kari cumi-cumi yang dimasak Eli hari ini. Hmmm...... Sedap! |
BANYAK
yang mengira kalau selama di Athens, saya setiap hari mengonsumsi makanan ala
Amerika. Banyak juga yang bertanya, apakah tidak bosan makan hamburger atau
spaghetti? Terhadap pertanyaan itu, tak henti saya jelaskan bahwa hampir setiap
hari saya tetap makan menu ala Indonesia. Kok bisa?
Seringkali
saya berpikir mengikuti style
Amerika. Namun soal rasa dan kenikmatan, saya tak bisa lepas dari tanah air
tercinta. Saya tak bisa lepas dari eksotika bumbu masak serta menu-menu
tradisional khas Indonesia, yang telah sedemikian akrab degan lidah sejak
pertama melihat dunia. Melalui makanan itu, terdapat kisah, sejarah, serta
identitas yang kemudian mewarnai hari-hari. Kita bisa bercerita tentang identitas suatu bangsa melalui makanan.
Kita
menyebutnya sebagai kebudayaan. Dalam tafsiran sederhana, kebudayaan berisikan
resep-resep yang kemudian menjadi panduan bagi manusia untuk menilai sesuatu.
Dalam hal konsep enak dan tidak enak, kebudayaan menjadi kompas yang menentukan
rasa dan selera. Bagaimanapun saya mencobanya, tetap saja saya belum menemukan
kenikmatan pada menu makanan khas Amerika. Bagaimanakah halnya dengan budaya makan ala Indonesia saat berada di Amerika?
Saya tak bisa lepas dari menu khas Indonesia. Masalahnya adalah restoran dengan menu ala Indonesia amat jarang ditemukan di Amerika. Jika rasa kangen itu sudah menggebu, biasanya saya akan singgah ke restoran Cina atau Thailand demi menemukan rasa khas Indonesia. Setidaknya, ada kesamaan karena makanan utamanya adalah nasi. Sering saya bertanya dalam hati, mengapa warga Thailand bisa melakukan ekspansi kultural dalam hal makanan, sementara kita tak bisa melakukan hal yang sama?
Saya tak bisa lepas dari menu khas Indonesia. Masalahnya adalah restoran dengan menu ala Indonesia amat jarang ditemukan di Amerika. Jika rasa kangen itu sudah menggebu, biasanya saya akan singgah ke restoran Cina atau Thailand demi menemukan rasa khas Indonesia. Setidaknya, ada kesamaan karena makanan utamanya adalah nasi. Sering saya bertanya dalam hati, mengapa warga Thailand bisa melakukan ekspansi kultural dalam hal makanan, sementara kita tak bisa melakukan hal yang sama?
Sayangnya,
biaya makanan di restoran jauh lebih mahal ketimbang membeli bahan mentah dan
mengolahnya sendiri. Makanya, mau tak mau, suka atau tidak suka, saya mesti
belajar bagaimana mengolah dan memasak makanan. Jika di tanah air, saya amat jarang
menginjakkan kaki di dapur, maka di sini, saya tak punya pilihan. Saya mesti
belajar bagaimana masak-memasak demi memenuhi keinginan dan selera lidah yang
sering menuntut rasa masakan khas tanah air.
ikan tilapia yang ditumis dengan bumbu terasi |
ikan mackerel (tuna) dengan bumbu tomat |
Saya
lalu belajar secara otodidak. Sering pula saya belajar pada mahasiswa Indonesia
lainnya. Namun sejauh ini, percobaan masak yang saya lakukan lebih sering
gagal, daripada berhasil. Dahulu, saya beruntung karena punya roommate sesama
mahasiswa Indonesia yang bersedia untuk mencoba makanan eksperimen itu. Tapi
sejak roommate-ku balik ke Indonesia, terpaksa, saya melakukan percobaan, lalu
menikmatinya sendiri. Gimana rasanya? Hmm… Entahlah.
Jika
di tanah air, menu utama adalah nasi, maka demikian pula dengan di sini. Saya
suka membeli beras Jasmine khas Thailand di Walmart. Rasanya jauh lebih enak
dari jenis beras yang sering dibagikan pada PNS di daerah. Untuk lauk, saya
suka berkreasi dengan menu ikan. Maklum saja, saya berasal dari pulau kecil.
Keluarga saya banyak yang berprofesi sebagai nelayan. Makanya, ikan menjadi
menu wajib yang tak mungkin ditinggalkan. Di Athens, ikan yang tersedia adalah
ikan jenis pilapia atau ikan salmon. Saya suka berkreasi dengan dua jenis ikan
ini.
Bagaimana
dengan bumbunya? Saya membelinya di Asian Market. Biasanya, toko-toko Asia
menyediakan semua jenis bumbu serta makanan khas Indonesia. Setiap ke situ,
saya juga akan membeli indomie sebanyak-banyaknya. Seorang teman sering menyindir,
jauh-jauh ke Amrik hanya untuk makan indomie. Iya sih. Hehehe.
semur cumi |
ikan goreng dengan bumbu pesmol |
Jika
tak banyak bahan, maka saya suka membeli bumbu yang sudah jadi. Tak perlu
repot, cukup dicampurkan saja, kemudian menunggu. Setelah matang, maka
siap-siap dimakan dengan nasi yang mengepul-ngepul. Saya sering menambah
menunya dengan sambal goreng terasi. Hmm… Yummy!
Hari
ini, sahabat Eli memasak menu kari cumi-cumi. Saya memperhatikan cara-caranya
mengolah cumi menjadi masakan enak. Nampaknya, ia menggunakan resep ala Aceh
yang amat nikmat. Asapnya mengepul-ngepul. Saya tak sanggup melihat menu seenak
itu. Saya lalu menyendok cumi dan mencobainya. Hmm.. Rasanya agak pedes, namun
luar biasa nikmat. Saya memberi point Sembilan, untuk skala 1 – 10. Rasanya
hebat!
Mungkin
besok, saya mesti mencoba resep ini. Saya akan belajar mengkreasikannya dengan
saos tiram. Ada yang berminat untuk mencoba?
Athens, 24 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar