SAYA sering malas membaca tulisan-tulisan para sejarawan. Mereka terlampau asyik membahas tentang kronologis, tanggal-tanggal kejadian dan peristiwa. Mereka terlalu hati-hati dengan tanggal dan tahun. Mereka terlalu sibuk memeta-metakan posisi manusia dengan segala interpretasi yang menempatkan manusia serupa pion catur yang bisa dia gerakkan ke manapun. Mereka terlalu bersemangat untuk menguji sahih tidaknya satu bukti atau dokumen sejarah lalu menyusun narasi dengan berpatokan pada bukti-bukti tersebut.
Mungkin bacaan saya tentang sejarah sangat terbatas. Itupun hanya berkisar pada beberapa buku tertentu saja. Tapi dari bacaan yang sedikit itu, saya menginginkan bacaan sejarah yang lebih manusiawi. Sejarah yang menempatkan posisi seorang manusia sebagai subyek dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya menginginkan sejarah yang meneropong persoalan dengan cara pandang seorang manusia sesuai dengan konteks zamannya, sesuai dengan titik berpijaknya pada suatu masyarakat dan kebudayaan. Saya ingin sejarah yang emik, sejarah yang jauh menukik pada pandangan dunia seseorang dalam memandang segala hal yang terjadi pada zamannya.
Makanya, saya jauh lebih menikmati bacaan fiksi ketimbang sejarah yang kaku. Memang, para sejarawan sering sinis melihat para penulis fiksi. Kata mereka, fiksi itu hanya ilusi alias khayalan saja. Bukan fakta. Tapi, saya bisa menggugat balik. Bukankah antara berita dan cerita itu bedanya sangat tipis yakni antara huruf "b" dan huruf "c"? Bukankah pada akhirnya apa yang hari ini kita sebut sejarah bisa pula menjadi fiksi ketika muncul bukti sejarah baru dan menggugurkan yang sebelumnya? Bukankah sejarah juga bergantung pada siapa yang membuatnya? Pengalaman silang sengketa menyangkut buku sejarah di Jepang bisa menjadi pijakan bersama. Korea mendesak agar Jepang memasukkan episode kejahatan perang Jepang atas Korea. Sementara Jepang menolaknya. Mana yang benar?
Bagi saya, sejarah juga adalah sebuah fiksi yang diuntai dari fakta-fakta yang ada. Sejarah adalah imajinasi yang dibangun dari tumpukan keping-keping arsip dan dokumentasi. Lagian, apa yang disebut fakta itu tidak lebih dari rekaman kejadian masa silam yang kemudian dirawat dalam pengarsipan dan jejaknya dibaca pada masa kini. Bukankah, apa yang disebut dengan fakta itu juga tidak benar-benar lepas dari aspek manusia yang bisa saja berbohong atau tidak mencatat dengan cermat? Bagaimana pula menempatkan fakta ketika sang penulis fakta itu adalah seorang pembohong yang suka mendramatisir suatu keadaan di masa silam?
Memang, metodologi bisa menjernihkan semua kebohongan itu. Tapi kan metodologi itu hanya sebuah perangkat yang juga belum tentu tepat. Metodologi penelitian hanyalah satu penghampiran yang membuat pandangan kita lebih fokus dan hanya melihat satun titik yang dianggap penting, lalu menafikan semua unsur-unsur yang lain. Pilihan metodologi akan membawa konsekuensi pada cara berpikir hingga penarikan kesimpulan.
Lantas bagaimana halnya dengan fiksi? Fiksi tidak berurusan dengan benar-salah. Fiksi berurusan dengan cara berpikir seseorang yang melihat satu peristiwa. Fiksi adalah cara membingkai sesuatu, yang di dalamnya terdapat aspek kemansiaan sebagai jangkar sekaligus pintu masuk sebelum kita melemparkan pandang kita pada satu horison. Melalui fiksi, saya menemukan manusia, sesuatu yang nyaris hilang dalam berbagai tuturan sejarah. Fiksi menemukan manusia sekaligus menempatkannya pada posisi terhormat sebagai subyek yang memandang.
Ini hanya kegelisahaan sesaat saat membaca satu buku sejarah. Mungkin, ada pla varian sejarah yang berpangkal pada subyek. Semacam sejarah dengan perspektif antropologi, atau sejarah yang ditulis dengan teknik oral history. Sayangnya, penerbitan buku sejenis tidak banyak. Lebih banyak sejarah yang umum dan menjenuhkan itu.(*)
Kendari, 2 Maret 2010
0 komentar:
Posting Komentar