Senyum Linda yang Selalu Abadi


Linda bersama kucing

SEMUANYA berjalan serba cepat. Waktu melesat laksana anak panah yang sukar untuk ditangkap. Hari ini, sahabatku Linda Esch akan kembali ke negaranya, Jerman. Ia meninggalkan begitu banyak kenangan yang terpatri selama tiga bulan di kota kecil Athens.

Aku mengenalnya sebagai gadis Jerman yang rendah hati. Setiap kali mengingat wajahnya, maka aku akan teringat pada seulas senyum yang senantiasa tersungging. Senyumnya terpatri abadi. Tak pernah kulihat rona marah, benci, atau iri pada wajahnya. Ia terpelihara dari segala energi negatif yang sering melingkupi banyak orang. Tuhan menjaga dirinya sehingga meniti lurus di atas titian kebaikan dan keramahan pada semua orang.

Setiap kali mendengar kata Jerman, aku membayangkan para filosof yang melukis dunia dengan gagasan. Para filosof Jerman ibarat pemahat yang mengukir lekuk-lekuk pemikiran manusia yang mencoba memahami dunia. Dan setiap perjumpaan dengan mahasiswa Jerman, aku tak pernah puas untuk membahas para filosof mulai dari generasi Hegel, Marx, dan Nietzsche, hingga generasi Erich Fromm dan Jurgen Habermas. Belakangan, aku juga suka mendiskusikan sosok seperti Bastian Schweinsteiger atau Mario Gomez, dua pemain tim nasional Jerman yang gerakannya selincah penari balet

Tak semua mahasiswa Jerman menggemari filsafat. Beberapa mahasiswa sebelum Linda, malah banyak yang tak kenal dengan sosok-sosok itu. Belakangan, aku amat bahagia ketika bertemu Gerald Whittle, seorang mahasiswa asal Jerman yang khatam dengan filsafat yang rumit-rumit itu. Ia fasih menjelaskan dinamika dan konteks sejarah para filosof Jerman.Sepertinya, Gerald terlahir untuk menjadi filosof.

bersama kucing 2
bersama kucing 3

Linda tidak sejauh Gerald dalam menjelajah di kubangan filosofis. Tapi ia telah membantuku memahami istilah Jerman yang rumit-rumit. Beberapa tahun silam, pernah kubaca beberapa buku filsafat yang ditulis filosof Jerman seperti Hegel, Marx, dan Nietzsche. Tak kupahami beberapa istilah seperti ‘welthanschaung’, ‘zeitgeist’, ataupun ‘ubermench’. Linda menjelaskan dengan detail makna istilah itu. Bersama Linda, pikiranku dibuka untuk lebih sederhana memahami persoalan.

Ia seorang tipe mahasiswa yang gemar membaca. Ia membaca kajian tentang fenomena terorisme di banyak negara. Ia juga suka diskusi tentang pemikir Jeffrey Sachs yang menulis buku The End of Poverty. Setiap kali menghabiskan waktu di Alden, aku selalu bertemu dengannya. Dengan pribadi yang hangat itu, ia merajut persahabatan di mana-mana. Sahabatnya amat banyak sebab ia aktif dalam organisasi kampus.

Yang membuatku kagum padanya adalah kemampuannya untuk menerima semua orang sebagai sahabat, tanpa pernah mempersoalkan latar belakang orang tersebut. Ia tak pernah mempersoalkan apakah dirimu dari kampung ataukah kota, tradisional ataukah modern, primitif ataukah beradab. Ia juga tak pernah mempersoalkan baju yang anda pakai, atau jenis parfum yang anda pakai, atau apakah anda sudah mandi atau belum. Ia menerima semua orang apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Kepada semua orang, ia akan tersenyum, dan siap sedia untuk membantu segala kesulitan. Saat aku bercerita dengan jujur tentang bahasa Inggrisku yang payah, dengan senang hati ia mau membantuku. Tapi setelah dua kali bertemu dan diskusi di satu kafe di Athens, ia langsung mengatakan kalau aku tak punya masalah sebagaimana mahasiswa internasional lainnya. Ia mengatakan bahwa bahasa Inggrisku sangat memadai. Ah, mungkin ia cuma bercanda.

Di saat aku berulang tahun, ia mengirimkanku kartu dengan ucapan yang amat menyentuh. Padahal, tak semua sahabatku, bahkan warga Indonesia, yang mengingat momentum itu. Pada kartu yang dikirimnya bersama Camila, mahasiswa asal Chile, ia menulis kalimat indah;

Yusran, I wish you a very happy birthday. May the next year be a great one. Thank you for the friendship and all the things I have learned from you. All the best for your future.
Linda Esch

kartu yang dikirimkan Linda
sisi dalam kartu yang dikirim bersama Camila

Semalam, aku menemuinya di apartemen. Ia tengah berkemas-kemas. Kembali, ia bercerita tentang perpisahan yang disebutnya amat menyesakkan dada. Aku hanya berucap singkat bahwa inilah dinamika kehidupan. Ada saat dirimu sedih karena perpisahan, namun beberapa saat berikutnya, dirimu akan bahagia dengan pertemuan. Aku membayangkan betapa ekspresi bahagia kedua orang tuanya. Juga ekspresi senang Sammy, anjing hitam yang menungguinya di Jerman. Anjing yang selalu mengibaskan ekor kala mendengar suara Linda di telepon.

Dua minggu silam, aku agak sedih saat ditinggalkan Kim Mi, sahabat asal Jerman. Kini, Linda akan kembali ke negeri yang tim nasionalnya kudukung habis di Euro Cup. Inilah dinamika hidup. Ada saat petir menggelegar, ada saat kuncup bunga merekah di musim semi. Ada saat pertemuan, dan ada saat perpisahan.

Malam ini adalah malam perpisahan. Saat bertemu dengannya aku hanya berucap selamat jalan. ”Life is a journey. Have a nice trip!” Saat aku mulai beranjak dari apartemennya, ia memanggil namaku. Ia mendekat lalu memeluk erat. Ia lalu membisikkan beberapa patah kata. Hmm.. Sesuatu yang amat membahagiakan, sesuatu yang masih terngiang-ngiang hingga kini.



Athens, 19 Juni 2012

1 komentar:

Keretaminiku.Com Produsen Kereta Mini Mainan Di Indonesia mengatakan...

Wah menarik nih artikelnya, menunggu artikel terbarunya :D

Posting Komentar