Cinta Itu Tidak Untuk Dibahas, Tapi Untuk Diresapi

IZINKAN aku berbicara tentang cinta. Beberapa hari ini aku berada dalam satu komunitas yang setiap hari memperbicangkan cinta. Komunitas yang setiap saat membahas cinta dari berbagai sisi. Mereka membahas rekannya sendiri yang begitu melankolis memaknai cinta. Rekannya, seorang pemuda yang hanya bisa memandang sang gadis bagai pungguk merindu bulan. Pemuda yang sibuk memikirkan strategi mendekati seorang gadis, tetapi setiap harinya hanya jalan di tempat. Tidak beranjak.

Cinta memang melankolis. Cinta memang menghamparkan luasnya tema untuk dibahas, sungai pembicaraan yang tak habis-habisnya mengalir. Tetapi, haruskah kita membahas tema itu selama berhari-hari? Tidakkah kita jenuh membahas tentang kawan kita tiap saat sementara ia tak juga berani mengungkapkan cintanya pada sang gadis?

Kadang-kadang saya merasa jenuh. Tapi, kadang saya berpikir bahwa jangan-jangan saya sudah mati rasa hingga tak lagi merasakan indahnya cinta. Mungkin saya sudah terlampau modern hingga kehilangan indahnya membahas hal yang remeh-temeh tentang cinta. Tapi, salahkah jika saya berpikir bahwa cinta adalah perkara yang harus dihadapi sebagai lelaki yang jantan dan berani. Cinta adalah perkara yang dihadapi bagai pria yang mau ke medan laga. Kita datang menemui sang gadis, sampaikan cinta sebagai niat baik dan berita gembira. Soal apakah gadis itu mau menerima atau tidak, itu soal lain.

Kalau gadis itu menyambut cinta itu, maka siap-siaplah memasuki hidup yang bahagia. Menjalani hari dengan tatap cinta dan perhatian dari seseorang. Menjalani hal-hal bahagia, yang setahun berikutnya bisa menjelma jadi hal yang monoton. Semuanya tergantung dari seberapa pandai kita mengelola emosi dan memaknai hubungan kita dengan seseorang.

Kalau gadis itu tak mau, sementara anda yakin bahwa ada setetes harapan, maka sampaikanlah cinta itu pada esok yang lain. Jika anda pesimis, setidaknya anda sudah berhasil. Episode memikirkan si dia selama bermalam-malam, akhirnya tuntas sudah. Ngapain memikirkan seseorang sementara orang tersebut tak pernah peduli dengan diri kita sendiri. Untuk apa menyayangi orang lain yang sama sekali tak ada setetes pun kasih pada kita. Di malam buta kita sibuk memikirkan keadaannya, sementara si dia mungkin sedang bersama pria lain dan bersenang-senang. Kita merana, dia bahagia. Betapa tak adilnya hidup.

Memang, saya sadar bahwa cinta kadang lebih enak untuk diomongkan ketimbang dijalani. Sebuah komunitas yang tiap hari membahas cinta dari sisi prilaku, jangan-jangan kehilangan rasa untuk memaknai cinta. Sebab cinta itu bukan untuk dianalisis dengan berbagai teori. Cinta itu untuk dihayati dan dimaknai. Ketika kita membahas cinta, maka saat itu juga kita sudah mereduksi makna cinta. Kita menyempitkannya seolah dia adalah obyek kajian ilmu pengetahuan. Padahal, cinta itu untuk diresapi, dimaknai dengan diam, namun hati kita berdetak merasakannya. Cinta –meskipun hanya setetes—adalah sesuatu yang menghangatkan malam-malam kita, sesuatu yang mengembun dan membasahi hati kita. Tiba-tiba saja kita jadi perkasa dan begitu kuat untuk menantang matahari. Tiba-tiba saja kita jadi jatuh tak berdaya kala mendengar suaranya yang menyelusup dalam lorong-lorong hati kita. Pada titik ini, kita sudah merasakan cinta yang dahsyat itu.(*)


Makassar, 25 Agustus 2009

0 komentar:

Posting Komentar