Perjalanan dari Bau-Bau ke Kendari, Lanjut ke Kolaka

TIBA juga di Kolaka. Saya ingin flash back. Perjalanan Bau-bau hingga Kendari, kemudian Kolaka, amat melelahkan. Bangun pagi saya pergi ke Pelabuhan Murhum untuk berangkat dengan naik kapal Sagori. Sebelumnya, saya singgah beli tiket, namun tidak kebagian. Terpaksa, dengan sedikit kenekadan, saya langsung saja ke kapal dan naik tanpa tiket.

Hari ini, kapalnya sangat padat dengan penumpang. Jam keberangkatannya juga molor sehingga saya menunggu cukup lama. Sadar kalau saya tak memegang tiket, saya langsung naik ke balkon kapal dan duduk di situ sepanjang perjalanan. Panas terik membakar kulit kepala. Tapi saya cukup menikmatinya. Apalagi, di dekatku ada dua jurnalis asal Korea yang baru saja kembali dari Bau-Bau untuk suting film dokumenter tentang penggunaan aksara Korea untuk bahasa Cia-Cia –satu etnis yang cukup besar di Pulau Buton.

Selama lima jam perjalanan, akhirnya tiba juga di Kendari. Hal pertama yang saya lakukan adalah segera mencari warung makan. Saya ingin mencicipi ikan bakar sebagai penawar atas perjalanan yang melelahkan ini. Sayangnya, rasa ikan bakar yang tadi saya cicipi tidak terlalu istimewa. Mungkin karena rata-rata warung ikan bakar di Kendari kebanyakan dimiliki oleh pendatang asal Pangkep, Sulawesi Selatan. Makanya, dari segi rasa, tak ada bedanya dengan warung pangkep di Makassar. Malah lebih enak di Makassar.

Usai makan ikan bakar, saya singgah jalan-jalan di Toko Gramedia di Rabam Mall, Kendari. Saya ingin melihat jenis buku yang tak ditemukan di kota-kota lain. Saya agak kecewa karena rata-rata buku yang dijual sama saja dengan yang ada di Gramedia Makassar. Untungnya, ada sekitar tiga buku yang ditulis tentang Muna. Saya lupa siapa nama penulis buku itu. Tiga bukunya berkisah tentang kebudayaan Muna, mulai dari pingitan, makna budaya dari gelar La dan Wa di Buton-Muna, serta pengaruh Islam di Buton-Muna. Sayangnya, kualitas buku itu sangat buruk. Kelihatan sekali kalau buku itu tidak digarap dengan serius. Bahkan, buku itu tidak dicetak, melainkan diprint biasa. Itupun dengan kualitas yang amat sederhana.

Ini sungguh disayangkan. Padahal, buku tersebut diberi pengantar oleh Gubernur Ali Mazi. Biasanya, ketika gubernur memberikan kata pengantar, maka pastilah diiringi dengan sumbangan sejumlah duit. Mestinya itu bisa digunakan untuk membenahi kualitas buku tersebut, kemudian membenahi editorial. Bagaimana mungkin buku lokal bisa bersaing dengan buku terbitan Jakarta, kalau tidak digarap dengan serius.

Selanjutnya, saya naik mobil ke Pasar Mandonga, lalu naik ojek ke Terminal Puwatu. Hari ini, ada dua kali saya naik ojek dan selalu saja bayar Rp 10 ribu. Saya tak tahu harga dan malas berdebat. Saya menikmati saja perjalanan ini. Tiba di Terminal Puwatu, seorang pemuda berebutan menyapa saat masih di motor. Mereka berteriak-teriak menanyakan tujuan hendak ke mana. Ketika menyebut Kolaka, seorang pria langsung girang dan ikut berlari di sebelah motor yang saya kendarai. Ia bersemangat menurunkan tas ranselku dan menentengnya menuju mobil yang terparkir. Saya ikut saja.

Pria yang mengejar motor yang saya kendarai disebut Aheng. Ia mencari penumpang sebanyak-banyaknya untuk dibawa ke mobil yang hendak berangkat. Untuk tindakannya tersebut, ia akan dibayar sesuai dengan kesepakatan yang berlaku di terminal tersebut. Hampir di semua terminal di Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Tenggara selalu ada yang berprofesi sebagai aheng. Para pengusaha angkutan menjalin kerjasama yang menguntungkan dengan para aheng. Andai mereka tak mau kerja sama, maka bisa dikucilkan dan tak adapat penumpang. Para aheng itu juga menjadi preman yang suka mengancam para pengusaha yang tak mau menggunakan jasa mereka.

Perjalanan ke Kolaka berlangsung selama empat jam. Sepanjang jalan, kemiskinan nampak telanjang di depan mata. Begitu banyak warga yang berada di garis kemiskinan. Itu bisa terlihat dari rumah-rumah yang sederhana. Tepat di perbatasan Konawe-Kolaka, saya menyaksikan banyak karaoke untuk kelas menengah ke bawah di sepanjang jalan. Fenomena ini amat menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Apalagi, Gubernur Sultra Nur Alam memiliki program bahteramas yang katanya memberikan dana bantuan ke setiap desa hingga Rp 100 juta. Dengan kemiskinan seperti itu, apakah dana yang dikucurkan itu bisa tepat sasaran? Saya tak tahu jawabannya. Saya hanya bisa mengurut dada.(*)


Kolaka, 12 Agustus 2009

0 komentar:

Posting Komentar