami berbagi pengalaman tentang puasa. Kami
saling menumbuhkan rasa kebersamaan serta solidaritas sebagai sesama perantauan
di tanah yang jauh ini.
bersama teman-teman asal Malaysia (foto: Muhammad Fauzi) |
Biasanya,
saat ke Islamic Center, saya sering bergabung bersama teman-teman asal
Malaysia. Kami akan berbincang banyak hal, mulai dari lagu-lagu Rhoma Irama,
hingga tentang Siti Nurhaliza. Selain warga Malaysia, saya juga menjalin
keakraban dengan teman-teman asal Timur Tengah. Satu yang saya saluti adalah
tumbuhnya rasa solidaritas, tanpa mempersoalkan mazhab masing-masing.
Di
sini, kami memang diikat oleh perasaan sesama Muslim. Kami sama sadar
bahwa puasa menjadi momen kesunyian, momen kesenyapan, yang menyediakan ruang
yang amat luas kepada seseorang untuk berdialog dengan Sang Pencipta demi
melepaskan segala onak dan duri di kaki-kaki kecil kami pada rimba kehidupan. Puasa
menjadi momen individual yang dihayati di hadapan atmosfer ketidakpedulian, serta
perasaan sebagai bagian dari minoritas yang hendak menegakkan tiang-tiang
keagamaan.
Saat
sedang berbincang, tiba-tiba saja semua diminta untuk antri untuk berbuka
puasa. Saya melihat makanan khas Arab berupa kambing guling yang nikmat sedang
mengepul di meja sana. Hmm…
Athens, Ohio, 20
Juli 2012
Usai berbuka puasa.
0 komentar:
Posting Komentar