Kompleks Candi Prambanan. |
TADINYA
saya berharap novel Roro Jonggrang: Kembalinya Pewaris Tahta Kraton Boko bisa
mengaduk-aduk emosi atau setidaknya membuka satu lapis sejarah. Tapi setelah
membacanya separuh, saya agak kecewa. Ekspektasi saya agak berbeda ketika
membaca baris teks di sampul depan, serta sampul belakang. Apalagi, isinya
berkisah tentang misteri Roro Jonggrang, serta bagaimana misteri itu coba
dipecahkan di masa kini.
Hal
yang paling mengganggu buat saya adalah alur yang agak membingungkan. Novel ini
lebih banyak berkisah tentang upaya menjangkau masa silam Roro Jonggrang
melalui gejala kesurupan atau fenomena indigo atau kisah sejumlah pemuda yang
memiliki kemampuan ‘menembus’ dunia gaib. Kisahnya jadi sederhana sebab
mediumnya hanya satu yakni mengandalkan kesurupan atau fenomena kerasukan
arwah.
Novel
ini tidak banyak membantu untuk menembus makna-makna terdalam. Misterinya agak hambar. Saya tak
menemukan kejutan-kejutan yang bisa banyak menjelaskan apa sih yang sebenarnya
terjadi di masa silam? Serta apa pengaruh masa silam itu di masa kini. Novel
ini terlalu sibuk memeparkan fenomena indigo atau halusinasi demi membentangkan
satu kenyataan tentang masa silam.
Tapi,
masa silam yang dihadirkan itu terasa sangat hambar. Tak membawa makna. Tak
membawa pengaruh pada sejarah. Saya tidak mempersoalkan metode menjangkau masa
silam melalui arwah. Tapi saya berharap agar kebenaran yang diterima itu tidak
diterima mentah-mentah, namun didialogkan secara terus-menerus. Minimal dengan
cara melihat konsistensi tuturan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain.
Bukannya langsung menelan bulat-bulat.
Bagaimanapun,
kita tak bisa memverifikasi kebenarannya. Atau mungkin kita tak butuh
verifikasi untuk menjelaskannya. Namun, saya berharap ada teka-teki atau
misteri sejarah yang bisa dijawab. Atau mungkin novel ini bisa mengambil jalan
fiksi untuk menjelaskan sejarah, sebagaimana pernah dilakukan pengarang Joko
Lelono dalam buku Terlontar ke Masa Silam, tentang seorang dosen universitas
Brawijaya yang terlempar ke masa awal Majapahit, ketika Raden Wijaya mendirikan
Majapahit.
Padahal,
kisah Roro Jonggrang adalah misteri besar yang menarik dipecahkan. Saya tak
begitu menerima penjelasan bahwa gugusan candi-candi besar itu dibangun demi
memenuhi syahwat akan seorang wanita. Saya melihatnya sebagai jejak-jejak masa
silam, yang kemudian jadi misteri. Mungkin, butuh kemampuan tertentu untuk
membaca ulang prasasti di candi itu, lalu menebak apa yang diinginkan oleh
manusia masa silam dengan membangun karya yang sedemikian megah.
Atau
mungkin ada baiknya jika ada dialog-dialog dengan teks sejarah, atau sedikit
misteri tentang prasasti di candi itu. Buat saya, ada banyak ruang untuk
menyempurnakan kisah ini sehingga tidak cuma menjadi tuturan arwah Roro
Jonggrang yang hadir di masa kini demi menjernihkan misteri yang ada di masa
silam.
Mungkin
ini menjadi tantangan bagi para penulis fiksi sejarah untuk menjernihkan apa
yang samar-samar di masa silam. Saya meyakini, kisah Roro Jonggrang itu
menjelaskan masa kini, khususnya tentang mentalitas orang Indonesia yang suka
dengan sesuatu yang instant atau cepat saji. Lihat saja, seribu candi yang
dibangun hanya dalam waktu semalam. Ini benar menunjukkan kecenderungan kita
untuk melihat sesuatu serba cepat, tanpa menghargai proses menuju ke arah itu.
Saya
kira ada banyak pintu untuk menjelaskan mitos ataupun dongeng ini. Bisa juga
dijelaskan dari aspek sejarah tentang situs-situs bersejarah di Jawa, yaitu Keraton
Ratu Baka, Candi Sewu, dan arca Durga di ruang utara candi utama Prambanan.
Meskipun candi-candi ini berasal dari abad ke-9, akan tetapi diduga dongeng ini
disusun pada zaman yang kemudian yaitu zaman Kesultanan Mataram. Benarkah?
teater Roro Jonggrang |
Tafsiran
lainnya menyebutkan bahwa legenda ini mungkin merupakan ingatan kolektif
samar-samar masyarakat setempat mengenai peristiwa bersejarah yang pernah
terjadi di kawasan ini. Yaitu peristiwa perebutan kekuasaan antara wangsa Sailendra dan
wangsa Sanjaya
untuk berkuasa di Jawa Tengah.
Wikipedia
mencatat bahwa Prabu Baka mungkin dimaksudkan sebagai Raja Samaratungga
dari wangsa Sailendra, Rakai Pikatan sebagai Bandung Bondowoso, dan Pramodhawardhani,
putri Samaratungga sekaligus istri Rakai Pikatan, sebagai Rara Jonggrang.
Peristiwa bersejarah sebenarnya adalah pertempuran antara Balaputradewa
melawan Pramodawardhani yang dibantu suaminya Rakai Pikatan yang akhirnya
dimenangi Rakai Pikatan dan mengakhiri dominasi wangsa Sailendra di Jawa
Tengah.
Entahlah.
Sejarah penuh teka-teki. Bangunan bersejarah pun penuh dengan misteri. Lantas
apa maknanya buat generasi masa kini? Marilah kita memecahkannya sama-sama.(*)
Athens, 16 Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar