Bumi yang Memadat

BUMI ini kian memadat. Menyempit. Tadi pagi saya masih makan pagi, nonton film dan tidur-tiduran di Makassar. Siang hari saya sudah makan siang di Bau-Bau. Dua buah tempat yang terpisah satu sama lain, tiba-tiba seolah menyatu dan saya bisa berpindah tempat dengan cepat. Melalui transportasi udara, dua titik yang jauh itu tiba-tiba seolah jadi sangat dekat.

Saya serasa bermimpi. Tapi inilah kenyataannya. Masuknya maskapai penerbangan sekelas Wings Air membuat perjalanan ke Bau-Bau jadi singkat dengan biaya murah. Harga tiket yang saya beli hanya Rp 390.000. Bandingkan dengan biaya tiket kapal laut kelas 2 A yang mencapai Rp 420.000. Padahal, kalau naik kapal laut, perjalanannya selama 14 jam. Itupun, kapal Pelni gak pernah tepat waktu. Selalu saja molor enam jam dari jam berangkat yang tertera di tiket. Belum lagi kalau mengeluarkan uang selama di kapal, baik untuk makan atau nongkrong di kafetaria. Kalau harga pesawat kian murah, apakah kapal-kapal Pelni itu masih bisa bersaing?

Sebagai seorang warga. saya jelas diuntungkan dengan fenomena ini. Saya bisa dengan cepat pulang kampung. Lebih cepat dari Dwi yang butuh empat jam untuk mencapai Bone sebab melewati jalan darat. Padahal, jarak Makassar ke Bau-Bau jelas lebih jauh dibandingkan Makassar ke Bone. Tapi, dari sisi waktu, Bau-Bau lebih singkat digapai sebab bisa dijangkau dengan pesawat terbang. Jarak dan waktu kian relatif bagi manusia yang bepergian.

Ketika berada di pesawat, saya teringat kalimat Thomas Friedman yang mengatakan The World is Flat. Dunia menjadi datar dan jarak sudah tidak menjadi masalah. Hari ini kita bisa dengan mudah ke mana-mana. Tadi siang saya ke Bandara Sultan Hasanuddin setelah sebelumnya membeli jalangkote di gerbang BTP. Siangnya, jalangkote itu dinikmati keluarga di Bau-Bau dalam keadaan masih panas. Hebat khan?

0 komentar:

Posting Komentar