kampus Harvard University |
NASKAH Bugis tersebar hingga Amerika Serikat (AS). Di
tahun 2002, sejarawan Roger Tol menulis tentang Husin bin Ismail, penyalin naskah
Bugis di penghujung abad ke-18, yang naskahnya tersimpan di Library of Congress
di Washington DC.
Husin menjadi salah satu mata rantai penting yang
menjelaskan mengapa naskah Bugis bisa ditemukan di beberapa perpustakaan di
Amerika, termasuk Library of Congress dan perpustakaan Harvard University.
Naskah-naskah itu menjadi koleksi berharga yang kemudian menjadi bukti betapa
jauhnya penjelajahan intelektual bangsa Bugis pada masa silam.
Selama ini, publik beranggapan bahwa pustaka Bugis
hanya bisa ditemukan di Belanda. Dahulu, kajian tentang Sulawesi Selatan
berpusat pada institusi yang dimiliki Kerajaan Belanda di kota kecil Leiden.
Namun, seiring dengan beberapa perkembangan terbaru, kajian dan pustaka Bugis
bertebaran di banyak perpustakaan serta kampus-kampus besar di AS. Sejak lima
tahun terakhir, AS juga menjadi kiblat baru yang mengoleksi segala khasanah
tradisi dan kearifan orang-orang Bugis. AS menjadi magnet bagi kajian kawasan
dan kajian kebudayaan.
Memang, pada era antropolog Clifford Geertz, sudah
terdapat upaya untuk menggeser kajian keindonesiaan, yang dahulu pekat dengan nuansa
Nederlandosentris menjadi pekat dengan aroma Amerikasentris. Kini, upaya itu
mulai berbuah. Kajian tentang Bugis mulai subur bertumbuh di AS. Belakangan,
beberapa peneliti baru bermunculan dan meramaikan khasanah pemikiran tentang
Bugis dan Makassar di tanah Amerika.
di depan perpustakaan di kampus Harvard University |
Saya beberapa kali tercengang saat melihat koleksi
pustaka beberapa kampus seperti Harvard, Ohio ataupun Cornell. Mereka
mengumpulkan segala bentuk kajian Bugis, baik berbentuk buku, film dokumenter,
serta catatan etnografis yang kemudian bisa menjadi panduan bagi siapapun untuk
memahami Bugis.
Di beberapa kampus ini, saya bisa menemukan hampir
semua publikasi tentang Bugis. Mulai dari naskah kuno La Galigo, hingga
buku-buku terbitan Ininnawa yang berpusat di Makassar.
Tak hanya itu, saya juga menemukan beberapa majalah
kampus yang pernah saya buat di awal tahun 2000. Pada akhirnya, saya berkesimpulan
bahwa masyarakat bangsa lain adalah masyarakat yang menghargai segala bentuk
catatan dan mengumpulkannya sebagai arsip yang berharga di kemudian hari.
Buat saya, fenomena banyaknya pustaka Bugis di AS ini
bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, ini merupakan pertanda adanya gairah
intelektual yang amat besar terhadap kebudayaan Bugis dan Makassar. Banyak
peneliti asing yang mulai menyadari bahwa kajian kawasan dan kebudayaan Bugis
bisa jadi gerbang untuk menjelaskan dinamika yang lebih luas.
Library of Congress |
Apalagi, orang-orang Bugis merupakan tipe penjelajah
yang kemudian tersebar ke banyak tempat di Nusantara, mendirikan Singapura, dan
menjadi kekuatan penting yang menggerakkan Malaysia. Mereka memiliki etos kerja
yang tinggi dan kemudian mempengaruhi dinamika sosial di manapun mereka berada.
Kedua, kenyataan ini menunjukkan betapa tidak
pedulinya kita pada kajian tentang tradisi dan kebudayaan. Saya selalu
menyesalkan mengapa naskah-naskah tentang Bugis mesti ditemukan di tempat lain
dan bukan di Makassar ataupun daerah-daerah yang basis etnis Bugis bertebaran?
Mengapa harus Belanda ataukah Amerika Serikat?
Di tahun 2009, saya melakukan riset tentang tradisi
lisan Bugis di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Pada saat itu, saya
mengumpulkan beberapa literature, kemudian mengunjungi beberapa perpustakaan di
beberapa kampus. Saat itu, saya menyadari bahwa di tanah asalnya, pustaka Bugis
– Makassar ibarat barang langka yang sukar ditemukan.
Jika ditengok perpustakaan di beberapa kampus besar
seperti Universitas Hasanuddin (Unhas), maka kenyataannya juga amat memiriskan
hati. Betapa tidak, koleksi tentang
Bugis menjadi koleksi paling sedikit dari perpustakaan itu.
Kampus seakan enggan untuk berinvestasi pada
upaya-upaya penyelamatan khasanah tradisional. Kampus lebih suka dengan sesuatu
yang modern, megah, dan terkesan mentereng. Apalagi, banyak kampus ingin
mengejar label level dunia. Apakah ini pertanda bahwa generasi baru
Bugis-Makassar sudah tidak peduli dengan karya-karya tentang masyarakatnya
sendiri?
Keping Fenomena
Fenomena ini mestinya disikapi dengan sikap penuh
keprihatinan. Tiadanya perpustakaan besar di beberapa kampus di Makassar
sungguh sebuah tamparan bagi visi untuk menjadi perguruan tinggi level dunia.
Idealnya, universitas menjadi institusi yang merawat peradaban, menyelamatkan
tradisi, serta merekayasa masa depan. Jika universitas hanya menjadi basis bagi
politisi di tingkat kampus, maka bisa dibayangkan peradaban seperti apa yang
hendak direncanakan di masa depan.
kampus Harvard University |
Padahal, investasi pada aspek pustaka tidaklah
seberapa besar jika dibandingkan dengan investasi pada bangunan megah di
beberapa kampus. Tidak banyak yang menyadari bahwa pustaka dan perpustakaan
merupakan jantung serta ruh bagi kegiatan akademik. Ia juga merupakan ruh dari
segala proses kebijakan, serta upaya untuk menyerap inspirasi dari dunia sosial.
Pustaka adalah mata air yang mengalirkan sungai pengetahuan yang bersumber dari
dinamika manusia dari zaman ke zaman.
Aspek yang juga tak kalah penting adalah tentang para
pengarang. Kita jarang berrefleksi secara kritis bahwa di kota ini terdapat ratusan
doktor dan ribuan sarjana. Tapi mengapa justru tak bermunculan banyak
karya-karya yang kemudian bisa menjadi penejlas atas dinamika sosial masa silam
dan masa kini? Mengapa keadaannya amat kontras dengan penghujung abad ke-18,
ketika Colliq Puji’e dan Husin bin Ismail yang bisa menulis ulang naskah-naskah
yang kemudian melanglang buana hingga ke banyak negara?
Kita tak pernah bertanya dengan kritis, seberapa
banyakkah publikasi yang muncul dari tanah Makassar? Atau seberapa banyakkah
jumlah pengarang muda yang lahir setiap tahun? Manakah yang lebih banyak antara
pengarang dan tim sukses kandidat pemimpin daerah?
Seorang sahabat pernah berkisah bahwa sebenarnya
publikasi di Makassar tidak parah-parah amat. Malah, beberapa penerbit di
Yogyakarta menuturkan bahwa hampir setiap bulan terdapat buku yang dicetak
sebagai buah karya pengarang Makassar. Namun setelah ditelusuri lebih jauh,
buku yang dihasilkan adalah buku-buku biografi tentang pejabat, yang dibuat
berdasarkan pesanan demi untuk memperkokoh pencitraan tentang sang pejabat.
Pustaka-pustaka ini jelas tidak akan menambah panjang
jejak pencapaian intelektualitas di kota ini. Pustaka ini hanya menunjukkan
seberapa jauh watak narsis para pemimpin kita yang selalu menginginkan namanya
dicatat dalam sejarah, meskipun untuk pencatatan itu, mereka tidak segan
mengeluarkan uang dalam jumlah banyak.
Mungkin ini menjadi takdir serta tantangan bagi dunia
pustaka dan dunia intelektualitas di Sulsel. Di saat bersamaan, kita mesti
menumbuhkan daya-daya kreatif untuk mengelola segala potensi demi menumbuhkan
respon kebudayaan yang kuat atas segala tantangan yang dihadapi.
Mungkin, tantangan paling besar adalah bagaimana
mengembalikan Sulsel sebagai kiblat utama atas kajian menyangkut Sulsel
sendiri. Upaya ini jelas tidak mudah, namun mesti ditempuh dengan dalih
penyelamatan masa depan.
Tentu saja, kita tak perlu menunggu bangsa asing untuk
mengumpulkan segala catatan tentang diri kita. Mesti ada upaya yang sifatnya
terorganisir dan terarah untuk menjaga warisan kebudayaan Bugis menjadi
pandangan dunia dan cara memandang kenyataan sosial. Saya
Jika tantangan ini bisa disikapi, kita bisa bernapas
lega. Kita bisa berharap banyak bahwa
kelak akan tiba suatu masa di mana siapapun yang ingin mendapatkan pengetahuan
tentang Bugis-Makassar, tak perlu jauh-jauh belajar ke Amerika Serikat demi
membaca pustaka Bugis. Mereka mesti memijak bumi Sulsel dan menyerap saripati
pengetahuan lewat mata air pustaka yang bertebaran di mana-mana. Mungkinkah?
1 komentar:
assalamualaikum... suka sekali dengan tulisan saudara..ia menyedarkn... salam dari saudara bugis malaysia
Posting Komentar