Majalah Playboy sebagai Hadiah


ikon majalah Playboy


RAMBUT saya sudah mirip gerilyawan perang. Lebih tiga bulan, saya tidak pernah memotong rambut. Dengan segala tekanan akademik serta paper-paper yang belum tuntas, memotong rambut belum menjadi priotitas. Tapi hari ini, saya punya waktu. Saya akhirnya singgah ke barbershop yang terdekat, tak jauh dari Court Street.

Pengalaman saya sama persis ketika terakhir memotong rambut. Jika sebelumnya, rambut saya dipotong seorang pemuda dengan penampilan ala preman, kali ini, seorang bapak tua tersenyum ceria saat menyambut kedatangan saya. Ia mempersilakan saya duduk di kursi, kemudian mulai bertanya dengan amat sopan tentang gaya atau style yang dipilih. Dikarenakan saya tak menguasai jenis-jenis style rambut dalam bahasa Inggris, saya lalu menjawab singkat "Make me more handsome."

Bapak itu lalu tersenyum. Ia lalu menyelubungi saya dengan kain bersih, kemudian mulai memotong rambut. Saya sengaja tidak memberikan instruksi. Saya ingin mengetahui konsep cukur yang baik buat si bapak ini. Buat saya, seorang pencukur ibarat pelukis yang bekerja dengan imajinasi dan konsep-konsep. Ia ibarat pemahat batu di kawasan Muntilan, Yogyakarta, yang ketika mengambil batu, ia akan bertirakat dan berpuasa selama beberapa hari, hingga akhirnya datang ilham dalam pikirannya bahwa batu itu cocoknya dipahat dengan bentuk tertentu. Dalam bahasa seorang kawan, ”Batu itu yang memilih untuk dibentuk seperti apa.” Nah, ketika melihat jenis kepala saya yang berbentuk aneh, maka cukur seperti apakah yang paling disukainya?

Di Amerika, posisi yang dicukur adalah membelakangi cermin. Sepanjang cukur, bapak itu bercerita tentang profesinya yang dulu adalah tentara. Katanya, ia pernah bertugas di Timur Tengah. Kebetulan, terbitan terbaru Reader Digest membahas tentang para veteran yang memilih berbagai profesi sesuai dinas militer. Ada yang sukses, ada juga yang gagal. Bapak ini adalah salah satunya.

Ia terus bekerja. Saya tak tahu seperti apa gerangan ia menata rambut. Usai proses cukur, bapak itu lalu memutar kursi ke arah cermin. Ternyata ia mencukur rambut saya dengan model ala tentara. Saya tak suka dengan model rambut ini, sebab mengingatkan saya pada calon tentara yang rambutnya amat pendek. Di Indonesia, saya suka menyebutnya cukur 321, alias tiga centi di depan, dua centi di tengah, dan satu centi di tengkuk. Setelah saya pikir-pikir, mungkin model inilah yang dianggap paling ideal oleh sang bapak. Model ini yang dianggapnya paling tampan yakni meniru tentara Amerika. Yah, apa boleh buat.

Usai dicukur, saya lalu memperhatikan sekeliling. Ternyata, di sudut ruangan terdapat rak yang berisi aneka jenis majalah untuk dibaca. Nampaknya, ini bagian dari pelayanan buat semua pengunjung yang hendak memotong rambut. Tapi, setelah saya perhatikan dengan teliti, rata-rata majalah yang tersedia adalah Playboy dan Penthouse, dua majalah porno yang paling kondang di Amerika Serikat (AS). What?

Mungkin, pilihan majalah selalu tergantung pada siapa audience yang datang. Mungkin karena barbershop yang saya datangi ini letaknya di dekat kampus, makanya semua majalah yang dipajang adalah majalah Playboy. Mungkin pula karena remaja Amerika menganggap seks bukans ebagai hal yang tabu, makanya Playboy bisa dipajang di mana-mana. Tapi, jangan pernah menganggap mereka suka ngomong jorok. Pengalaman saya mengajarkan bahwa di negeri Amrik inipun, seks tidak dibicarakan secara terbuka.

logo Playboy

Keluarga Amerika yang dibesarkan di kota kecil seperti Athens masih menjaga nilai dan norma tradisionalnya. Di sini, anak-anak muda dibesarkan dengan pengetahuan bahwa segala sesuatu memiliki konsekuensi. Makanya, meskipun Playboy dipajang di mana-mana, tak juga membuat orang tertarik membacanya.

Saat melihat-lihat, bapak pencukur itu berkata, ”Kamu bisa memilih majalah yang kamu suka. Saya hadiahkan buatmu sebagai tamu pertama yang memberi tips hari ini.” Tadinya saya ingin menolak. Tapi bapak itu mengulangi lagi permintaannya. Ia juga berkata bahwa ia senang bisa berdialog dan menjalin persahabatan. Tanpa bermaksud menyakitinya, saya lalu memilih majalah Playboy terbaru. Bukan untuk dibaca, namun untuk dilihat perbandingannya dengan majalah lainnya (alasan deh!).

Terpaksa, saya melipat majalah itu lalu menyimpan di tas kecil merek Eiger yang saya bawa. Tadinya, majalah itu ingin saya buang di tong sampah. Saya agak risih membawa majalah ini. Tapi, saat tiba di perpustakaan, seorang sahabat melihat majalah itu. Ia lalu berbisik dengan tatapan agak genit, ”Kalau sudah baca, apa bisa saya pinjam?”


Athens, 11 Juni 2012


BACA JUGA:







0 komentar:

Posting Komentar