Buku Keempat yang Segera Terbit


sampul buku yang akan segera terbit

SEBULAN silam, buku pertama yang saya editori Menyibak Kabut di Keraton Buton diterbitkan ulang. Kini, buku keempat di mana saya terlibat membantu dan mengembangkan ide, akan segera terbit. Buku ini berjudul Negeri Seribu Benteng. Sebagai editor, saya menginisiasi semua proses hingga buku terbit. Mulai dari mengembangkan gagasan, mengundang penulis, hingga memberikan catatan yang kemudian menjadi benang merah dari semua tulisan dalam buku.

Buku ini terbilang lama proses pengerjaannya. Idenya dimulai tiga tahun lalu, namun entah mengapa, saya dan teman-teman selalu menundanya. Masalah yang paling banyak mendera kami adalah keengganan atau kadang-kadang adanya masalah. Dua tahun lalu, buku ini mestinya tuntas. Tapi, saya ditimpa masalah ketika dilaporkan ke polisi oleh sebuah kampus besar di kawasan timur Indonesia. Selama berurusan dengan polisi, saya tidak bisa fokus mengerjakannya.

Beberapa bulan berikutnya, saya mendapatkan beasiswa Ford. Lagi-lagi, saya menunda proses pengerjaannya karena harus menghabiskan waktu untuk belajar bahasa Inggris. Hingga akhirnya, saya menitipkan semua proses itu pada sahabat Syahrir Ramadhan dan Mu’min. Kini, setelah sembilan bulan saya di sini, buku itu baru akan keluar.

buku pertama yang diterbitkan ulang
saat menghadiahkan buku kedua ke Prof Elizabeth Collins

Kami terlalu banyak memboroskan waktu untuk proses pengerjaannya. Tak ada yang bisa disalahkan dari proses ini. Sebab kami semua baru belajar tentang bagaimana menyelesaikan buku. Kami juga kesulitan untuk menemukan layouter serta desainer sampul yang baik. Kami ingin melibatkan sebanyak mungkin tenaga teknis di Buton. Namun, dalam praktiknya, semuanya tidak semudah yang kami bayangkan. Rencana-rencana kami tidak bisa direalisasikan sebagaimana yang kami bayangkan.

Hingga akhirnya, suatu hari, saya lalu mengontak sebuah lembaga di Yogyakarta untuk membantu menyelesaikan buku itu. Kami minta bantuan teknis layout dan juga desain sampul. Akhirnya, buku itu bisa terselesaikan. Hanya satu yang saya pikirkan yakni aspek editorial yang mestinya bisa lebih maksimal. Mestinya, kami menyewa satu tenaga ahli yang bisa menyempurnakan proses yang sudah kami mulai dari daerah. 


Meskipun demikian, semangat buku ini sangatlah kental. Kami menawarkan sebuah ruang gagasan, dan memberikan kesempatan bagi banyak kalangan, tidak cuma mereka yang dari perguruan tinggi saja.  Bahkan seorang imam masjid, budayawan lokal, hingga sejarawan lokal --yang tidak pernah mengenyam bangku akademis-- tetap menempati posisi yang sama dalam buku itu. Bagi saya dan teman-teman, cara berpikir dikotomis yang membedakan antara orang akademis dan bukan akademis adalah sebentuk keangkuhan intelektual. Cara berpikir itu adalah cara berpikir yang picik dan angkuh.

Pengetahuan adalah sesuatu yang sebagaimana udara, bisa ditemukan di mana-mana. Mereka yang mengasah kepekaan dan membuka wawasan serta hati akan menerima limpahan pengetahuan yang lebih kaya daripada yang lain. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang hanya didapat di bangku sekolah, namun merupakan sesuatu yang dikumpulkan sepanjang perjalanan mengarungi bahtera kehidupan.

sebuah kehormatan ketika Prof Collins
meminta saya menandatangani buku itu

Untuk itu, kami memberikan penghormatan kepada sejumlah orang tua di daerah yang memiliki kearifan pengetahuan itu, meskipun tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Mereka belajar dari rumah besar bernama semesta, mereguk kearifan di sepanjang perjalanan kehidupan, dan betapa hebatnya mereka-mereka ketika bersedia menuliskan pengetahuan itu untuk generasi mendatang.

Saya paham kalau tulisan mereka kadang tidak runtut atau tidak metodologis. Justru tanggung jawab kami adalah  membantu dan memberikan masukan agar tulisan mereka  bisa enak dibaca banyak orang dari berbagai kalangan. Di sini, akan terjadi dialog yang sangat positif antara kami dan orang-orang tua itu. Kami belajar kearifan dari mereka, dan sebaliknya mereka belajar metodologi dari kami. Prosesnya timbal balik dan akan saling memperkaya.

Hal lain yang menjadi misi idealis kami adalah kami hendak merayakan indahnya lokalitas. Kami ingin melihat dunia dengan cara pandang lokal. Terlampau sering orang-orang Buton ditafsirkan dengan cara pandang luar. Mungkin inilah saatnya kami menatap dunia dengan cara kami sendiri. Kami ingin memaksa orang lain untuk melihat dunia dengan cara kami.

Selamat buat semua teman-teman Respect!

Athens, 13 Juni 2012

1 komentar:

syahrir mengatakan...

saya senang jadi bagian tim buku ini. walau pengerjaannya sempat mengalami pasang surut, tapi semangat teman-teman untuk menuntaskan buku ini tak pernah padam.

Posting Komentar