foto para prajurit di Walmart |
DI
luar sana, petasan bersahut-sahutan. Kembang api berpendar di udara. Cahaya
warna-warni memenuhi udara, yang kemudian diikuti dentuman besar. Pertama
kalinya saya merasakan suasana perayaan kemerdekaan Amerika Serikat (AS).
Suasananya meriah, serupa perayaan kemerdekaan di Indonesia. Atau
jangan-jangan, perayaan di Indonesia yang malah menjiplak perayaan di sini.
Saya
memilih untuk mengurung diri di kamar. Saya tak menemukan kebahagiaan di tengah
sorak-sorai atau hingar-bingar petasan dan kembang api. Manusia memang selalu
menandai hari dengan kemeriahan. Di saat bersamaan, ada lapis-lapis makna yang
kemudian lenyap dan terlupakan. Kemeriahan itu telah menutupi genangan makna
yang semestinya diselami demi menjernihkan masa kini.
Amerika
Serikat adalah bangsa yang terus-menerus menyalakan api nasionalisme. Saya
menyaksikan begitu banyak bendera Amerika tersebar di mana-mana. Mulai dari
rumah sakit hingga pusat perbelanjaan Walmart, saya menyaksikan bendera-bendera
serta foto-foto para prajurit yang gugur di medan laga. Di pusat belanja itu,
saya sering merenung, apakah konsumerisme adalah sesuatu yang diperjuangkan
para prajurit gugur itu?
hormati para veteran dengan cara membeli barang |
pemandangan di Walmart |
Nasionalisme
memang menyimpan paradoks. Jika di Indonesia, nasionalisme adalah sesuatu yang
didaur-ulang secara terus-menerus, maka di Amerika, nasionalisme adalah sesuatu
yang terus actual, terus berdenyut, terus mendidih seiring dengan daya jelajah
negeri ini di negara-negara dunia ketiga. Nasionalisme Amerika berisikan
barisan kisah tentang para patriot yang berjuang di medan laga, tanpa peduli apakah negeri yang dibelanya itu salah ataukah benar.
Bendera
itu seolah menjadi simbol ibu pertiwi yang tengah memanggil putranya untuk
berkorban di medan laga. Bendera itu menjadi simbol dari tanah air yang harus
dibela hingga titik darah penghabisan, simbol dari rajawali terluka yang butuh
dikuatkan dengan mengalirkan darah ke tubuhnya.
Nasionalisme
ini bukan sesuatu yang tetap secara terus-menerus. Hari ini, saya membaca diskusi di majalah Time tentang seberapa aktualkah
pertanyaan tentang American Dream atau mimpi-mimpi Amerika. Di tahun 1931,
sejarawan James Truslow Adams menulis kalimat American Dreams sebagai tekad
kuat untuk keluar dari masa gelap Great Depression. Saat itu, optimisme memang
dikerek tinggi-tinggi. Amerika harus bangkit. Harus jadi kekuatan dunia.
Adams
memang seorang yang sangat realistis sekaligus optimistic. Ia berkata, “Amerika harus jadi negeri yang lebih baik,
lebih kaya, dan lebih bahagia.” Ia seakan mematok kembali pendapat Thomas
Jefferson yang menyebut Amerika sebagai ‘the
world’s best hope’. Dalam buku The
Epic of America, Adams senantiasa mengulang-ngulang kalimat bahwa upaya
mengejar mimpi itu mesti dimulai sejak hari ini.
monumen prajurit yang tewas di perang Korea |
ibu pertiwi memanggil |
Hari
ini, kalimat ‘American Dream’ itu menjadi tanda tanya besar. Generasi baru tak
paham dengan mimpi-mimpi besar itu. Apalagi, Amerika tidak sendirian di pentas
global. China juga mulai bicara tentang China Dream. Di lapangan ekonomi,
kekuatan Amerika mulai digerogoti China.
Nasionalisme
Amerika serupa topeng yang menutupi sesuatu. Saya menyimpulkan ini saat
beberapa kali berkunjung ke Walmart. Di sana, banyak gambar prajurit dan
bendera-bendera. Namun saat masuk melihat barang-barang, ternyata rata-rata
buatan China. Lantas, apakah para prajurit gugur itu akan nyaman dengan apa
yang sedang berlangsung di situ?
Athens, 4 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar