Ibu Hamil, Ibu Bijak, Ibu Kehidupan


gambar terbaru ibu dan dirimu

IBUMU mengirim kabar. Ia mengingatkan janji untuk selalu menulis tentangmu setiap tanggal dua. Katanya, demi merayakan ulang bulan atau kebahagiaan di setiap tanggal dua atas kelahiranmu. Kali ini, aku ingin menulis tentang dirinya pada masa-masa ketika dirimu berdiam dalam tubuhnya. 

Anakku sayang. Semuanya terekam jelas di sini. Saat itu, aku sedang belajar di kampus Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, kota yang penuh kesumpekan, namun sering dibanggakan orang-orang itu. Ibumu mengirim kabar dengan suara yang agak parau. Tadinya ia tak mau berbicara. Setelah aku tenangkan, mulailah ia berbicara. Nada suaranya penuh sesunggukan. “Kakak. Saya hamil. Hiks…” What?

Aku langsung pulang dan membatalkan semua kegiatan apapun. Aku tahu persis. Ibumu tidak sedang bersedih atas kehamilan itu. Ia menyadari betapa tidak mudahnya menjaga diri, kalimat, dan perangai pada masa-masa yang sedemikian kritis untukmu. Di kampung kita, kehamilan bukanlah perkara menyiapkan aspek biologis. Namun perkara bagaimana mendedikasikan diri untuk semesta. Kehamilan bermakna sosial sebab ibu hamil dan suaminya akan menjaga segala pengharapan dan kasih sayang semua orang yang kelak menjadi penguat atas tubuh yang sedang dikandung itu.

Anakku sayang. Betapa beruntungnya kita yang besar dalam rahim kebudayaan. Sebagai seorang Bugis, ibumu amat percaya bahwa seorang ibu hamil sedang mempertaruhkan satu hal yang amat penting. Ia tidak hanya menjaga dirimu sebagai tunas semesta, ia sedang menyiapkan segala nutrisi yang akan membesarkan dirimu, menyiapkan jagad raya tempat dirimu kelak tumbuh. Dan nutrisi itu adalah pengharapan, doa, kasih sayang, serta kebahagiaan banyak orang atas dirimu.

saat dirimu dalam kandungan
Segera setelah dirinya hamil, aku menerima petuah dari banyak orang. Ibuku mengingatkan untuk tidak menyakiti binatang. Di kampung kita, ketika seorang perempuan hamil, sang suami tak boleh membunuh binatang apapun, bahkan nyamuk sekalipun. Seorang pria yang istrinya hamil, akan berhati-hati melangkahkan kaki. Pantangan baginya menyakiti binatang apapun. Apalagi itu manusia.

Diriku dan ibumu lahir dari dua rahim berbeda, namun punya satu kearifan. Ibumu  besar dalam masyarakat suku Bugis yang hidup di tengah bebukitan dan pohon-pohon hijau yang terbentang. Diriku lahir di masyarakat Buton yang ke manapun mata memandang adalah hamparan biru lautan yang sesekali terdapat sapuan warna putih atas gelombang samudera. Keduanya punya satu kearifan. Orang Bugis tak mau menyakiti bumi. Kami orang Buton, tak mau menyakiti lautan.

Anakku sayang. Tadinya aku tak paham makna semuanya. Tadinya kupikir ini hanyalah mitos-mitos yang didongengkan sebelum tidur. Namun setelah lama kutimbang-timbang, terdapat kearifan yang luar biasa di balik itu. Ternyata, kosmologis berpikir masyarakat kita senantiasa melihat sesuatu secara seimbang. Kehidupan adalah siklus yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Sekali kamu menyakiti jiwa, maka akan membawa dampak bagi dirimu dan semesta. Sekali kamu menyakiti janin alam, maka akan membawa dampak bagi janin yang sedang dikandung.

Orang Hindu menyebutnya karma. Sering dirumuskan dalam kalimat sederhana, sekali kamu menyakiti orang lain, maka kelak kamu akan tersakiti oleh orang lain, dengan cara yang sering tak terduga. Tafsiran ini agak sederhana. Penjelasan yang agak filosofis adalah kehidupan memiliki siklus yang selalu berkesinambungan. Kedengkian dan kejahatan yang dilepas ke udara kelak akan menjadi bumerang yang menikam diri sendiri. Sebaliknya, kebaikan yang ditanam di mana-mana, akan menjadi buah yang akan mengatasi rasa haus, memadamkan rasa lapar, dan membawa kesejukan pada saat dirimu sedang membutuhkannya. 

Dulu, tak kupahami mengapa ayah dan ibuku rajin menyekolahkan orang kampung yang tak mampu. Dahulu, rumah kecil kami sesak dengan anak sekolahan yang dibiayai dan dihidupi ayah ibu. Sekarang kupahami. Kebaikan ayah dan ibu akhirnya memberi efek pada diriku, yang tiada angin dan tiada hujan, tiba-tiba saja dapat beasiswa untuk belajar di Amerika Serikat. Ayah dan ibuku menanam kebaikan. Buahnya adalah diriku yang tiba-tiba saja mendapat kebaikan semesta. 

Sungguh adil dirimu Gusti Allah! Betapa rinduku pada orang-orang baik yang membesarkanku.

Alam bekerja dengan cara yang amat ajaib dan amat setimbang, sebagaimana siklus dunia sosial kita yang selalu harus dijagai dengan penuh keikhlasan. Siapapun yang menanam kebaikan, akan memanen buahnya. Siapapun yang menanam benci, akan memanen penyakitnya.

kehidupan selalu seimbang

Pada titik itulah aku sadar bahwa dirimu yang tengah menghuni rahimnya menghadirkan komitmen dalam diri untuk berbuat sebaik-baiknya dan seadil-adilnya pada semesta. Melihat ibumu, aku terus disadarkan bahwa seorang ibu hamil menyandang peran sebagai ibu bijak, ibu kehidupan. Ibu yang mengasihi semesta.

Anakku sayang. Usia ibumu saat itu adalah 24 tahun. Betapa kagumnya diriku melihat kearifannya yang mempersiapkan kehadiran dirimu.  Ia telah melampaui usianya yang muda. Biarlah diriku yang mencatatnya. Hari ini aku merenung untukmu. Diriku masih amat jauh dari benih kebaikan. Diriku berusaha untuk tidak menyakiti siapapun. Aku dan ibumu terus berusaha menanam kebaikan untukmu. Sebagaimana ayah ibuku, aku juga menanam obsesi agar kehidupan selalu membawa kebaikan untukmu. Inilah doaku. Inilah pengharapanku. Inilah tali kasihku untukmu.(*)


Athens, 5 Juni 2012


0 komentar:

Posting Komentar