Wow!!! Tarian Panas Annisa Bahar

Juwita Bahar
KONFLIK antara pedangdut seksi Annisa Bahar dengan bekas suaminya Memo Sanjaya laksana opera sabun yang tidak akan pernah berakhir. Konfliknya jauh lebih panjang daripada sinetron Tersanjung yang tayang sampai bertahun-tahun. Konfliknya sudah dimulai ketika Annisa Bahar menolak mengakui Memo sebagai mantan suaminya. Memo lalu menunjukkan foto pernikahan mereka. Annisa lalu bersikukuh bahwa yang menikah itu bukan dirinya. Tapi kembarannya yang kini entah ada di mana.

What? Alasan konfliknya sudah tidak sesuai dengan akal sehat. Pemilik goyang patah-patah itu menolak mengakui Memo, tapi ia mengakui putri Memo, Juwita, sebagai putrinya, darah dagingnya. Dengan segala cara ia membujuk Juwita agar meninggalkan ayahnya. Dan kemarin, saat saya menyaksikan infotainment, Annisa Bahar berhasil merenggut Juwita. Dan Memo harus menangis tersedu-sedu karena dituduh terlalu mengekang Juwita. Memo dituduh membatasi kebebasan anaknya. (lihat DI SINI)

Saya melihat tayangan infotainment itu dengan penuh kemuakan. Saya lelah menyaksikan konflik yang terlalu didramatisir seperti opera sabun tersebut. Tapi, tiba-tiba saja saya tertarik dengan pengakuan Memo bahwa prilaku anaknya mulai berubah ketika memiliki Blackberry.

Ternyata, pembatasan serta pengawasan pada anaknya menjadi bumerang tersendiri yang berbalik menghantam dirinya. Juwita sudah berusia 14 tahun dan mulai mengenal pacaran. Ia mulai mengenal masa-masa puber dan mulai menginginkan kebahagiaan di luar otoritas orang tuanya. Ia mulai mencari kebebasan di luar dari jalan lurus yang dipatok sang ayah untuk dilewatinya. Sementara bagi memo, proteksi pada anaknya diberikan karena ingin memberi batasan-batasan dan bukan bermaksud mengekang.

Hal menarik buat saya karena Memo mengatakan sejak sang anak memiliki Blackberry dan mengenal Facebook, kelakukan sang anak mulai berubah. Dia mengungkapkan, Juwita, sampai tak tidur karena ber-chatting ria dengan sang pacar, melalui Facebook. Sejak Juwita memiliki ponsel BlackBerry delapan bulan yang lalu, Memo mengamati ada perubahan sikap pada diri Juwita, dia menjadi lebih pendiam. Diungkapkannya, dia tidak mengetahui benar apa yang terjadi dengan diri putrinya itu.

Kalau saja pengakuan Memo ini benar, maka jelas ini menjadi hal yang menarik untuk ditelaah. Beberapa bulan lalu, kita pernah pula menyaksikan tayangan media tentang seorang anak yang kabur dengan pria yang dikenalnya melalui facebook. Jika ditautkan, kasus-kasus tersebut menjadi alarm bagi kita semua tentang penetrasi teknologi yang kian ekspansif hingga ke ruang-ruang privasi seorang anak. Teknologi menjadi pisau bermata dua yang di satu sisi mempermudah komunikasi dengan siapa saja, namun di sisi lain menjadi arena di mana seorang anak menemukan kebebasannya. Pada akhirnya, otoritas dan pagar etika dari orang tua menjadi lagu usang yang mulai kehilangan irama. Si anak menemukan kebebasannya sendiri melalui facebook, dan nilai-nilai dari orang tua perlahan-lahan mulai memudar.

Di masa depan, bukan hanya pagar otoritas orang tua saja yang dijebol, namun juga sekolah dan dunia sosial kita. Saya pernah riset di Depok dan menemukan tiga siswi Madrasah Tsanawiyah yang memakai jilbab. Mereka singgah ke rumah temannya dan mengganti pakaiannya dengan pakaian seksi sebagaimana orang dewasa. Mereka lalu masuk ke satu mal sambil cekikikan. Saat saya tanyai, ketiga siswi itu mengakui bahwa mereka memakai pakaian seksi tanpa sepengetahuan orang tua dan guru-gurunya. Mereka merayakan kebebasan di mal, dan sesaat sebelum pulang, mereka lalu kembali memakai pakaian jilbab.

Ini Fenomena Apa?

Bagi saya, ini mengindikasikan beberapa hal. Pertama, teknologi menjadi ruang alternatif di mana seorang anak menemukan dunia yang penuh kebebasan, dan mulai melihat jalan lurus yang dibebankan orang tuanya sebagai beban yang mengekang. Kedua, orientasi nilai di masyarakat kita mulai bergeser. Dahulu, orang tua serta guru menjadi sosok teladan, tempat kita menemukan nilai-nilai untuk menata hidup di masa depan. Tapi, pada masyarakat kompleks di mana orang tua sibuk berkonflik sebagaimana halnya Annisa Bahar dan Memo Sanjaya, seorang anak akan cenderuing mencari nilai-nilai baru.

Ketiga, posisi seorang anak tidak selalu menjadi obyek yang patuh pada orang tua. Seorang anak harus dilihat sebagai subyek yang ingin bebas dan dipahami sebagaimana layaknya manusia dewasa. Memasang batasan bagi anak bukanlah solusi, sebab seorang anak harus diajak berdialog dan didengarkan apa yang menjadi kehendaknya. Anak harus diajak untuk sama-sama menemukan solusi dari masalah yang dihadapinya. Keempat, sudah saatnya wacana sadar media atau melek teknologi disosialisasikan secara terus-menerus. Teknologi memang perlu, namun jika tidak dijinakkan bisa menjadi kuda liar yang menerobos sana-sini. Dengan memahami tabiat teknologi, maka kita bisa tersenyum saat melihat seorang anak bisa berdamai dan mengendalikan teknologi.


Pulau Buton, 16 Maret 2009

1 komentar:

hakim_71 mengatakan...

ada fenomena menarik yang terlihat saat kuliah. kebanyakan mahasiswa kost dengan mengontrak satu rumah beramai-ramai, dengan tujuan menghindari pengawasan dari ibu/bapak kost. dengan demikian, mereka bebas mengekspresikan semua kebebasan mereka di dalam rumah tersebut. tidak jarang ada mahasiswa/mahasiswi yang membawa pacarnya menginap. itu adalah fakta.
terbayang saat itu, bagaimanakah nanti mereka mendidik anak-anak mereka kelak..? ternyata beberapa dari mereka setelah menikah menjadi sadar diri, dan mengubah perilaku dengan semakin dekat ke agama. apakah anak-anak mereka nantinya mengikuti jejak mereka sewaktu masih kuliah...? waktu yang akan menjawabnya...

Posting Komentar