sampul buku yang akan segera terbit |
SEBULAN
silam, buku pertama yang saya editori Menyibak Kabut di Keraton Buton
diterbitkan ulang. Kini, buku keempat di mana saya terlibat membantu dan mengembangkan ide, akan segera terbit. Buku ini berjudul Negeri Seribu Benteng. Sebagai editor, saya menginisiasi semua proses hingga buku terbit. Mulai dari mengembangkan gagasan, mengundang penulis, hingga memberikan catatan yang kemudian menjadi benang merah dari semua tulisan dalam buku.
Buku ini terbilang lama proses pengerjaannya. Idenya dimulai tiga tahun
lalu, namun entah mengapa, saya dan teman-teman selalu menundanya. Masalah yang
paling banyak mendera kami adalah keengganan atau kadang-kadang adanya masalah.
Dua tahun lalu, buku ini mestinya tuntas. Tapi, saya ditimpa masalah ketika
dilaporkan ke polisi oleh sebuah kampus besar di kawasan timur Indonesia.
Selama berurusan dengan polisi, saya tidak bisa fokus mengerjakannya.
Beberapa bulan berikutnya, saya mendapatkan beasiswa Ford. Lagi-lagi, saya
menunda proses pengerjaannya karena harus menghabiskan waktu untuk belajar
bahasa Inggris. Hingga akhirnya, saya menitipkan semua proses itu pada sahabat Syahrir
Ramadhan dan Mu’min. Kini, setelah sembilan bulan saya di sini, buku itu baru
akan keluar.
buku pertama yang diterbitkan ulang |
Kami terlalu banyak memboroskan waktu untuk proses pengerjaannya. Tak ada
yang bisa disalahkan dari proses ini. Sebab kami semua baru belajar tentang
bagaimana menyelesaikan buku. Kami juga kesulitan untuk menemukan layouter
serta desainer sampul yang baik. Kami ingin melibatkan sebanyak mungkin tenaga
teknis di Buton. Namun, dalam praktiknya, semuanya tidak semudah yang kami
bayangkan. Rencana-rencana kami tidak bisa direalisasikan sebagaimana yang kami
bayangkan.
Hingga akhirnya, suatu hari, saya lalu mengontak sebuah lembaga di
Yogyakarta untuk membantu menyelesaikan buku itu. Kami minta bantuan teknis
layout dan juga desain sampul. Akhirnya, buku itu bisa terselesaikan. Hanya
satu yang saya pikirkan yakni aspek editorial yang mestinya bisa lebih
maksimal. Mestinya, kami menyewa satu tenaga ahli yang bisa menyempurnakan
proses yang sudah kami mulai dari daerah.
Meskipun demikian, semangat buku ini sangatlah kental. Kami menawarkan sebuah ruang gagasan, dan memberikan kesempatan bagi banyak kalangan, tidak cuma mereka yang dari perguruan tinggi saja. Bahkan seorang imam masjid, budayawan lokal, hingga sejarawan lokal --yang tidak pernah mengenyam bangku akademis-- tetap menempati posisi yang sama dalam buku itu. Bagi saya dan teman-teman, cara berpikir dikotomis yang membedakan antara orang akademis dan bukan akademis adalah sebentuk keangkuhan intelektual. Cara berpikir itu adalah cara berpikir yang picik dan angkuh.
Meskipun demikian, semangat buku ini sangatlah kental. Kami menawarkan sebuah ruang gagasan, dan memberikan kesempatan bagi banyak kalangan, tidak cuma mereka yang dari perguruan tinggi saja. Bahkan seorang imam masjid, budayawan lokal, hingga sejarawan lokal --yang tidak pernah mengenyam bangku akademis-- tetap menempati posisi yang sama dalam buku itu. Bagi saya dan teman-teman, cara berpikir dikotomis yang membedakan antara orang akademis dan bukan akademis adalah sebentuk keangkuhan intelektual. Cara berpikir itu adalah cara berpikir yang picik dan angkuh.
Pengetahuan adalah sesuatu yang sebagaimana udara, bisa
ditemukan di mana-mana. Mereka yang mengasah kepekaan dan membuka wawasan serta
hati akan menerima limpahan pengetahuan yang lebih kaya daripada yang lain.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang hanya didapat di bangku sekolah, namun
merupakan sesuatu yang dikumpulkan sepanjang perjalanan mengarungi bahtera
kehidupan.
sebuah kehormatan ketika Prof Collins meminta saya menandatangani buku itu |
Untuk itu, kami memberikan penghormatan kepada sejumlah
orang tua di daerah yang memiliki kearifan pengetahuan itu, meskipun tidak
pernah mengenyam bangku pendidikan. Mereka belajar dari rumah besar bernama
semesta, mereguk kearifan di sepanjang perjalanan kehidupan, dan betapa
hebatnya mereka-mereka ketika bersedia menuliskan pengetahuan itu untuk
generasi mendatang.
Saya paham kalau tulisan mereka kadang tidak runtut atau
tidak metodologis. Justru tanggung jawab kami adalah membantu dan memberikan masukan agar tulisan mereka bisa enak dibaca banyak orang dari berbagai
kalangan. Di sini, akan terjadi dialog yang sangat positif antara kami dan
orang-orang tua itu. Kami belajar kearifan dari mereka, dan sebaliknya mereka
belajar metodologi dari kami. Prosesnya timbal balik dan akan saling
memperkaya.
Hal lain yang menjadi misi idealis kami adalah kami
hendak merayakan indahnya lokalitas. Kami ingin melihat dunia dengan cara
pandang lokal. Terlampau sering orang-orang Buton ditafsirkan dengan cara
pandang luar. Mungkin inilah saatnya kami menatap dunia dengan cara kami
sendiri. Kami ingin memaksa orang lain untuk melihat dunia dengan cara kami.
Selamat buat semua teman-teman Respect!
Athens, 13 Juni 2012
1 komentar:
saya senang jadi bagian tim buku ini. walau pengerjaannya sempat mengalami pasang surut, tapi semangat teman-teman untuk menuntaskan buku ini tak pernah padam.
Posting Komentar