Semesta telah Mengirimkan Mereka


dua sahabat di Athens

Dua sahabat itu akhirnya diwisuda. Mereka siap meninggalkan Athens. Maka tinggallah diriku di sini, berteman dengan sepi. Hari ini, aku menemani mereka. Aku menyaksikan ritual penobatan, sekaligus peresmian mereka memasuki fase kehidupan baru sebagai seorang magister. 

Aku sudah dua kali menjalani ritual seperti ini. Selalu saja ada kebahagiaan yang dilepas ke udara. Selalu saja ada tawa yang dilepas bagai merpati yang kemudian memenuhi angkasa. Tak ada yang baru. Tak ada greget. Hari ini amat beda. Batinku tiba-tiba kesepian. Aku merasa ada yang kosong di jantung ini. Melihat keceriaan semua orang, aku tiba-tiba saja dicekam kesepian.

Aku mengingat jalan nasib yang akan segera ditempuh. Mereka akan meninggalkan Athens. Tak hanya mereka, beberapa sahabat dekat juga akan kembali ke jalan pedang masing-masing. Tinggallah aku di sini berkawan sunyi. Tinggallah aku di dunia yang serba asing, di dunia yang tak semua orang tulus dan tak selalu mau menerima apa adanya diri seorang sahabat. 

Aku mulai menghitung hari, entah kapan pertapaan ini akan segera berakhir, sebelum akhirnya menyandang pedang dan kembali ke kancah pertempuran. Terngiang ucapan sahabat Yazid Sururi, kampus ibarat pangkalan ojek. Kita hanya bertemu sejenak, untuk selanjutnya menuju tujuan masing-masing. 

suasana wisuda

Yah. Tempat ini memang persinggahan. Semuanya hanya singgah dan selanjutnya pergi. Semua yang datang, membawa lukanya masing-masing. Nasib kemudian menapis jalan kita untuk kemudian selalu berkumpul dengan mereka yang kemudian membasuh luka-luka kita yang belum mengering. Nasib pulalah yang kemudian mempertemukan diriku dengan mereka yang kemudian melabuhkan segala perih, menenggelamkan sepi kala mengingat semuanya di tanah air.

Mereka adalah sahabat sejati untukku. Bukan hanya hadir di saat bahagia sedang mekar sebagaimana mawar di musim semi. Mereka juga hadir saat tubuh ini penuh luka akibat dirajam pedang yang kemudian ditetesi jeruk nipis. Semesta mengirimkan mereka untuk kemudian menemani hari-hari yang bergegas. Semesta pulalah yang kemudian menyimpan skenario bahwa di setiap pertemuan, akan selalu ada perpisahan. Kenanganlah yang kemudian merawat pertemuan, di mana kebaikan adalah akarnya, ketulusan adalah batangnya, keikhlasan untuk menerima sebagai rantingnya, serta persahabatan sebagai buah yang paling manis.

Nampaknya, kami telah memanen buah manis itu. Kini saatnya untuk bergegas ke jalan masing-masing. Dan kesunyian akan segera menyergap hari-hari di depan. Tinggallah diriku yang tiba-tiba saja terkenang puisi tentang sepi yang menyanyi di sore hari. Hiks.


Athens, 8 Juni 2012


0 komentar:

Posting Komentar