SAYA tak pernah menyia-nyiakan waktu ketika berada di kota Makassar. Hari pertama tiba, saya langsung ke toko buku untuk membeli majalah Tempo terbaru, Reader Digest, serta dua buah buku yakni Olympus: Negeri Para Dewa, serta novel sejarah berjudul Fatimah. Saat ini saya sudah menghabiskan lebih separuh buku berjudul Olympus tersebut. Kesimpulan saya adalah membaca kisah-kisah atau dongeng, jauh lebih menyenangkan daripada membaca buku-buku teks.
Entah kenapa, dongeng atau mitologi selalu menyenangkan. Selama membaca buku ini, mata saya seakan terbuka lebar. Saya jadi paham apa makna kata Eropa, Athena, Paris, hingga asal-usul manusia dan peradaban, sebagaimana penggambaran dalam mitologi Yunani. Saya juga jadi paham mengapa Amerika harus memberi nama roketnya dengan Apollo. Saya jadi bisa menebak-nebak mengapa nama planet-planet diambil dari nama sosok dalam mitologi Yunani. Demikian pula nama bulan dalam kalender. Membaca buku tentang mitologi Yunani, kian membuat saya paham bagaimana peradaban barat tumbuh, bagaimana para ilmuwan barat memandang dunia, sekaligus bagaimana mereka menjelaskan sesuatu melalui nama-nama dan symbol.
Saya akan memberikan contoh tentang dua raksasa ilmuwan social yakni Karl Marx dan Friedrich Nietzsche. Dulunya, saya sering bingung saat membaca beberapa tulisan Karl Marx. Ia sering menyebut sosok Prometheus sebagai dewa yang paling peduli dengan manusia. Setelah membaca buku mitologi Yunani, barulah saya paham bahwa Marx hendak menjelaskan gagasan tentang kemerdekaan manusia atas alam semesta dan atas dewa-dewa. Marx hendak menjelaskan tentang semangat kapitalisme yang dibangun dari fundasi kebebasan (liberasi) atau otonomi manusia dari apapun.
Pernah pula saya bingung saat membaca beberapa petikan tulisan Nietzsche yang sering menyebut nama Dionisyan. Kini saya paham bahwa Dionisyan adalah dewa anggur yang hari-harinya adalah bersenang-senang, tanpa terbebani dengan banyak masalah. Mungkin, sosok manusia sempurna dalam pandangan Nietzsche adalah sosok Dionisyan yang memaknai hidup sebagai arena untuk mereguk segala kesenangan duniawi.
Tanpa memahami mitologi Yunani, saya tak mungkin bisa memahami alur pikir dua ilmuwan social tersebut. Mitos-mitos itu menjadi metafor yang menjelaskan gagasan serta menunjukkan terang gagasan yang hendak mereka sampaikan. Mitos bukan hanya pengantar tidur bagi seorang anak kecil, namun bisa menjadi simbol-simbol yang menjelaskan sesuatu. Makanya kita mesti melihat mitos sebagai sebuah panggung yang di atasnya terdapat beribu karakter yang saling berdialektika. Dan kehidupan di masa kini tidak lebih dari duplikasi atau pengulangan dari karakter-karakter yang tampil di panggung itu. Sebagaimana dikatakan arkeolog dan sejarawan Perancis, Paul Veyne, mitos mengandung kebenaran, namun penuh kiasan. "Mitos bukanlah kebenaran sejarah yang bercampur dengan kebohongan. Ia mngandung pemikiran filosofis. Jangan mengartikannya secara harfiah. Tapi maknai sebagai sebuah kisan."
Saya setuju dengan Veyne. Bukankah demikian?
0 komentar:
Posting Komentar