KABUT tipis masih memenuhi udara ketika saya mendarat di Ternate. Dengan mengendarai pesawat Sriwijaya Air, saya tiba di daerah yang dahulunya menjadi jantung peradaban di kawasan timur Nusantara. Ini adalah keduakalinya saya menyaksikan satu wilayah yang dahulu menjadi buah bibir para pedagang Eropa sehingga mengerakkan layar kolonialisme ke bangsa-bangsa di timur jauh. Kolonialisme, sebuah kata yang amat menakutkan itu, semuanya dimulai di sini. Gugusan pulau-pulau yang harum dengan wangi rempah-rempah ini adalah magnet bagi bangsa Eropa. Ternate serupa ratu seksi di belahan timur yang memantik birahi banyak bangsa-bangsa hingga merambah jauh ke wilayah Nusantara.
pemandangan dari pebukitan di Ternate |
Saat pertama menginjakkan kaki di Bandara Sultan Babullah, Ternate, saya membayangkan penjelajah Portugis, Fransesco Serrau dan Antonio d’Abreau. Dalam catatan harian yang ditulisnya tahun 1512, Serrau mencium bau wangi cengkeh ketika pertama mendarat di kota yang terletak di kaki Gunung Gamalama ini. Rasa penat setelah berlayar selama berbulan-bulan dan menyinggahi banyak negeri, akhirnya terbayar lunas ketika ia berlabuh di Ternate. Perasaan saya seperti Serrau. Rasa lelah akibat menempuh penerbangan dari Makassar, sontak hilang ketika menyaksikan indahnya Gunung Gamalama yang kokoh memayungi Ternate. Gunung ini adalah gunung aktif yang serupa bom waktu, setiap saat bisa meledak. Kota Ternate bisa dikategorikan sebagai kota yang rawan dengan bencana gunung meletus. Tapi, selama beratus-ratus tahun berdiam di situ, tentunya warga Ternate sudah mengenal tabiat gunung tersebut. Mereka sudah paham apa yang harus dilakukan ketika gunung itu meletus.
Bersama rombongan yang menghadiri acara Jaringan Kota Pusaka se-Indonesia, saya diajak mengelilingi kota yang asri ini. Kota ini sangat eksotis sebab terletak di pesisir. Tanahnya bertingkat-tingkat dan puncaknya adalah Gunung Gamalama menjadi titik tertinggi di pulau ini. Memandang ke pesisir, akan nampak lautan luas serta pulau-pulau dengan gunung di atasnya. Indah sekali.
Saya juga menjelajahi semua pusaka, benteng-benteng dan pusat-pusat kekuasaan bangsa asing saat mencengkram bumi Ternate. Menyaksikan kota Ternate yang penuh jejak sejarah itu, saya lalu bergumam dalam hati bahwa di sinilah semuanya dimulai. Kedatangan Fransesco Serrau yang mengikuti ekspedisi Ferdinand Magelland adalah awal dari penemuan dunia baru yang menjadi magnet bagi penjelajah lain. Catatannya menjadi berita elok dan oase bagi dahaga bangsa Eropa atas ladang rempah-rempah yang harganya amat tinggi di pasaran. Barat memandang tanah kita sebagai tanah eksotik dan semua hasil kekayaan kita telah membangkitkan selera. Sementara kita bangsa pribumi selalu melihatnya dengan optimis bahwa kedatangan bangsa lain adalah awal dari pertautan yang akan selalu melahirkan kisah-kisah gemilang, meskipun perjalanan sejarah tidak mencatat demikian. Justru yang lebih banyak muncul adalah kisah-kisah pilu yang meneteskan air mata. Ternate pun mengalami itu. Sejarah Ternate penuh dengan pasang surut hubungan dengan bangsa asing. Mulai dari Portugis yang mulanya diterima lalu ditewaskan oleh Sultan Baabullah, hingga bangsa Belanda yang kemudian berpeluk erat sebagai sahabat hingga akhir masa kekuasaannya di Nusantara.
bermain bambu gila di depan Kedaton Ternate |
Kini, puluhan tahun setelah masa kolonialisme itu berakhir, apakah gerangan yang tersisa? Warga Ternate hanya bisa mengenang masa kejayaan itu melalui setumpuk benda-benda bersejarah seperti benteng yang masih bisa dilihat jejaknya. Di Ternate juga masih berdiri istana sultan beserta pusaka-pusaka kerajaan yang masih hidup hingga kini. Saya sekali karena eksistensi kesultanan itu tidak lagi sebagaimana eranya Sultan Baabullah ketika menggempur Portugis. Beberapa tahun lalu, saya pernah bertemu Sultan Ternate, Mudaffar Syah, di Jakarta. Ia menyebut dirinya sebagai seorang sultan, tanpa kekuasaan sebagaimana nenek moyangnya. Sejak Pemerintah Indonesia berdiri, eksistensinya sebagai sultan sedikitpun tidak dipandang. Sejak UU No 5 Tahun 1974 disahkan, ia hanya memiliki legitimasi kultural, tanpa kuasa. Ia seperti museum sebagaimana keraton dan benda-benda bersejarah lainnya.
Mungkin atas alasan modernisasi dan pergeseran kuasa tradisional pula, nasib benteng di Ternate amat mengenaskan. Benteng-benteng itu menjadi nyanyi sunyi yang mulai menjadi kisah-kisah usang tentang masa silam yang perkasa. Meskipun banyak warga Ternate yang bisa menjelaskan sejarah panjang benteng itu, namun banyak yang tidak paham apa makna yang bisa dipetik dari keberadaan benteng tersebut. Di satu sisi mereka fasih menyebutkan jejak sejarah Ternate, namun mereka justru tidak berdaya ketika menyaksikan peninggalan benteng itu kian rapuh dimakan usia. Benteng itu menjadi benda-benda merana yang kian sunyi, ditinggalkan begitu saja oleh generasi yang kini menjadi pewaris benteng tersebut. Orang Ternate bisa dnegan fasih menjelaskan tentang sejarah Benteng Oranye yang dahulu adalah pusat kekuasaan VOC sebelum pindah ke Batavia. Tapi mereka justru diam saja saat menyaksikan benteng itu yang kini tertutup oleh pemukiman. Bahkan di dalam benteng sekalipun sudah berdiri begitu banyak bangunan tembok yang tak kuasa untuk ditolak.
Dari sekian banyak benteng di situ, mungkin hanya Benteng Kalamata dan Benteng Toluko yang kondisinya relatif baik. Sementara Benteng Kastela, Benteng Oranje/Orange, dan Benteng Kota Janji merupakan benteng yang telah dipugar pemerintah. Namun, pemugarannya justru membuat penampilan benteng menjadi aneh karena tidak menyatunya antara bangunan lama dan bangunan baru. Di tengah-tengah Benteng Kastela (Nostra Senhora del Rosario) di Kelurahan Kastela telah dibangun taman dan jalan melingkar yang dialasi batu blok (paving stone). Lahan di sekitar benteng yang sempit juga dimanfaatkan untuk pembangunan monumen.
Kondisi serupa juga terjadi di Benteng Kota Janji (San Pedro y Pablo) di Kelurahan Ngade. Di sekitar benteng kecil itu juga dibangun taman dengan lantai batu blok serta dikelilingi pagar besi dan pintu gerbang yang terlihat tidak serasi dengan bangunan asli. Sementara itu, Benteng Oranje (Malayo) tengah dipugar. Dinding luar benteng yang semula berupa batu gunung yang direkatkan dengan kalero (batu karang yang dipanaskan) justru diplester dengan campuran semen dan pasir. Adapun lantai dinding benteng yang semula berupa batu bata merah diganti menjadi batu kali dan batu gunung yang dipipihkan.
Saya selalu sedih ketika melihat pengabaian pada masa silam itu. Kita sudah terlalu modern sehingga melupakan jejak kita di masa silam. Bahwa di balik semua benteng-benteng itu, terselip kebanggan tentang suatu masa di mana semua entitas kerajaan memiliki hak yang sama dnegan bangsa lain untuk bertaut, menjalin perdagangan, dan berhadap-hadapan dalam aneka peperangan. Bahwa di balik benteng itu terselip kisah tentang pergulatan manusia-manusia Ternate untuk menjawab semua masalah pada zamannya, mencipta budaya, dan menciptakan solusi untuk bangsanya dalam dinamika percaturan dengan bangsa-bangsa lainnya. Semua benda bersejarah itu adalah jejak-jejak yang bertutur abadi tentang diri kita di masa silam, sekaligus menjadi penanda tentang diri kita pada masa silam. Tapi, apakah kita perduli dengan penanda itu? Entahlah.
Ternate, 22 Maret 2010
2 komentar:
Ternate, kota kecil penuh kenangan yang mengesankan :)
nice post
untuk masalah budaya, pemerintah kurang perhatian. sementara di sisi lain, pengembangan pariwisata digaungkan sekeras mungkin.. paradoks yang entah kapan berakhir... :(
Posting Komentar