PEREMPUAN menunggu atas nama cinta. Dengan kerudung biru langit. Bunga-bunga yang tersusun rapi, kain panjang terbaik yang dipesannya sejak jauh hari. Ia menyiapkan tempat terbaik untuknya, tempat seluruh imajinasi dan khayalnya berpadu mesra, dengan suara-suara menawan dan gemericik air di kejauhan sana. Ia menanti-nanti dengan cemas sembari melihat bahtera di kejauhan, yang tak juga nampak tiang-tiang dan layar-layarnya.
Perempuan menunggu atas nama cinta. Dipenuhinya khayalnya dengan rupa-rupa imajinasi. Di telusurinya segala bahagia dan kesenangan di masa silam kala dirinya dalam buaian ibu semesta. Kemudian disusunnya bahagia di masa depan. Dirapikannya keping demi keping pengetahuan sambil berharap kelak ia akan memenuhinya dengan tawa bahagia yang terdengar merdu laksana burung gereja yang bangun di pagi hari dan mencumbu bel yang berdentang di atap sana.
Perempuan menunggu atas nama cinta. Ia lalu menyalakan api cinta. Kemudian dikipasinya hingga api itu membesar hingga membukit perlahan-lahan. Dipikir dirinya sanggup menjinakkan api. Ternyata api itu kian mengangkasa hingga jauh di luar kuasanya. Ia mulai terbakar. Rumah kaca impiannya ikut menyala-nyala. Dirinya terjerembab di tengah. Usai sudah kisah tentang istana pualam imajinasi. Semuanya menjadi debu yang beterbangan di tiup angin. Semuanya sirna sebagaimana istana pasir yang diterjang ombak.
Perempuan menunggu atas nama cinta. Kini ia duduk mengenang masa silam. Masa-masa ketika dirinya memasuki pintu hati. Bercengkrama di sore hari sambil melihat pelangi di kejauhan. Wajahnya seperti rembulan yang kemudian tertutup awan. Hidup memang tak selalu berisi kisah kemenangan. Tak juga epos kepahlawanan. Sesekali dirinya harus menerima kenyataan pahit tentang istananya yang kemudian berserak-serak.
Perempuan menunggu atas nama cinta. Kutemui sosoknya di tepi bangunan hancur itu. Ia masih saja menunggu sinar cinta berkelebat di matanya. Aku hanya bisa menyaksikannya dari pinggir. Ingin rasanya kutunjukkan bahwa akan selalu ada tunas-tunas baru yang tumbuh di tepi pohon tumbang. Selalu saja ada jamur kehidupan yang akan bangkit bertunas dan memberikan kehijauan untuknya. Tuhan terlalu sayang pada dirinya yang amat baik hati.
Perempuan menunggu atas nama cinta. Ingin kuhapus air mata dari wajah yang sayu itu. Ingin kutunjukkan matahari yang tetap bersinar di ufuk sana. Ingin kutunjukkan bahwa di balik awan pekat sana, selalu saja ada matahari yang tersenyum ceria untuknya. Selalu saja ada kehidupan yang menyapa dan tersenyu untuknya. Selalu saja ada bahagia yang menunggu-nunggu sosoknya yang bangkit.
Tapi ia lebih memilih kembali membangun istana pasir. Ia memilih berkarib dengan imajinasinya, membiarkan diriku yang sesunggukan dari pinggiran dengan suara parau yang lirih hingga nyaris tak terdengar.
Athens, 10 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar