Rendra dan Serapal Mantra


SAYA selalu benci setiap kali harus berbelasungkawa atas kematian seseorang. Namun, apa daya, usia seseorang bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan sebagaimana kita memegang remote televisi. Usia adalah perkara ketidakterdugaan di mana kita hanya bisa mengelus dada dan melepaskan tangis yang meraung.

Tadi pagi, saya membaca berita tentang wafatnya sastrawan WS Rendra, sastrawan penjinak kata yang hari-harinya adalah pamflet dan sinisme pada ketidakadilan. Rendra seorang penyair besar yang memiliki keahlian membengkok-bengkokkan kata menjadi mantra. Tatkala mantra itu dirapal, maka bisa menjelmakan angin topan, bisa memunculkan samudera yang membanjiri kita dengan gagasan-gagasan, bisa menjadi tongkat Musa yang membelah lautan angkara dan ketidakadilan.

Pantas saja, penyair Sapardi Joko Damono menyebut Rendra bukan sekedar sastrawan. Rendra adalah penyihir yang kerap merapal mantra dan membuat dunia gelap-gulita dan terang-benderang sesukanya. Kalimat-kalimatnya menyihir jutaan pikiran manusia lainnya untuk kemudian tersentuh dan bergerak bersama menciptakan perubahan. Kehilangan atas Rendra adalah kehilangan atas sosok yang menjadikan kata jauh lebih tajam daripada bedil. Kehilangan atas Rendra adalah kehilangan sosok yang menjadi orkestra dari simfoni kreativitas perlawanan seorang penjinak kata, yang mengisi hari-harinya dengan luapan kesan yang menggenang atas segala yang disaksikannya.

Entah kenapa, setiap kali ada orang besar yang berpulang, maka setiap kali pula kita bertanya-tanya, apakah hari ini kita masih punya sosok sekaliber itu. Kita selalu membawa tanda tanya yang menuding diri sendiri, apakah kita mampu meniti di atas jembatan yang pernah mereka jejaki? Nampaknya, setiap ada kehilangan, selalu ada refleksi dan tanya yang mengejutkan. Perginya Rendra serta Mbah Surip, kembali menyegarkan tanda tanya purba itu, apakah kita hari ini bisa meniti di jejak yang sama?

Giddens pernah menyatakan bahwa salah satu realitas menggiriskan di abad 21 adalah hilangnya nabi-nabi besar. Seorang nabi adalah mereka berkhotbah tentang kebenaran dan menjadikan dirinya sebagai prasasti bagi sesamanya. Jika Giddens benar, maka di tengah zaman yang kian material ini, kita telah banyak kehilangan sosok-sosok yang berkhutbah tentang keadilan dan kemanusiaan. Kita sudah terlampau material hingga alpa mengasah kemanusiaan kita sendiri.

Selama sekian dekade menaklukan kata, kini Rendra berdiam untuk selamanya. Meskipun saya sendiri yakin bahwa Rendra tak pernah diam. Ia abadi untuk selama-lamanya dan menjadi penyaksi atas zaman yang kian jauh dari istana imajinasi yang pernah dibangunnya dalam selama bertahun-tahun. Dalam berbagai mitos Yunani kuno, seorang sosok besar tidak pernah meninggal sebab Zeus akan mengabadikannya sebagai bintang di langit malam. Mungkin Rendra saat ini menjadi satu dari ribuan bintang di langit malam. Ia sedang menyaksikan kita yang galau dan hanya bisa memandangnya dengan tatap memelas.(*)


Jumat, 7 Agustus 2009
Pukul 09.53 Wita

0 komentar:

Posting Komentar