Lapis Kenangan di Kota Sengkang


SAYA selalu menikmati kunjungan ke daerah-daerah. Saya bahagia berada pada suatu tempat yang tidak terlalu ramai, tidak ada kemacetan, tidak ada debu yang mengepul di siang hari. Saaat berkunjung ke daerah, saya menikmati saat-saat ketika melihat ke jendela mobil dengan penuh kejutan. Melihat sekeliling dengan penasaran, atau tersesat karena salah menterjemahkan petunjuk tentang arah yang hendak dituju.

Hari ini saya berkunjung ke Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Bersama rombongan dari PKP Unhas, kami melewati Maros, Pangkep, Sidrap, hingga Sengkang. Saat melintas di Pangkep, kami singgah di satu warung kecil di pinggir jalan. Warung itu menjajakan dange, kue khas Pangkep yang terbuat dari beras ketan hitam dan campuran gula merah. Kue itu dipanggang dengan cara ditutup dengan tongkok (penutup) yang terbuat dari tanah liat. Tapi saya tidak sedang minat makan dange. Saya hanya memesan teh manis, serta indomie rebus.

Perjalanan dilanjutkan. Melintasi Sidrap, saya memandang hamparan sawah yang amat luas. Sejauh-jauh mata memandang, yang nampak adalah sawah-sawah yang menghijau kekuning-kuningan. Di beberapa tempat, saya melihat banyak warga yang memanen secara bersama-sama. Orang Bugis punya tradisi panen yang unik. Mereka menggelar pesta panen secara meriah yang disebut Mappadendang. Dalam ritual ini, ada musik lesung, lagu-lagu, serta tarian yang semuanya menggambarkan kegembiraan masyarakat atas panen. Kini, mappadendang sudah menjadi kalender rutin bagi pemda setempat.

Tiba di Sengkang, jarum jam menunjukkan pukul 13.00. Saya langsung menuju ke kantor badan Pusat Statistik (BPS). Malangnya, semua pegawai BPS tidak sedang berada di kantor. Mereka sedang tugas lapangan, entah ke mana. Saya lalu singgah ke rumah keluarga teman dan mengaso selama beberapa menit. Kemudian, saya mengontak Nawa, sahabat yang kini jadi anggota KPU Sengkang. Ia datang menjemputku dan mengajak makan di tempat makan yang paling bergengsi di Sengkang.

Tempat makan itu adalah lesehan yang konsepnya seperti paviliun. Kita duduk di salah satu dangau dan ditutupi tirai bambu. Tempat makan tersebut bernama Lesehan Jet Tempur. Dinamakan demikian karena letaknya yang berhadapan dengan monumen berupa pesawat jet. Tampaknya, tak banyak yang tahu apa makna keberadaan jet tersebut. Apakah jet itu dulunya digunakan TNI ataukah digunakan bangsa lain. Nawa berseloroh kalau jet itu adalah milik bangsa Yahudi yang jatuh di kota Sengkang. Kami memesan ikan baronang bakar dan jus nanas. Ikannya sungguh enak, meskipun minyaknya agak banyak. Kami bercerita ngalor-ngidul dan selanjutnya jalan-jalan mengelilingi kota Sengkang.

Saya menyaksikan kenderaan yang paling banyak di kota ini adalah bentor atau gabungan antara becak dan motor. Ternyata orang Sengkang cukup kreatif dalam mengubah bentuk motor sehingga bisa mengangkut penumpang. Saya melihat-lihat, saya lalu balik ke tempat tinggal dan istirahat. zzzzz...(*)

0 komentar:

Posting Komentar