dua anak Indian yang sedang menari |
O Great Spirit!
help me always to
speak the truth quietly,
to listen with an
open mind when others speak,
and to remember the
peace that may be found in silence
DI
atas bukit, pria setengah tua itu memandang ke lapangan luas sambil
menggumamkan syair. Ia menyaksikan lima tenda khas Indian (disebut tipi)
berdiri kokoh. Di sekitar tenda itu, ratusan bangsa Indian tengah berkumpul.
Mereka memakai pakaian khas Indian, lalu bersama menari sambil bermain musik.
Mereka terdiri atas berbagai lapisan usia. Ada kanak-kanak, remaja, dan dewasa.
Sayup-sayup, gendang berdentam dan ada nyanyian dengan suara yang seakan
memekik.
Pria
itu memandang ke bawah. Seakan merespon gendang yang terdengar bertalu-talu, ia
lalu mengambil alat musik tiup sejenis seruling. Ia lalu meniupnya perlahan.
Suaranya terdengar menyayat-nyayat hati ini. Musiknya berupa suara-suara alam
yang seakan menembus belukar pengunungan Appalachian.
Kemarin,
Sabtu (14/7), pria yang mengenakan mantel bulu srigala itu, tengah menyaksikan
sebuah festival besar bernama Great Mohican Pow Wow. Di lapangan luas yang
terletak di Loudonville, Ohio, Amerika Serikat (AS), ratusan bangsa Indian
berkumpul bersama dengan pakaian khas. Mereka menari, bernyanyi, mengkuti irama
musik, sembari menyatukan solidaritas bersama.
dua prajurit |
seorang penari |
Bagi
bangsa Indian, Pow Wow adalah momen untuk bertemu, menari, bernyanyi, serta
memperbaharui kekerabatan. Melalui Pow Wow, mereka menyadari kekayaan tradisi,
serta bersama membangun komitmen untuk tetap menjaga kelestarian identitas
sebagai bangsa Indian, di tengah masyarakat Amerika yang seolah meminggirkan
mereka.
Saya
sangat beruntung karena bisa menghadiri festival tahunan ini. Acara yang
ditampilkan cukup variatif. Selain menampilkan parade pakaian khas Indian,
terdapat pula pementasan storyteller yang berisikan dongeng bangsa
Indian, juga demonstrasi melempar tomahawk, senjata khas bangsa Indian, musik,
serta Iroquois Smoke Dancing yang sakral tersebut.
Selain
traksi seni dan ketangkasan, terdapat pula pameran yang menjajakan produk seni
bangsa Indian. Saya menyaksikan banyak busur terentang dengan anak panah yang
tajam. Ada pula mantel bulu serta kain-kain yang ditenun bangsa Indian,
perhiasan, cincin, bebatuan, hingga berbagai jenis kerajinan tangan.
perempuan suku Indian |
Mengingat
pentingnya acara ini, hampir semua keturunan bangsa Indian yang tinggal di
sekitar Ohio berusaha menghadiri acara ini. Mereka seakan terpanggil dengan
misi kebudayaan festival ini yang menjadi jembatan untuk mengenali identitas
masa silam, serta berbagi informasi tentang masa kini. Namun, benarkah semua
orang Indian menggemari acara ini?
Pria
tua yang duduk di pebukitan itu hanya menatap nanar dari kejauhan. Pria yang
menyebut dirinya sebagai The Wolf (srigala) ini malah miris melihat tradisinya
yang kian lenyap dan dijadikan sebagai tontonan. Sebagaimana syair yang
diucapkannya di atas, ia memilih berkarib kesunyian sambil menyaksikan tarian
bangsa Indian dari kejauhan. Lewat kesunyian, ia menata ulang ingatan tentang
masa silam bangsa Indian yang penuh hiruk-pikuk dengan penjelajahan di alam bebas.
Ia
membayangkan hari-hari yang diisi dengan petualangan menaklukan padang prairie.
Di masa silam, para prajurit Indian adalah mereka yang hidup menyatu dengan
alam, menganggap semesta sebagai ibu yang melahirkan dan membesarkan, kemudian
berkelana hingga batas terjauh pencapaiannya demi menyebar kearifan pada alam.
Mereka
memuliakan semesta yang diyakini sebagai refleksi Jiwa Agung yang menjadi
kreator atas semua penciptaan. Itu terefleksi pada ucapan yang masyhur dari
ucapan masyhur Ketua Suku Qioux, “Perlakukan bumi dengan baik. Bumi bukanlah
diberikan oleh leluhur. Tapi dipinjamkan oleh anak cucu kita.”
Hari
ini, semua ritus dan tarian sakral, filosofi, serta perenungan atas semesta
hanya menjadi catatan kaki dari perjalanan bangsa Amerika. Tarian sakral itu
telah mengalami penciutan makna hingga menjadi komoditas festival. Pria itu
hanya bisa menggumam lirih sambil berkata, “Kami bangsa Indian seolah bangsa
yang dikutuk. Di masa silam, kami dilenyapkan oleh kedatangan bangsa asing. Di
masa kini, kami dilenyapkan oleh modernitas. Tarian kami hanya tampil saat
festival.”
Di
tengah keperihannya, ia lalu meniup seruling dengan bunyi yang kian menyayat
hati.
Kisah
Winnetou
Saya
hanya tertegun. Saya tak terkejut dengan penuturannya. Saat masih kecil, saya
membaca habis karya-karya penulis Jerman Dr Karl May, khususnya Winnetou, Ketua
Suku Apache. Kisah Winnetou menjadi inspirasi saya untuk mengenali lebih jauh
nasib bangsa Indian. Kisah ini bukan saja berisikan petualangan dan
penjelajahan di padang prairie, namun juga menyajikan filosofi dan karakter hidup
bangsa Indian yang menyatu dengan alam, dan menganggap diri sebaai bagian dari
semesta.
berpose dengan seorang prajurit Indian |
Sayang,
kedatangan bangsa pendatang asal Eropa menyebabkan Winnnetou dan sebangsanya
tergusur dari tanah nenek moyangnya sendiri. Mereka lalu dilabel sebagai bangsa
yang primitif, pemangsa manusia, serta dianggap tidak layak hidup. Mereka lalu
diperangi, dan sisa-sisa bangsa Indian, kemudian dipaksa untuk menempati kamp
reservasi seolah mereka adalah binatang liar. Mereka menjalani hidup sebagai
pengangguran serta pemabuk pada tanah yang pernah didiami oleh nenek moyangnya
sendiri.
Di
tahun 1991, sebuah film berjudul Dances with Wolves yang dibintangi
Kevin Costner diedarkan. Film yang mengisahkan tentang bangsa Indian ini
kemudian menohok rasa bersalah bangsa Amerika yang selama ratusan tahun telah
menjajah bangsa Indian. Bangsa Amerika seakan disadarkan bahwa telah terjadi
sebuah praktik yang tidak adil ketika mereka memperlakukan bangsa Indian
sebagai ‘anak haram peradaban.’
Mereka
akhirnya menyadari bahwa kebudayaan Indian adalah kebudayaan yang nyaris
terlupakan di Amerika Serikat. Padahal, orang-orang Indian adalah pemilik asli
tanah yang kini menjadi negeri besar dengan militer paling hebat dalam sejarah.
Ternyata,
butuh waktu ratusan tahun untuk mengakui bahwa pahlawan bangsa Indian seperti
Sitting Bull, Geronimo, Black Elk Oglala (sang manusia suci dari Sioux),
serta Sauk ‘The Black Hawk’ adalah para pejuang yang mengabdikan dirinya
pada nurani dan kemanusiaan. Mereka adalah pejuang yang tak ingin bangsanya
dilenyapkan sejarah.
cenderamata yang dijajakan |
Lantas,
apa yang tersisa dari bangsa Indian hari ini? Saya tertegun menyaksikan
penampilan para “The Last Mohican” di acara ini. Saya menyaksikan
tari-tarian yang meniru gerak binatang dan semesta. Mendengar bunyi gendang
itu, saya serasa mendengar detak jantung manusia Indian yang menolak untuk
dilenyapkan.
Setidaknya
saya bahagia menyaksikan banyak anak-anak yang tampil penuh kegembiraan. Mereka
laksana prajurit gagah masa silam yang menyandang tomahawk serta busur panah.
Mereka memang tidak lagi menghadai pertempuran serta alam liar padang prairie
di mana srigala dan bison menjadi sahabat. Mereka akan menjinakkan modernitas
yang telah menyapu generasi sebelum mereka.
Namun,
saya tiba-tiba tersentak ketika mengingat pertanyaan terakhir dari sang srigala
di bukit sana. Adakah harapan buat bangsa Indian di hari ini? Bisakah kami
lepas dari ancaman kepunahan?
Athens, Ohio, 15 Juli
2012
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar