Kota Sengkang, Kota Tua


BERKUNJUNG ke kota seperti Sengkang menggoreskan kesan tersendiri di benak saya. Selama dua minggu ini, saya banyak menjelajah beberapa daerah, baik Sulawesi Selatan maupun Sulawesi tenggara. Di antara berbagai kota tersebut, hanya ada tiga kota yang mengesankan yaitu Bau-Bau, Watampone, dan Sengkang.

Parameter saya sederhana. Suatu kota yang mengesankan bukanlah dilihat dari seberapa banyak bangunan tinggi, atau seberapa ramai kendaraan yang berseliweran. Sebuah kota mengesankan ketika bisa mereservasi semua bangunan tua yang menjadi penanda kan suatu masa yang lampau, sekaligus menjaga nilai luhur tersebut ke dalam masa kini. Jika diterjemahkan secara sederhana, suatu kota akan mengesankan ketika mempertahankan bangunan tuanya. Kita merasakan sebuah masa yang lewat, namun tetap hadir membayang-bayangi masa kini. Ada sesuatu yang spiritual di kota-kota seperti itu.

Di kota seperti Sengkang, ada banyak bangunan tua yang dipertahankan. Misalnya bangunan Saoraja atau istana di masa silam. Juga banyak rumah-rumah warga yang masih dipertahankan bentuk aslinya yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu. Jika dibandingkan dengan kota seperti Makassar atau Sungguminasa (dulunya pusat kerajaan Gowa), maka Kota Sengkang jauh lebih banyak bangunan kayunya.

Menurut teman saya yaitu Nawa, sejarah Sengkang sebagai ibukota Wajo adalah sejarah yang terpinggirkan di kalangan orang Bugis. Sebab pada perang Makassar –peperangan yang paling dahsyat di Sulawesi,-- posisi Wajo adalah memihak Makassar dan bersama-sama melawan VOC. Perang Makassar adalah perang yang memperhadapkan Kerajaan Gowa melawan koalisi antara Bugis, Buton, Ternate dan Belanda. Dalam peperangan itu, posisi Gowa jelas akan kalah melawan air bah kekuatan besar tersebut. Namun, sejarah juga mencatat bahwa tak semua kekuatan Bugis mengumpul di Arung Palakka. Buktinya, Wajo lebih memihak Sultan Hasanuddin dan mati-matian menjaga Hasanuddin.

Memang, jika dilihat dari sisi Indonesia, posisi itu sangatlah strategis sebab melawan kolonialisme yang bercokol di Nusantara. Namun jika dilihat dari posisi Wajo sebagai salah satu pusat etnis Bugis –sama halnya dengan Bone--, maka sangat aneh ketika mereka tidak memihak Bone. Makanya, di kalangan orang Bugis sendiri, posisi Wajo sering dianggap “pengkhianat” karena tak mau memihak Raja Bone, Arung Palakka.

Sebutan pengkhianat itu ditentang habis-habisan oleh Nawa. Mestinya, sejarah harus dibaca secara kontekstual, tidak dibaca dari kepentingan masa kini. “Pada masa itu, semua kerajaan punya rasionalitas sendiri yang harus dipahami sesuai dengan pergesekan kekuatan pada masa itu,” kata Nawa dengan penuh semangat.

Saya rasa Nawa benar dengan argumentasinya. Saya berharap suaranya bisa lebih bergema dan didengarkan banyak orang.(*)

1 komentar:

Posting Komentar