Secarik Kertas, Secarik Sedih



Kisahkan padaku tentang arti perselingkuhan!

Hari ini aku menemui secarik kertas yang kau tuliskan di sela-sela catatan harianmu. Secarik kertas yang menjadi mesin waktu antara dirimu dengan seseorang di sebelah lautan sana. Tertera guratan tulisan tentang janji untuk sebuah pertemuan. Kau dan dia bersaksi untuk sama menepati janji, untuk sebuah pertemuan yang kelak menjadi batu ujian apakah hatimu dan hatinya masih sama bertaut.

Aku menemukan secarik kertas yang membuatku tertegun sesaat. Entah, apakah kau sedang merencanakan sebuah perselingkuhan ataukah tidak. Kalaupun kamu menyukainya, itu adalah hakmu. Setidaknya, hingga janur kuning belum terpasang di depan rumahmu, kau masih manusia yang bebas lepas untuk terbang ke mana-mana dan hinggap di mana saja. Dan aku bukanlah kerangkeng yang memasung langkahmu. Bahkan tidak untuk memasung pertalian kita.

Aku tak pernah takut dengan hati yang mendua. Malah, aku sudah tahu bahwa saat-saat ini kelak akan datang. Aku hanya sedih memikirkan kenyataan bahwa diriku kian tidak menarik untukmu. Diriku adalah suara masa silam yang tiba-tiba hadir untuk menyapa dirimu yang sedang mekar di pagi hari ini. Kau memberi keceriaan dan kehangatan, sementara aku hanya bisa membisikkan kisah-kisah petualangan, jalan pedang yang pernah dipilih oleh para samurai, jalan keadilan yang pernah kulalui dengan pedangku yang masih berdarah-darah.

Aku sedih dengan kenyataan bahwa aku gagal menghadirkan pijar kecil di matamu. Mungkin, selama ini aku terlampau egois ketika hanya memikirkan sejauh mana penjelajahanku di padang perburuan. Aku terlampau individualis dan melupakan dirimu yang sedang menanam tumbuhan harapan agar kelak tumbuhan itu bisa membawamu pergi jauh. Mungkin selama ini aku terlalu asyik meratakan jalan yang kelak akan kita lalui sama-sama.

Dan ketika kau kukuh dengan ikrar untuk menemuinya, itu adalah cermin besar yang menjadi momentum bagiku untuk merefleksikan sejauh mana penjelajahanku ini. Sikap kepala batumu adalah alarm yang berdenging di telingaku bahwa aku telah gagal menjaga hangatnya api kasihmu. Dan ketika kau menemukan kebahagiaan pada sosok yang menuntun langkahmu di sana, menjadi pertanda bagiku untuk kembali menata ulang rumah besar yang sedang kubangun, dan entah, apakah kau memilih untuk berada di sana ataukah tidak.

Sungguh!!! Aku tak pernah takut dengan perselingkuhan. Justru aku sangat bahagia melihat ada binar mata bahagia yang memancar dari wajahmu. Lima tahun kita menjalin kasih, binar mata bahagia itulah yang selalu kurindukan. Setiap hari kurindukan binar-binar bahagia itu. Aku bahagia dengan keadaanmu sekarang yang selalu tersenyum.

Tapi, aku juga sedih karena bukan aku yang menghadirkan binar bahagia itu.




Pulau Buton, 5 Maret 2010


2 komentar:

Bahauddin Amyasi mengatakan...

Wah, kisah yang mendayu-dayu sobat.
kalimatnya megalir lentik dan gemulai. Aduhai, indahnya ...


Salam kenal, MAs...

Yusran Darmawan mengatakan...

thanks atas komentarnya bro...
salam kenal..

Posting Komentar