Naskah Buton yang Mencengangkan


PETUALANGAN menyaksikan naskah kuno Buton tak selesai dalam sehari. Setelah kemarin melihat foto-foto dan naskah lama, hari ini, kembali saya ke rumah Al Mujazi Mulku untuk menyaksikan naskah-naskah kuno yang belum saya saksikan. Kali ini, saya punya waktu yang lebih lama untuk melihat kembali naskah-naskah lama tersebut.

Seperti biasanya, Al Mujazi menyambut saya dengan ramah. Ia lalu menunjukkan sejumlah koleksi kuno yang disimpannya sebagai warisan turun-temurun di keluarganya. Beberapa kali ia mengeluarkan naskah kuno, dan saya selalu berdecak kagum. Saya merasa speechless karena tak menyangka pada masa silam, nenek moyang Buton begitu rajinnya menulis naskah-naskah dengan huruf Arab dan berbahasa Wolio.

Mujazi memperlihatkan sebuah buku yang agak tebal. Ia memperkirakan, buku itu disusun pada abad ke-18 atau sekitar tahun 1700-an. Pada buku yang agak besar itu –serupa dengan separuh ukuran koran--, saya melihat semua halamannya bertuliskan huruf-huruf Arab. Pada beberapa halaman, terdapat sejumlah gambar dan tanda-tanda yang sukar saya ketahui apa maknanya. Dalam buku “Katalog Naskah Buton“ yang disusun Prof Achdiati Ikram (Guru Besar Filologi UI), buku itu disebut berisikan tulisan tentang aneka ilmu pengetahuan.

Yang mengesankan buat saya adalah lautan simbol yang sarat makna dan masih misterius. Mungkin, penelitian yang intens dari seseorang yang menguasai ilmu filologi, akan membawa kita pada pemahaman yang lebih baik tentang apa sesungguhnya makna yang dikandung oleh simbol-simbol tersebut. Mereka yang hendak menyelami lautan simbol itu, seyogyanya harus memahami bahsa Wolio dan huruf Jawi atau Arab gundul sekaligus. Ia juga harus menguasai sejarah sebab boleh jadi, sebuah tulisan lahir dikarenakan suatu kondisi zaman tertentu.

Setelah Mujazi memperlihatkan buku tebal tersebut, selanjutnya ia memperlihatkan beberapa Qur’an yang ditulis dengan tangan. Lagi-lagi saya tercengang melihat tulisan tangan yang rapi dan jelas. Qur’an pertama yang diperlihatkannya adalah Qur’an yang ditulis oleh Abdul Khalik Maa Saadi yang bergelar Bontona Matanayo. Dalam katalog yang disusun tim UI, Qur;an tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-18 atau sekitar tahun 1700-an. Kondisinya masih sangat baik dan mencengangkan saya.

Selanjutnya, Mujazi kembali memperlihatkan saya sebuah Qur’an tulisan tangan dari abad ke-18. Kali ini, ditulis oleh La Saompula atau yang dijuluki Bontona Mancuana. Tak seperti Qur’an sebelumnya, kata Mujazi, Qur’an ini menyimpan misteri. Jika diterawangkan, maka di dalam setiap halaman terdapat gambar atau simbol tertentu yang berbeda di semua halamannya. Terkadang simbol tulisan Arab, terkadang pula gambar yang agak sukar dikenali. Jika dilihat biasa, maka simbol itu tidak nampak, namun jika diterawangkan, barulah kelihatan. Jika penasaran, lihat saja dalam foto di bawah ini.

Melihat naskah itu, saya kembali tercengang dan tak dapat berkata-kata. Saya membayangkan, andaikan Robert Langdon ada di sini, pastilah ia akan sangat girang dan senang menyaksikan banyaknya simbol yang mesti dimaknai. Mungkin saja, naskah Buton mengandung teka-teki semiotik yang sukar dipecahkan.

Qur’an kuno terakhir yang saya saksikan adalah tulisan tangan dari Sultan Muh Idrus Kaimuddin, Sultan Buton ke-35 yang dijuluki Sangia Mokobaadiana. Sampulnya masih sangat bagus. Namun tidak dengan isinya. Diperkirakan, sampul dan lembaran itu dibeli di Tanah Arab, di mana Idrus beberapa kali pergi menimba ilmu. Di antara semua Sultan Buton, Idrus adalah sultan yang sangat produktif menghasilkan karya. Ia juga penyair yang menulis puisi-puisi religius. Semua syairnya dicatat dalam kabanti serta beberapa buku baik berbahasa Wolio maupun bahasa Arab. Qur’an tulisan Sultan Muh Idrus yang mulai kabur tersebut, bisa dilihat di bawah:
Usai menyaksikan naskah dan Qur’an kuno, Mujazi lalu memperlihatkan beberapa kabanti yang sudah diterjemahkan. Kabanti adalah syair atau puisi yang ditulis dalam bahasa Wolio. Banyak kabanti yang berusia ratusan tahun dan diwariskan secara turun-temurun. Kabanti di sini bisa berisikan pesan spiritual, namun terkdang juga mencatat sejarah atau kisah-kisah yang berisikan teladan atau hikmah. Saya sempat mencatat beberapa kabanti yang penting.

Usai menyaksikan naskah kuno tersebut, ada rasa bangga yang menebal dalam diriku pada kekayaan khasanah pengetahuan nenek moyang yang sudah lekat dengan tradisi intelektualitas. Sebagai generasi hari ini, saya malu karena tidak seproduktif mereka dalam menghasilkan banyak karya yang kelak akan dikenang berbagai generasi sesudahnya.(*)

0 komentar:

Posting Komentar