Gimana Rasanya Saat ke Toko Buku dan Ditawari Buku Sendiri?


SEJAK kemarin, saya berada di Kendari. Setelah menempuh perjalanan selama enam jam dari Bau-Bau, Kota Kendari tampak menawan mata, namun pemandangannya itu-itu terus. Tak banyak yang berubah. Ini adalah kunjungan yang kesekian kalinya. Mungkin, pada waktu mendatang, saya akan banyak berkunjung ke kota ini. Sebagai ibukota Sulawesi Tenggara (Sultra), kota ini jelas punya magnet bagi siapapun warga Sultra, termasuk saya. Kali ini saya nginap di Mess Bau-Bau. Seorang kawan yang pernah menjadi kepala perwakilan telah menyiapkan kamar dengan fasilitas yang cukup mewah. Dikiranya saya orang penting di daerah. Padahal, saya hanya seorang pesuruh, yang setiap Senin harus datang apel sambil mengenakan pakaian hansip.

Bersama teman Mukmin, saya mengantarkan stok 250 buku ke toko buku Gramedia. Dua bulan yang lalu, Mukmin mengantar 224 buku. Menurut pihak Gramedia, buku yang tersisa tinggal 84 buku. Kami diminta mengantarkan buku yang baru, sebab diprediksi buku yang tersisa akan habis dalam waktu sebulan.

Semalam, saya bertemu Darwin Ismail, seorang senior yang bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Haluoleo. Kami lalu singgah ke toko buku Gramedia. Selama tinggal di Bau-Bau, saya kehilangan satu rutinitas yakni jalan-jalan ke toko buku. Sekarang, saya bisa memuaskan rasa rindu saya tersebut. Meskipun toko buku ini tidak terlalu besar, tapi saya cukup menikmati kunjungan. Luas toko ini hanya sepersepuluh dari luasnya toko Gramedia di Kota Makassar. Buku-buku yang dipamerkan pun tidak seberapa banyak. Rupanya, mereka cukup selektif dengan buku-buku yang dipajang di situ. Buku yang dipajang hanya dari penerbit besar. Juga buku-buku yang diperkirakan laris, yang menempati kehormatan menempati rak-rak di toko buku.

Saya membeli buku karya La Ode Rabani yang judulnya Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara. Saya kepincut dengan halaman belakang buku yang memuat peta politik Sulawesi Tenggara saat masih menjadi kabupaten di bawah provinsi Sulawesi Selatan. Di situ ada tabel tentang hasil pemilu 1955 dan komposisi kursi di DPRD. Kebetulan, data ini bisa menggenapi penelitian saya tentang stigmatisasi PKI di Pulau Buton.

Saya juga membeli buku karya Rosihan Anwar yang berjudul Sejarah Kecil Nusantara Jilid 2. Dulunya, saya pernah punya yang jilid 1. Entah, buku itu raib di mana. Saya juga membeli majalah National Geographic dan Cinemagz. Saya mencari Intisari dan Reader Digest. Tapi, stoknya tidak ada alias sudah habis.

Saat asyik melihat-lihat buku, seorang karyawan Gramedia mendatangi saya. Ia menawarkan buku Naskah Buton Naskah Dunia yang dibumbui sedikit promosi. Bagaimanakah perasaan anda ketika ditawari buku sendiri? Saya jelas terkejut sekaligus penasaran. Saya biarkan sang pelayan tersebut menjelaskan kelebihan buku tersebut. "Ini buku laris Pak. Banyak yang beli buku ini," katanya sambil menunjukkan buku itu. Saya langsung melihat nama saya yang tertera di situ. Saya juga tak berniat untuk mengatakan bahwa itu buku yang saya susun bersama teman-teman.

Sang pelayan lalu memperlihatkan buku berwarna biru yang bergambar Gubernur Sultra Nur Alam. Buku itu adalah biografi singkat, yang bisa saya tebak isinya pasti memuat semua kebaikan-kebaikan saja. Saya teringat tulisan saya tentang watak narsis para pejabat kita yang belum berbuat apa-apa, tiba-tiba menyusun biografi dengan bahasa selangit yang isinya memaparkan kehebatan-kehebatannya saja. Saya tak tertarik. Tapi saya minta pelayan itu membandingkan buku mana yang laku, apakah buku saya ataukah biografi gubernur. Pelayan itu lalu menunjuk buku saya yang paling laku. Bahasanya bombastis. "Tak ada yang mengalahkan penjualan buku ini di Sultra," katanya. Entah, apakah ia benar atau bohong, tapi saya senang.

Setelah membayar semua buku yang dibeli, saya lalu kembali ke Mes Bau-Bau bersama Darwin dan Mukmin. Kami banyak ngobrol tentang tema-tema yang tidak umum, mulai dari filsafat, logika, hingga tentang perkembangan ilmu pengetahuan. Darwin orang yang cukup menyenangkan untuk diajak diskusi tema-tema demikian. Pengetahuannya luas dan menunjukkan penguasannya yang baik. Ia juga menyukai diskusi dengan tema-tema kearifan lokal, khususnya masyarakat Buton. Pada titik ini, saya menemukan kesamaan minat dengannya. Kami ngobrol sampai pukul 12.00 wita. Selanjutnya adalah tidur pulas.(*)


Kendari, 2 Maret 2010

2 komentar:

Anonim mengatakan...

asyik juga nih kalo ditawarin buku sendiri. pasti seru deh!

darmawati alimuddin mengatakan...

wah..di tawarrin buku sendiri???mauku juga kak suatu saat ditawari buku sendiri...:)

Posting Komentar