Membincang Holistik dalam Antropologi




Istilah holistik bisa ditelusuri dari pandangan filsuf Jerman, Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey hidup pada masa ketika filsafat idealisme Hegel sedang jatuh dan ditumbangkan oleh positivisme. Pemikiran ilmu alam yang ditandai metode erklaren (eksplanasi) menjadi pemikiran yang mendominasi seluruh bangunan ilmiah. Dilthey lalu mengembangkan pemikiran tentang verstehen (understanding) sebagai bentuk gugatan pada ilmu yang terlampau positivistik. Verstehen dilahirkan dalam bingkai kritik sejarah dan ikhtiar memunculkan human science.

Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (sebagian) dan whole (keseluruhan). Ia mendefenisikan holistik sebagai perputaran antara part (bagian) dan whole (keseluruhan) dalam memahami sesuatu. Part (bagian) bisa dipahami ketika direlasikan dengan part yang lain hingga membentuk totalitas atau whole (keseluruhan). Pemikiran Diltey tentang holistik ini menjadi bagian penting dari penjelasannya tentang lingkar hermeneutik (hermeneutical circle). Mengacu Webster’s Dictionary, holistik juga dipakai dalam ranah biologi dan kesehatan. Holistik dimaknai sebagai teori tentang pentingnya melihat seluruh aspek tubuh manusia baik menyangkut fisik, mental, hingga kondisi sosial dalam pencegahan penyakit. Holistik adalah sebuah totalitas dari keseluruhan aspek fisik dan nonfisik manusia. Asumsinya adalah bagian tubuh manusia tidak mungkin berdiri sendiri, melainkan memiliki relasi (hubungan yang sangat erat dengan bagian tubuh lainnya.

Pada ranah ilmiah, konsep holistik banyak dipakai sebagai bentuk kritikan pada perspektif Cartesian-Newtonian yang senantiasa melihat alam sebagai sesuatu yang terpisah-pisah atau terpencar-pencar. Perspektif Cartesian-Newtonian ini tidak melihat alam semesta dan manusia sebagai sesuatu yang terintegrasi atau memiliki kaitan erat. Kehadiran perspektif holistik sebagai bentuk counter discourse (wacana tanding) dan memberikan pemahaman tentang adanya aspek yang saling terkait antara manusia dan alam serta pahaman akan leburnya batas-batas yang ketat di antara displin ilmu.

Dalam ranah antropologi, holistik serta komparasi menjadi konsep yang sangat sentral. Dalam konteks ini, holistik adalah adanya totalitas atau keterkaitan antara berbagai aspek dalam menjelaskan tentang manusia dan masyarakat. Dalam ranah ilmu sosial, holistik berawal dari gagasan yang tumbuh subur pada disiplin ilmu biologi. Ilmuwan sosial asal Inggris, Herbert Spencer (1820-1903) membangun analogi holistik pada biologi dan diterapkan untuk melihat masyarakat. Pemikirannya kerap disebut sebagai analogi organik. Ia mengatakan kalau kemajuan sosial adalah konsekuensi dari evolusi sistem sosial. Spencer memandang masyarakat berkembang seperti hewan atau organisme tumbuhan.

Ia menganalisis pokok adaptif sosial budaya yaitu organisasi sosial, ekonomi, agama, dan politik. Menurutnya, keempat unsur ini memiliki analogi dengan aspek biologi tubuh manusia yaitu politik dengan sistem saraf, ekonomi dengan sistem pencernaan, organisasi sosial dengan sistem peredaran darah, hingga agama dengan sistem pernapasan. Pemikiran ini melihat bahwa masing-masing organ pada manusia memiliki keterkaitan antara struktur dan fungsi masing-masing. Ada relasi atau hubungan yang sifatnya fungsional. Pemikiran Spencer tentang hubungan antara struktur dan fungsi ini menjadi salah satu argumen dari aliran struktural fungsional dalam antropologi. Pemikiran dari aspek biologi ini juga mempengaruhi pemikiran dari pendiri aliran fungsionalis struktural dalam antropologi yaitu AR Radcliffe Brown. Brown berpendapat dalam setiap kebiasaan dan kepercayaan dalam masyarakat mempunyai fungsi tertentu, yang bertujuan untuk melestarikan struktur masyarakat yang bersangkutan – susunan bagian-bagiannya yang teratur – sehingga masyarakat tersebut dapat tetap lestari.

Nah, keempat bentuk adaptif sosial budaya itu menyebabkan paradigma struktural fungsional kuat. Keempatnya menjadi penopang sebab memiliki relasi satu sama lain. Gagasan fungsionalisme struktural cenderung bersifat ajek (statis) sehingga menganggap struktur sosial cenderung ekuilibrium (seimbang). Ketika dihadapkan pada isu perubahan, maka fungsionalisme struktural seakan tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai. Inilai yang menyebabkan lahirnya berbagai kritikan sebagaimana yang disuarakan penganut paradigma konflik.

Isu perubahan sudah mulai mencuat sejak akhir abad ke-20. Masyarakat memasuki fase baru sejarah yang kian kompleks. Batasan etnisitas, bangsa kian mengalami pergeseran. Wacana globalisasi kian menguat hingga menyebabkan terjadinya peleburan batas kenegaraan atau disebut Appadurai (2004) sebagai deteritorialisasi. Appadurai melihat aktivitas kebudayaan yang kerap disebutnya sebagai imaginary atau proses imajinasi sosial. Menurutnya, iamajinasi itu dibentuk dari lima dimensi mengalirnya kebudayaan global yaitu Ethnoscapes, Mediascapes, Technoscapes, Financescapes, ideoscapes.

Istilah scape, digunakan untuk menggambarkan secara lebih dalam konstruksi perspektif yang ada dalam sejarah, linguistik, dan politik, yang diperankan secara berbeda oleh sejumlah aktor dalam konteks nation-state, multinasional, komunitas diasporik. Ini juga termasuk kelompok sub nasional yang berpindah-pindah seperti halnya agama ataupun ekonomi politik. Gagasan ini berasal dari Benedict Anderson yang terkenal dengan tesisnya tentang imagined community atau komunitas terbayang.

Pola-pola restrukturisasi ekonomi, rasionalisasi, migrasi, dan mobilitas ini melahirkan identitas baru, baik etnik, reginal, nasional, dan migran yang berorientasi pada konsumen dan media. Mike Fischer dan Marcus (1986) menyebut pristiwa ini sebagai krisis representasi yang harus segera mendapatkan respon dari para antropolog. Ini menyebabkan terjadinya pergeseran pada etnografi. Menurut Marcus, harus ada imajinasi ulang (reimagining) terhadap frame holistik agar etnografi senantiasa sensitif dalam merespon perubahan dari lanskap dunia yang terus berubah.

Jika sebelumnya, perspektif tentang holistik hanya terbatas pada satu struktur sosial, kini harus mengalami pergeseran. Robert Thornton (1988:288) mengatakan, pandangan holistik harus bergeser pada upaya untuk mengenali totalitas yang ada pada satu kebudayaan. Pandangan holistik menuntut seorang peneliti antropologi untuk mengkaji setiap aspek idiosinkratik dari suatu kebudayaan. Idiosinkratik bisa didefinisikan sebagai penjelasan tentang hal-hal yang spesifik atau unik dalam setiap kebudayaan. Artinya, seorang peneliti memfokuskan dirinya untuk mengkaji satu kebudayaan dan menggali informasi yang sebanyak-banyaknya serta melihat keterkaitan antara setiap aspek dalam kebudayaan tersebut.

Pandangan holistik harus ditempatkan sebagai kritik dan pengkajian sebuah kebudayaan secara menyeluruh atau totalitas dan ditempatkan pada relasinya dengan unsur lain. Kata Marcus, ini berarti etnografi akan lebuh banyak “berbicara lebih jauh” (say more) di banding apa yang ada di permukaan. Analisa holistik yang sangat mendalam membatasi peneliti hanya mengkaji satu kebudayaan saja karena tidak ada kebudayaan lain yang dapat diperbandingkan untuk semua unsur detail dari kebudayaan yang dikaji.(*)


5 komentar:

Neng Bizk mengatakan...

Wuah tulisan KK Yusran sungguh berati untuk menjadi referensi tugas Pengantar Antropologi saya. Saya izin mengadopsi ya

Anonim mengatakan...

info ini sangat berguna bagi saya dalam mencari berbagai definisi holistik...trims

Adji Kalimasada mengatakan...

astagfirullah..ga bisa di copy paste..

Hajeh mengatakan...

hmm

Unknown mengatakan...

sangat suka dengantuisan abangQ ini,

Posting Komentar