Terpaksa Ikut Upacara Bendera

SEJAK lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) pada pertengahan tahun 1990-an, saya tidak pernah lagi merasakan bagaimana upacara bendera. Sampai-sampai, saya sudah lupa bagaimana rasanya berdiri tegak dipanggang matahari selama dua jam atas nama upacara. Tapi, belakangan ini, dengan sangat terpaksa, saya kembali harus menjalani ritual upacara bendera. Padahal, betapa bencinya saya dengan rutinitas menghormat bendera, yang hingga kini tak pernah jelas apa maknanya melakukan itu. Ah... apa sesungguhnya yang kami dapat dengan mengikuti upacara ini?

Setiap kali hendak menghadiri upacara, saya selalu terngiang umpatan teman Mirwan Andan. Pernah, kami sama-sama bermalam di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Unhas. Suatu pagi kami terbangun karena ada upacara pelepasan KKN di lapangan dekat PKM. Bersama Andan, saya menyaksikan beberapa orang mahasiswa peserta KKN sedang berebut posisi pemimpin upacara, ajudan rektor sekaligus pemegang pancasila, pengerek bendera, hingga pembacaan doa.

Pemandangan itu sungguh menggelikan buat kami yang lagi terjangkit virus Marxisme hingga benci pada negara. Menyaksikan mahasiswa yang berebut posisi di upacara itu, Andan lalu berteriak dengan keras ”Ridiculous... Ridiculous...” Dalam bahasa Indonesia, maknanya adalah ”dungu” atau ”bodoh.” Andan benar. Betapa bodohnya orang yang mau ikut upacara dan tiba-tiba berebut posisi pemimpin upacara seolah posisi itu bisa mendatangkan uang. Anehnya, ada juga mahasiswa yang berpikir itu penting dan membanggakan.

Kini, beberapa tahun setelah kejadian di PKM itu, tiba-tiba saya menerima takdir harus ikut upacara. Dan setiap kali menuju lapangan upacara, kembali saya terngiang dengan umpatan Si Andan yakni ”Ridiculous.” Mungkin saya sedang melaksanakan sebuah kedunguan, sesuatu yang dulu saya tertawakan. Sesuatu yang sejak dulu hingga kini tidak saya pahami untuk apa gerangan.(*)

0 komentar:

Posting Komentar