DI
tanah air, puasa bukan sekadar momen religious, tapi juga momen kultural. Malam
saat puasa perdana adalah salah satu malam tersibuk. Jalanan penuh pawai kendaraan
takbiran. Petasan berdentum di mana-mana. Kembang api melukis langit. Dan
dapur-dapur mengepulkan asap dari wanginya menu yang disiapkan. Puasa adalah
kemeriahan, serupa menyambut seorang tamu jauh yang datang membawa banyak
rezeki.
ilustrasi foto karya James Natchway |
Di
sini, di tanah yang jauh dari tanah air, puasa seakan tak punya jejak. Puasa
tak punya getar yang menggores di hati masyarakatnya. Hari-hari puasa adalah
hari-hari sunyi di musim panas, tatkala banyak orang berrekreasi atau
berleha-leha sambil mengenakan bikini dan menyeruput root beer. Puasa tak
punya jejak kultural. Hanya membekas di hati mereka yang Muslim. Itupun
masing-masing orang memaknainya secara berbeda.
Saya
sedang berjibaku untuk menghadirkan puasa dalam ruang-ruang berpikir. Saya
sadar bahwa puasa kali ini akan sangat berbeda. Tahun-tahun silam, saya
merasakan nikmat puasa karena dorongan masyarakat, yang secara kolektif, melihat
puasa sebagai pawai kultural. Semuanya bangun sahur, sama-sama ke masjid,
tarwih, atau jalan-jalan subuh seusai salat. Masyarakat memiliki energi dan
dorongan yang sifatnya memaksa agar semua orang merasakan nikmat puasa.
Tapi
di sini, di tanah jauh ini, energi itu tak berjejak. Puasa menjadi momen
kesunyian, momen kesenyapan, yang menyediakan ruang yang amat luas kepada
seseorang untuk berdialog dengan Sang Pencipta demi melepaskan segala onak dan duri di
kaki-kaki kecilnya di rimba kehidupan. Puasa menjadi momen individual yang
dihayati di hadapan atmosfer ketidakpedulian, serta perasaan sebagai bagian
dari minoritas yang hendak menegakkan tiang-tiang keagamaan.
Mungkin
ini sebuah tantangan yang mesti dihadapi dengan arif, dan tidak dengan
bersedu-sedan saat merindu ke tanah air. Saya belajar untuk memaknainya sebagai jalan
sunyi di mana segala tantangan (atau hal yang membatalkan puasa) adalah gemuruh
yang memenuhi dada ini yang harus dihadapi seorang diri, tanpa berharap ada
tangan-tangan kekar masyarakat untuk menghadapinya, tanpa berharap akan ada
kemeriahan dan dinamika budaya sebagai atmosfer yang menyadarkan bahwa ini
adalah momentum puasa.
Ini
momen yang sublim. Momen penuh kesunyian. Momen penuh pengharapan. Sekaligus
momen untuk menjaga diri dari terkaman masyarakat yang acuh.(*)
Athens, Jumat (20/7)
Seusai sahur perdana
1 komentar:
saat puasa selalu ada nuansa yang lain daripada bulan bulan biasa,
lebih damai dan menentramkan hati
Posting Komentar