Bumi Cinta: Resep yang Selalu Berulang


HANYA dalam waktu sehari, saya menuntaskan Bumi Cinta, novel terbaru karya Habiburrahman El Shirazy. Saya tertarik membeli novel ini karena promosinya yang selangit. Apalagi, saya memang sudah membaca dua karya penulis ini sebelumnya yakni Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Pada bagian sampul novel ini tedapat sejumlah tulisan yang hebat-hebat. Yakni Adikarya Novelis No 1 Indonesia. Ada pula tulisan Dari Sastrawan Peraih Penghargaan Sastra Nusantara Tingkat Asia Tenggara. Pada sampul belakang ada foto besar dan tulisan # 1 Worldwide Bestselling Author.

Mungkin ini dimaksudkan sebagai promosi. Tapi, kesannya agak berlebihan. Sebab di dua halaman kulit sampul sebelah dalam juga terdapat profil alias curiculum vitae serta kehebatan penulisnya. okelah kalau penulisnya memang hebat. Tapi gak usah telalu over-lah atas semua pencapaian. Saya teringat ES Ito, penulis Rahasia Meede yang hanya mencantumkan data singkat tentang dirinya dalam novelnya. Ia hanya menulis ”ES Ito, lahir tahun 1981 dari ayah dan ibu seorang petani.”

Ini memang hak seorang pengarang. Mungkin, segudang promosi tesebut adalah semacam testimoni yang diharapkan akan menggerakkan orang-orang untuk membeli novel ini, demi membangkitkan rasa kepenasaranan. Dan berhasil. Buktinya, saya langsung terpengaruh dan penasaran dengan novel ini. Saya lalu membelinya. Apalagi, saya mengikuti dua novel sebelumnya dari sang penulis.

Isi novel ini berkisah tentang serang pemuda benama Muhammad Ayyas yang sedang riset untuk progam doktor bidang sejarah di Rusia. Saat berada di negeri ini, keimanannya diuji oleh kemolekan gadis-gadis usia. Pemuda ini digambarkan cerdas (hingga sanggup menguliahi serang doktor sejarah di rusia), tutur katanya halus, serta menjadi idola sejumlah gadis-gadis rusia, baik yang berprofesi sebagai doktor, maupun gadis-gadis yang tinggal satu apartemen dengannya.

Baru baca dua bab, saya sudah dapat gambaran tentang isi novel ini. Tapi saya masih melanjutkan baca sampai tuntas. Saya tak ingin asal ngomong. Terus terang, ekspektasi saya agak berlebihan tentang novel ini gara-gara membaca promosinya yang berlebihan. Bagi saya, Bumi Cinta (BC) tidaklah seistimewa Ayat-Ayat Cinta (AAC) atau karya lainnya Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Malah, saya justru menilai bahwa formula atau resep yang ditawarkan Habiburrahman justru mengulang-ngulang apa yang disajikan dalam novel sebelumnya. Makanya, dengan cepat saya bisa menebak apa hasilnya, dan 100 persen tebakan saya itu sama persis. Ada beberapa kesan yang menggumpal di benak usai membaca novel ini.

Pertama, tokohnya lagi-lagi seorang pria yang alim dan menjadi rebutan gadis-gadis cantik yang rela melakukan apapun agar diperistri sang tokoh. Entah kenapa, dalam tiga novelnya ini, selalu berkisah tentang pria beruntung yang digila-gilai gadis-gadis. Dalam AAC, ada sosok Fahri yang diperebutkan gadis Jerman, Aisha, dan gadis Mesir, Maria. Dalam KCB, ada sosok Azzam yang diperebutkan Eliana (puti Dubes), dan Anna Althafunnisa, mahasiwa program doktor yang cerdas. Dalam BC, lagi-lagi muncul sosok Ayyas yang diperebutkan gadis-gadis rusia mulai dari doktor sejarah Anastasia Pazzola, hingga pelacur insyaf yang jelita Yelena, seta Linor, gadis pemain biola yang jelita. Terus terang, saya agak heran dengan alur cerita seperti ini. Jangan-jangan, sang pengarang novel terlalu sering menonton film Rhoma Irama sehingga muncul gambaran sosok pria yang digila-gilai wanita.

Kedua, sosok Ayyas digambarkan kelewat cerdas sehingga sanggup menggemparkan dunia intelektualitas di Rusia, sanggup membuat tampak bodoh ilmuwan rusia, juga membuat tercengang serang doktor bidang sejarah. Wake up...!!! Ini Rusia, salah satu kiblat intelektual dunia. Tapi kalau dibaca substansi gagasan Ayyas, sangat telihat kalau gagasannya terlalu biasa dan tidak memesonakan. Memang, Ayyas sering mengutip ilmuwan barat sepeti Friedrich Nietzsche dan Karl Marx dalam diskusi di satu univesitas di Rusia, namun tampaknya ia tidak terlalu paham dengan gagasan Nietzsche. Tiba-tiba saja semudah itu ia mengutip dan menjelaskannya. Dan anehnya, tiba-tiba saja, dalam satu diskusi yang memperhadapkan Ayyas dengan seorang profesor yang anti Tuhan, publik Rusia semudah itu memberikan standing applaus kepada sosok Ayyas. Dan sang profesor yang anti Tuhan itu tiba-tiba mati kutu dalam perdebatan. Tiba-tiba, Ayyas diundang hadir untuk talkshow di sebuah stasiun televisi. Aneh.....

Meski digambarkan sebagai mahasiswa program doktor bidang ilmu sejarah, namun sosok Ayyas ini justu menafsirkan sejarah sesuai dengan perspektif Orde Baru. Mungkin karena perspektif ini yang gampang diterima oleh ajaran Islam, yang diklaim pengarang. Ayyas menjelaskan kekejaman PKI di Indonesia yang katanya suka membantai umat Islam. Tapi ia sama sekali tidak menyinggung jutaan waga yang dituduh PKI dan dibunuh begitu saja leh tentaa. Andaikan ia benar sejarawan, ia akan teliti dalam mengungkap fakta-fakta. Tidak cuma percaya pada argumentasi ideologis Suharto bahwa PKI itu atheis, sesat, dan melanggar perintah Allah.

Ketiga, tampaknya Rusia yang digambarkan dalam novel ini hanyalah sebuah setting yang sesungguhnya bisa dipertukarkan. Andai kita ganti dengan Amerika, maka pastilah akan sama saja. Cerita masih tetap bergulir. Sebab sosok yang hidup dan dikisahkan di dalamnya bukanlah Rusia dalam pengertian sebenarnya. Kita tidak mendapat gambaran utuh tentang bagaimana warga Rusia memaknai sesuatu, bagaimana cara pandang mereka dalam menjawab suatu persoalan. Kita hanya berhadapan dengan sosok yang seolah bejat sebagaimana gambaran stereotype orang Islam terhadap Rusia. Dan dalam novel ini, tiba-tiba saja semua sosok itu dnegan mudahnya masuk Islam. Mereka hanya mendengar satu atau dua argumentasi, tiba-tiba saja tersungkur dalam alunan melodi cinta pada Allah.

Terakhir, saya menilai novel ini sama saja dengan novel sebelumnya. Dalam AAC, sebagai pembaca kita terkejut karena baru pertama menyaksikan resep seperti ini. Tapi dalam BC, kita tidak terkejut lagi. Kita sudah tahu resep rahasia Habiburrahman. Kita ibarat disuruh mencicipi sayur dengan rasa yang sama. Lantas, apa masih pantas novel ini menyandang sebutan fenomenal dan mengguncangkan sebagaimana promosinya?


0 komentar:

Posting Komentar