“Ribuan Kali Pisau Ini Kuletakkan di Leher Pejabat”

NAMANYA Kaharuddin. Usianya sekitar 60 tahun. Tak ada yang istimewa dari perawakan pria ini selain dari kumisnya yang tebal melintang dan rambut yang tertata rapi. Dalam usia setua itu, tubuhnya masih tinggi dan tegap. Aku masih bisa menyaksikan dua bilah lengan yang berotot. Mungkin ia sering melatih diri. Saat menatap matanya, aku tersentak. Matanya amat tajam dan menusuk.

Aku menemuinya pada suatu siang di bekas terminal lama di pusat Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Di tepi gedung tua yang kini menjadi kantor Pamong Praja itu, ia tengah melayani beberapa tamu, sebelum akhirnya memintaku duduk di kursi yang sudah disiapkannya. Ia lalu mengambil sebilah pisau dan gunting, kemudian mengasahnya selama beberapa detik. Ia juga mengambil selembar kain putih lalu disampirkan di leherku. Dengan sorot mata tajam, ia lalu meletakkan pisau dan gunting itu di kepalaku. Tiba-tiba, aku mengingat Ismail, seorang nabi yang disuruh duduk di hadapan ayahnya Ibrahim yang memegang sebilah pisau. Tapi aku bukan Ismail. Aku hanya orang biasa yang bisa ketakutan sampai gemetaran. Aku hanya bisa menutup mata sembari berdoa dalam hati. Sedetik berikutnya terdengar bunyi sesuatu yang mengiris. Crash...... Crash....

Anda janganlah terkejut. Kaharuddin bukanlah tukang jagal. Bukan pula seorang algojo. Pria yang populer disapa Pak Kumis ini hanyalah seorang tukang cukur. Ia menggantungkan hidupnya dari menyentuh kepala orang lain sepeti halnya diiku yang sedang membutuhkan jasanya. Aku membayangkan betapa anehnya kita-kita yang memasrahkan begitu saja kepala kita ke pada para tukang cukur seperti Pak Kumis. Andaikan ia jahat, akan sangat mudah baginya untuk menggorok leher. Tapi, mustahil hal itu dilakukannya. Ia menggerakkan pisau demi memangkas rambut di tengkuk. Saat pisaunya mengiris, rambutku berjatuhan di samping. Kain putih yang tersampir di bahuku penuh dengan rambut. Ia lalu mengambil gunting dan mencukur rambutku di bagian belakang. Ia sangat berhati-hati. Hari ini aku beruntung bisa dilayaninya dengan cepat. Biasanya, aku harus antri selama beberapa jam ketika hendak memangkas rambut.

Pak Kumis saat beraktivitas (foto: yusran darmawan)


Pak Kumis saat beraktivitas (foto: yusran darmawan)

Pria ini amat legendaris dan tersohor di Kota Bau-Bau dan Pulau Buton. Namanya ibarat merek populer yang menjadi jaminan mutu atas kualitas cukuran. Pelanggannya dari segala usia. Selain rakyat jelata, ia juga menjadi tukang cukur pribadi dari sejumlah pejabat di kota ini. Dan semua pejabat itu harus rela antri untuk dicukur di tepi gedung tua itu, di hadapan meja tua dengan cermin besar yang di sana-sini sudah retak. Mungkin ia hendak menunjukkan bahwa jabatan dan profesi ibarat pakaian yang melekat. Siapapun itu, apapun pangkatnya, semuanya hanya manusia biasa. Tidak lebih. Dan semua harus rela antri demi mendapatkan pelayanannya.

Di sela-sela aktivitas mencukur itu, aku lalu mengajaknya berbincang. Ia bercerita tentang pelanggan-pelanggannya, mulai dari pak sekda, hingga ketua Bappeda. Ia juga menyebut nama Asisten I Kota Bau-Bau. Kaharuddin tidak sedang membual. Reputasinya sudah lama kudengar. Saat kutanya apa hal yang paling disenangi dari profesinya ini, ia menjawab singkat. ”Nak, pisau ini sudah ribuan kali saya letakkan di kepala pejabat. Mereka bisa saja sombong sama banyak bawahan. Tapi kalau datang di sini, mereka harus rela saya putar-putar kepalanya. Mereka harus pasrah kalau saya simpan pisau ini di kepalanya,” katanya sambil tersenyum.

Sudah berapa lama menjadi tukang cukur? ”Kurang lebih 40 tahun,” katanya, masih dengan senyum yang melekat di wajahnya. Selama 28 tahun ia menjadi tukang cukur di tepi pelabuhan di Ambon. Anak-anaknya tumbuh besar di Ambon serta Papua. Ia membiayai semua pendidikan anaknya melalui profesi sebagai tukang cukur hingga semua anaknya sukses meniti karier di sana. Di masa tuanya, Pak Kumis kembali ke Bau-Bau, daerah asalnya, dan kembali menekuni profesinya sebagai tukang cukur. Kini, ia sudah 12 tahun mencari penghidupan di kota ini. ”Di Ambon saya punya banyak pelanggan. Sekarang juga saya punya banyak pelanggan,” katanya.

Berapa total pemasukan per bulan? ”Sekitar lima juta rupiah,” jawabnya. What? Ia lalu menjelaskan bahwa tarif cukur untuk orang dewasa adalah 15 ribu rupiah. Jika dalam sehari ia bisa mencukur sampai 20 orang, maka pemasukannya bisa Rp 300 ribu per hari. Dan pendapatannya sebulan adalah Rp 9 juta. Wow... gaji yang jauh lebih tinggi dari gaji seorang pegawai negeri golongan 3 A. Ia tidak sedang bercanda. ”Hari ini kamu adalah pelanggan saya yang ke-15,” katanya. Memang, saat datang ke situ, aku harus antri karena sudah ada 2 orang yang antri. Kemudian saat aku bercukur, sudah ada pula 2 orang yang antri. Baginya, ini adalah penghasilan yang standar. Tidak termasuk dengan tips yang selalu diterimanya dari para pejabat tersebut.

Pak Kumis saat beraksi di meja kecilnya (foto: yusran darmawan)


Berbincang dengannya amatlah menyenangkan. Saat itu, aku berpikir bahwa sebenarnya pekerjaan apapun yang dilakoni seseorang pastilah akan mendatangkan rezeki yang cukup, sepanjang seseorang tersebut bisa total menjalaninya. Dalam hal Pak Kumis, pengalaman bertahun-tahun dan telah menyentuh ribuan kepala adalah bekal berharga yang mengasah kepekaannya untuk bersikap profesional kepada siapapun. Reputasi dan nama baik adalah hal-hal sederhana yang dibinanya selama bertahun-tahun, namun memiliki andil besar dalam membesarkan dirinya hingga mencapai posisi seperti saat ini. Jika saat ini, ia punya banyak pelanggan, tentunya itu bukanlah kenyataan yang datang begitu saja. Semuanya adalah buah dari kerja keras dan kemampuan beradaptasi dalam berbagai situasi. Pada titik ini, aku harus belajar banyak dari pria seperti Pak Kumis.

Terakhir, apakah ia punya rahasia dalam mencukur? ”Nak, pekerjaan seperti ini tidak butuh pelatihan khusus. Cukup kita mengenali gunting dan pisau. Kita harus paham bagaimana kasih makan gunting, trus punya jiwa seni. Kita juga harus mengenali bentuk kepala pelanggan. Itu saja rahasianya,” katanya sambil membuka kain putih yang disampir di pundakku. Dan selanjutnya aku beranjak setelah lebih dulu membayar Rp 15 ribu. Aku pamit sambil mengucap terimakasih atas perbincangan yang mengasyikkan.(*)

Pulau Buton, 18 Maret 2010

1 komentar:

hakim_71 mengatakan...

tapi mengapa ya paradigma yang berkembang di masyarakat bahwa jadi PNS adalah segala-galanya? bahkan tidak sedikit orang yang rela mengeluarkan biaya hingga puluhan juta hanya untuk menjadi seorang pegawai golongan III A. dan untuk dapat jabatan penting musti keluar duit lagi...
padahal, dengan menjadi seorang tukang cukur, penghasilannya bisa mencapai 3 kali lipat gaji PNS gol III A...

Posting Komentar