Chairul Tanjung |
DI tanah air, kehebohan sedang melanda. Buku Chairul Tanjung Si
Anak Singkong, salah satu konglomerat di tanah air, sedang dibahas di
mana-mana. Di sampul, tertera tulisan kalau buku itu dibuat Tjahja Gunawan
Adiredja, seorang wartawan senior harian Kompas. Ternyata, buku itu adalah
hasil karya seorang ghost writer (GW)
bernama Inu Febiana. Mengapa sampai heboh?
Sang GW, Inu, menuliskan
secara panjang lebar proses penulisan buku tersebut melalui twitter. Pengakuan
itu langsung diteruskan ke mana-mana hingga mengalami kehebohan. Maka
terbukalah lapis-lapis pengetahuan yang selama ini tersembunyi. Terbukalah satu
rahasia di balik layar proses penulisan buku (untuk lebih jelasnya, baca DI SINI).
Andai tidak ditulis di twitter, mungkin kasus ini tidak heboh. Di
era ini, segala celah dan kebobrokan yang anda lakukan akan mudah diungkap ke
banyak orang. Apalagi jika itu menyangkut nama-nama besar. Twitter dan juga
Facebook menjadi ruang bagi banyak pihak untuk mengungkap fakta. Ketika
penjelasan itu masuk akal, maka simpati publik akan berdatangan. Namun ketika
yang diungkap itu hanya caci maki, tanpa ada dasar kuat, maka yakinlah, publik akan
menggelengkan kepala melihat tindakan tersebut.
Ada beberapa hal yang membuat kasus ini sedemikian heboh. Saya
akan menuliskannya satu demi satu.
Pertama, nama penulis yang tertera adalah seorang wartawan senior
di harian terbesar di Indonesia. Artinya, ia seorang yang paham seluk-beluk
dunia kepenulisan. Saya yakin ia lebih jago menulis ketimbang sang ghost
writer. Pengalaman tahunan di Kompas, pastilah telah mengasah dirinya menjuadi
penulis yang terbiasa dengan deadline, akurasi, atau memahami mana rambu-rambu
yang tak boleh dilanggar dalam kepenulisan. Pertanyaannya, mengapa ia
mempercayakan penulisan sebuah buku tentang tokoh hebat pada orang lain?
ilustrasi |
Kedua, kasus ini menjadi titik balik dari niat awalnya untuk
membangun pencitraan. Mungkin, niatnya adalah menampilkan sosok Chairul Tanjung
(CT) yang humble, pekerja keras,
serta sosok yang inspiratif. Berita tentang pengakuan ini mengalahkan berita
tentang sosok CT. Saya memantau perkembangan melalui google, ternyata berita yang banyak ditulis adalah kehebohan di balik penulisan buku ini. Pada akhirnya, orang akan berkesimpulan, ternyata si CT, sosok
yang disebut Forbes sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, adalah seorang
yang menzalimi hak-hak orang lain. Apakah ia sedemikian sibuk hingga tak tahu
bahwa penulisan biografinya membawa masalah bagi orang lain?
Ketiga, kehebohan ini telah membuka lapis kenyataan tentang sisi
lain dunia penerbitan di Indonesia. Kita seakan disadarkan bahwa ada banyak
orang yang mengais-ngais rezeki di jalur penulisan, meskipun namanya sama
sekali tidak pernah kita dengar. Mata kita seakan terbuka lebar, kalau di dunia
penulisan, nama-nama besar dan produktif itu tidak selalu menulis sendiri
bukunya. Ternyata, ada banyak ghost writer atau penulis bayangan, yang bekerja
berdasarkan pesanan.
Di daerah-daerah, saya sering melihat tiba-tiba saja ada pejabat
selevel pemimpin daerah yang produktif menulis buku. Saya sering bertanya dalam
hati, apakah sang pejabat itu punya waktu untuk menulis buku? Benarkah pejabat
itu yang punya daya nalar sedemikian jernih dalam menangkap kenyataan di sekitarnya?
poster film Ghost Writer |
Saya sendiri tak terlalu terkejut dengan hebohnya kasus ini. Sebab
saya sendiri punya pengalaman beberapa kali menjadi ghost writer. Saat masih
kuliah, saya beberapa kali mengerjakan proyek riset yang mengatasnamakan para professor.
Faktanya, para professor itu tidak pernah turun lapangan. Saya mengerjakan
semua proses itu, dan saat menuliskannya, nama professor itu yang tertera.
Bahkan para peneliti hebatpun juga sering menjadikan para
asistennya sebagai penulis bayangan. Seorang kawan menjelaskan bahwa antropolog
kondang seperti Marvin Harris sering meminta asistennya untuk menuliskan
pemikirannya. Ia tinggal mendiktekan sesuatu, dan asistennya inilah yang akan
menerjemahkan gagasan abstrak tersebut ke dalam kalimat yang terukur
sebagaimana lazimnya sebuah karya ilmiah. Di luar negeri ini, praktik lazim
terjadi. Sebab sang asisten tak lebih sebagai "tukang pemindah kata"
yang tugasnya merekam pemikiran dan menuliskan gagasan. Nama para asisten tetaplah ditulis dalam tim penulis buku.
Terhadap heboh buku CT ini, saya menyesalkan sang pemberi order,
sang wartawan Kompas senior itu, yang tidak memperjelas semua kontrak sejak
awal. Saya menduga, mungkin saja, mereka hanya ngobrol ngalor-ngidul, kemudian sang
GW yang ‘ketiban sial’ untuk menuntaskan buku itu. Sejak awal, tidak ada
koordinasi, sehingga sang GW itu menanggung sendiri ‘penderitaan’ menulis buku
tersebut. Celakanya, namanya kemudian tidak tertulis dalam buku tersebut.
ilustrasi |
Mestinya, hal seperti ini sejak awal sudah dibicarakan sama-sama. Saya
menduga, hal yang paling menimbulkan sengketa adalah soal royalty. Sungguh
kasihan jika sang GW hanya mendapat ‘ala kadarnya’, sedangkan sang pemberi
order panen besar. Saya sudah beberapa kali mengalami hal sebagaimana GW itu.
Susahnya, karena semuanya serba tertutup, tak ada transparansi, serta akses ke
sosok yang mau ditulis, yang notabene adalah pemilik duit. Maka tengkar di
balik layar, menjadi sebuah keniscayaan.
Yang paling saya sesalkan adalah nama besar sang wartawan yang
kemudian tercemari. Pengalaman menulis bertahun-tahun seakan sirna karena
dirinya hanya memberikan order pada penulis lain. Saya jadi ingat cerita
tentang plagiat di kampus-kampus di Amerika, yang kebanyakan dilakukan oleh
orang-orang cerdas. Ternyata, plagiat itu bukan dilakukan oleh orang bodoh,
melainkan orang yang justru amat cerdas.
Mengapa demikian? Sebab sang orang hebat itu selalu ingin tampil
sempurna. Ia tidak punya waktu lagi untuk mengotori tangan dengan mengambil
data lapangan, berkubang dalam lumpur kepenulisan, menyiksa diri dengan
disiplin dalam menulis, hingga menulis kata demi kata. Mungkin saja, sang
wartawan hebat itu hanya ingin tahu beres, tanpa mau susah. Ini penyakit yang
melanda banyak penulis yang terlanjur merasa hebat.
Apapun itu, yang juga patut dikasihani adalah Chairul Tanjung sendiri. Ia adalah korban atau pihak yang paling dirugikan. Ia yang punya hasrat narsis untuk dituliskan biografi. Ia juga yang menyiapkan uang dan menyewa penulis senior. Ia pula yang kena getahnya karena bukunya malah tidak heboh. Yang heboh adalah kisruh di balik layar, kisruh tentang penulis buku yang sesungguhnya, penulis tidak mendapatkan apapun dari proses ini.
Tadinya, buku ini diniatkan untuk memberikan inspirasi. Bahwa ternyata kehidupan CT digerakkan oleh nilai-nilai ketulusan, keadilan, keikhlasan, atau pengorbanan. Ternyata, fakta yang tersaji adalah keikhlasan dan keadilan itu tidak terrefleksi pada penulis yang asli. Ternyata, di balik buku yang isinya adalah ketulusan dan kejernihan, terdapat kekeruhan serta ketidakadilan yang melanda penulis aslinya. Lantas, masih pantaskah kita membeli buku ini?
Athens, 7 Juli 2012
2 komentar:
Dari awal melihat bukunya tidak (belum)tertarik untuk membelinya. Membaca sedemikian berita yang beredar. Hmm saya juga berpikir, pantaskah saya membelinya?
wah saya malah baru tau kalau ada kasus dibalik layarnya..tapi sampai sekarang itu buku masih diiklankan juga
Posting Komentar