AKU menjalani musim panas perdana. Maksudku, perdana sejak pertama kali tiba di negeri Paman Sam. Di Tanah Air, setiap hari adalah musim panas. Aku sudah sangat terbiasa dengan matahari terik yang membakar kulit hingga gosong. Juga terbiasa dengan jalan-jalan debu serta cuaca panas di mana-mana. Tapi di sini, musim panas, tak urung membuatku serba kesulitan. Aku mesti beradaptasi kembali secara perlahan-lahan.
apartemenku di musim dingin |
Selain hawa atau iklim, perbedaan paling drastis yang kurasakan adalah waktu siang yang lebih lama. Di musim dingin, siang hari amat singkat. Aku masih ingat persis bahwa jam empat sore, matahari sudah gelap gulita. Salat magrib sudah dimulai. Sementara di musim panas, siang hari justru lebih panjang. Jam sembilan malam, matahari baru di ufuk. Artinya, langit baru gelap nanti pukul 9.30. Waktu siang memanjang.
Aku membayangkan puasa Ramadhan. Dua bulan lagi, puasa akan dimulai. Kata beberapa sahabat, waktu puasa akan memanjang. Jika di tanah air, waktu berbuka adalah jam 6 sore, maka di sini, waktu berbuka puasa adalah hingga jam 9.30 malam. Apakah diriku sanggup? Entahlah. Aku belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan atas makanan dan hal-hal lainnya.
Manusia memang ditakdirkan untuk mengikuti tarian semesta. Kebudayaan terlahir sebagai bentuk jawaban-jawaban eksistensial yang diberikan manusia atas alam semesta. Diiriku yang dibesarkan di tengah khatulistiwa, membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan segala yang berubah. Ketika musim dingin menjemput, aku tak tahan dingin dan memilih untuk meringkuk di selimut tebal. Ketika musim panas menghadang, kembali aku kepanasan dan menyalakan pendingin di ruangan.
mawar merah di musim semi |
Bahkan, olahraga pun berbeda. Di musim dingin, mereka menikmati olahraga ice skating, atau luncur-luncur di salju, maka di musim panas, mereka akan menikmati jogging, bersepeda, atau berjemur di bawah terik matahari. Mereka menikmati apapun cuaca, menjalaninya dengan penuh keriangan, tanpa harus beradaptasi sebagaimana diriku. Mereka bisa bersahabat dengan iklim, bahkan pada kondisi yang sangat ekstrem sekalipun.
daun mapple di musim panas |
daun mapple di musim gugur |
Manusia, di semua tempat, memiliki daya-daya adaptasi yang luar biasa. Di Pulau Buton, para nelayan sanggup menahan dingin yang menusuk tulang di tengah lautan, dalam keadaan tak memakai jaket. Alam menempa fisik mereka sehingga beradaptasi dengan segala situasi. Inilah daya tahan dan daya adaptasi hebat yang mereka miliki.
Namun, daya adaptasi sedemikian hebat, tak jatuh begitu saja dari langit. Alam mengajarkan daya adaptasi itu lewat dedaunan yang selalu berubah warna. Aku sering memperhatikan dedauan mapple. Di musim panas, mereka berwarna hijau. Tapi di musim gugur, mereka akan berwana kuning hingga merah. Dan di musim dingin, mereka tak bermunculan di ranting pohon. Warna dedaunan itu adalah strategi dan siasat dari pepohonan untuk menyesuaikan diri dengan alam yang berubah-ubah.
Dedaunan itu seakan hendak mengajari manusia tentang kebijaksanaan. Bahwa alam punya kekuatan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di saat memikirkan semuanya, aku terus mencatat dalam hati ini. Gusti Allah, Kau hendak mengatakan apa dengan semua tanda-tanda alam ini?
Athens, 10 Juni 2012
1 komentar:
update 2
Posting Komentar