Mengapa Demo Mahasiswa Makassar Sering Rusuh?


SEBUAH pesan pendek masuk ke dalam ponselku. Isinya peringatan dari seorang kawan. “Jangan melintas di Jalan Pettarani, Jalan Alauddin, dan Jalan Bottolempangan. Semua jalan itu macet. Mahasiswa demo. Polisi mengamuk. Rusuh!!” Biasanya, setelah menerima SMS seperti ini, saya memilih di rumah saja dan tidak ke kantor. Ibarat lagu, setiap kali mendengar berita demo, saya sudah tahu liriknya. Pasti, demo itu akan berujung pada dua hal: jalanan macet dan rusuh dengan aparat.

Pada mulanya adalah demo untuk mendesak pengusutan kasus Bank Century. Demi mengamankan demo, polisi dikabarkan menganiaya seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bernama Azhari pada Rabu (3/3) malam. Tak terima dengan aksi itu, mahasiswa lalu menyerbu pos polisi dan markas Polsek Ujung Pandang di Jalan Arif Rate. Polisi lalu terpancing. Mereka lalu membalas dengan cara merusak Sekretariat HMI Makassar.

Bersama beberapa warga sekitar Mapolsek Ujung Pandang, polisi melakukan pengejaran hingga ke Sekretariat HMI Metro Makassar. Kini giliran polisi dan sejumlah orang tersebut yang balik melakukan pengrusakan. Kaca-kaca jendela Sekretariat HMI hancur terkena lemparan batu. Sejumlah sepeda motor yang terparkir di depan sekretariat HMI Metro Makassar juga dirubuhkan dan dirusak (Lihat beritanya DI SINI, DI SINI, dan DI SINI).

Gara-gara demo itu, selama dua hari ini, ruas-ruas jalan penting di Makassar macet parah. Entah kenapa, setiap kali mahasiswa Makassar demonstrasi, metode yang ditempuh adalah selalu menutup jalan. Dikarenakan Makassar tak punya banyak ruas jalan, maka setiap kali aksi demonstrasi, nyaris seluruh jalan penting di Makassar lumpuh total.

Dan sering kali demo akan berakhir dengan bentrok alias rusuh. Ini bukan sekali saja. Mahasiswa Makassar sudah terbiasa bentrok dengan polisi, saling kejar-mengejar hingga masuk kampus, serta saling pukul dengan aparat. Sebagai seorang mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Makassar, saya cukup paham kapan saja peristiwa bentrok antara mahassiwa dan Makassar, sebab selalu disosialisasikan dalam pengkaderan. Di antaranya adalah peristiwa demo menentang penggunaan helm pada awal tahun 1980-an, hingga puncaknya adalah peristiwa April Makassar Berdarah (Amarah) yang menyebabkan tewasnya tiga orang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) pada tahun 1996. Peristiwa ini dikenang setiap tahun dan menjadi monumen kekejaman aparat, sebab hingga kini tidak ada aparat yang bertanggungjawab atas tewasnya tiga mahasiswa tersebut.

Demo hari ini agak berbeda dengan demo sebelumnya. Di Jalan Sultan Alauddin, mahasiswa bentrok dengan masyarakat lainnya. Mulanya saya menduga, mungkin masyarakat tersebut marah-marah karena demo selalu menutup jalan. Mungkin saja di antaranya ada sopir yang tidak bisa mencari nafkah, atau pedagang yang terhalang saat hendak ke pasar. Tapi, setelah saya bertanya pada seorang kawan yang tinggal di dekat Jalan Alauddin, ternyata di antara masyarakat yang ikut melempari mahasiswa itu terdapat banyak polisi serta intel yang berpakaian preman. Apalagi, saat melihat berita yang menyebutkan banyaknya intel yang memprovokasi (lihat beritanya DI SINI)

Mengapa Suka Rusuh?

Beberapa kawan yang tinggal di luar Makassar, mengirimkan SMS. Mereka bertanya, mengapa demonstrasi mahasiswa Makassar suka rusuh? Jawabannya agak susah karena ini adalah fenomena yang terus berulang. Saya mencatat beberapa argumentasi yang sering saya dengar dari banyak orang di Makassar.

Pertama, mahasiswa Makassar punya pemahaman politik yang bagus. Pendidikan politik cukup efektif di kota ini sehingga mahasiswanya punya kesadaran yang tinggi dalam menyikapi fenomena politik. Dalam setiap peristiwa politik, mahasiswa selalu menyikapinya dengan demonstrasi atau nekad ke Jakarta untuk menemui politisi. Kalaupun demo rusuh dan selalu memacetkan jalan, itu disebabkan karena kemiskinan metodologi. Mereka tidak memperkaya dirinya dengan metodologi aksi yang baik, sehingga selalu mengulang-ulang apa yang dilakukan senornya. Kalau bukan tutup jalan, yaa pasti rusuh.

Kedua, demonstrasi mahasiswa Makassar terlampau sering ditunggangi para politisi. Makassar sering jadi tempat pengalihan isu politik. Mungkin argumentasi ini menempatkan mahasiswa sebagai subordinat dari para politisi. Tapi, apa boleh buat, sebab boleh jadi inilah kenyataannya. Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak aktivis yang tiba-tiba saja kaya mendadak, padahal kerjaannya hanya demo saja. Ini adalah simbiosis mutualisme antara mahasiswa dan politisi. Indikasinya juga nampak pada setiap kali ada demo yang kemudian rusuh, selalu bersamaan waktunya dengan peristiwa politik yang cukup besar, apakah itu pemilu, pilkada, atau momen politik penting. Beberapa tahun lalu, polisi sempat menyerbu kampus UMI dan berujung pada pencopotan Kapolda Sulsel Irjen Yusuf Manggabarani. Semua orang mengaitkan peristiwa itu dengan situasi politik Jakarta yang memanas. Demikian pula saat konflik Ambon. Tiba-tiba Makassar ikut rusuh. Sekarang, demo ini jelas punya kaitan dengan kasus Century yang mulai memanas. Jangan-jangan ini cuma pengalihan isu saja. Entahlah.

Ketiga, fenomena demonstrasi itu bisa ditafsir sebagai tebalnya tembok kekuasaan sehingga aspirasi mahasiswa tidak bisa tersalurkan. Kata seorang kawan, kita harus ribut dulu biar didengar. Kalau demo dilakukan dengan santun, jangan harap akan didengarkan. Meskipun kita punya mekanisme perwakilan seperti DPR, namun tidak berarti aspirasi rakyat akan didengarkan dengan cepat. Buktinya, ada begitu banyak aspirasi yang mengalir begitu saja, tanpa didengarkan. Nah, demo rusuh bisa dilihat sebagai siasat mereka untuk didengarkan. Meskipun demo ini dampaknya sangat disayangkan sebab merugikan banyak pihak, termasuk mahasiswa sendiri.

Keempat, secara kultural, orang-orang di Makassar memang gampang ‘panas’. Di Makassar, saling melirik saja bisa menjadi awal perselisihan yang kemjudian berakhir pada saling tikam. Orang Makassar menjunjung tinggi apa yang disebut siri’ (harga diri). Ia boleh saja tidak punya apapun, namun ia mesti menjaga siri’. Pantas saja jika menonton televisi, berita-berita kriminal dari Makassar selalu mendominasi. Dalam hal demo hari ini, pemicunya adalah pemukulan yang dilakukan polisi. Mahasiswa lalu mengamuk dan menyerbu pos polisi. Selanjutnya konflik menyebar atas nama harga diri (siri’). Sebenarnya, banyak budayawan Bugis-Makassar yang mempertanyakan tafsir siri’ yang menurut mereka salah kaprah itu. “Siri bukan untuk kriminalitas. Siri’ itu harus diarahkan kepada hal yang positif. Misalnya sikap untuk menolak suap atau menolak korupsi,” kata Prof Nurhayati Rahman, budayawan Sulsel, kepada saya dalam banyak kesempatan. Sayangnya, tidak semua berpikir seideal para budayawan.

Kelima, boleh jadi para mahasiswa itu berharap bisa diliput oleh media massa secara luas. Saya sering mendengar cerita para mahasiswa yang menunda demonstrasi hanya gara-gara para jurnalis belum tiba. Mungkin saja mahasiswa itu hendak meniru Presiden SBY yang menunda pidato hanya gara-gara belum datang reporter televisi. Sementara bagi para jurnalis, aksi anarkis adalah lahan berita yang paling cepat tayang. Kata seorang jurnalis televisi, sekali berita kriminal ditayangkan, maka sang jurnalis menerima bayaran Rp 250 ribu. Bayangkan berapa penghasilan jurnalis kalau dalam sehari terdapat 10 kali peristiwa. Di sini terjadi simbiosis mutualisme antara media dan mahasiswa itu. Para mahasiswa itu memahami watak para pengelola media yang memegang kalimat sakti “Bad news is good news.” Mereka menyajikan good news demi berita yang segera tayang di semua televisi.

Keenam, demonstrasi besar adalah panggung bagi para aktivis untuk tampil. Ini sama dengan kalimat yang dipopulerkan Tukul yakni “Masuk Tivi.” Para mahasiswa itu ibarat seorang peragawati yang melintas di atas catwalk. Saya pernah mendengar cerita tentang seorang aktivis yang ikut demo, kemudian dipukuli. Media lalu meliput. Beberapa jam berikutnya, sang aktivis itu lalu mengirim sms pada semua keluarganya di kampung. “Tolong liat tivi. Ada berita saya dipukuli. Hebat khan?” Sering pula saya mendengar kisah tentang seorang aktivis yang tiba-tiba tersohor gara-gara memimpin demo dan sempat diwawancarai televisi. Ia jadi terkenal. Politisi dan bupati berebut untuk memasukkannya jadi tim sukses. Ia terkenal karena melewati jalan pintas yakni memimpin massa yang anarkis. Meskipun caranya merugikan banyak orang, tapi sang aktivis itu menuai popularitas.

***

Itu hanya beberapa argumentasi yang sempat saya catat. Terserah, pembaca mau sepakat atau tidak dengan beberapa argumentasi itu. Bagi saya, semakin banyak argumentasi dan asumsi, akan semakin baik untuk mengurai fenomena mengapa mahasiswa Makassar gampang rusuh. Terimakasih.


Makassar, 4 Maret 2010


0 komentar:

Posting Komentar