“Why Nations Fail”: Sintesis Ide-Ide, dan Gaya Penulisan

sampul Why Nations Fail yang ditulis Acemoglu dan Robinson

SATU-satunya buku ekonomi makro yang tak pernah bosan saya baca adalah buku Why Nations Fail, diterjemahkan dengan judul Mengapa Negara Gagal, yang ditulis Daron Acemoglu dan James A Robinson. Saya menyenangi banyak hal dalam buku ini. Mulai dari narasi yang memikat, argumentasi yang logis, serta banyaknya data-data yang menopang agumentasi.

Saya mencatat kalau buku ini adalah buku ekonomi yang paling sering saya bawa ke mana-mana, paling sering hilang, lalu paling sering dibeli lagi. Kebiasaan saya adalah selalu membawa-bawa buku yang saya sukai. Saya membacanya dalam banyak kesempatan, saat menunggu bis dan kereta, menunggu seseorang, atau saat lagi di kantor. 

Kadang kala, buku ini tercecer di satu tempat. Saya lalu membelinya lagi sebab buku karya Acemoglu ini selalu menempati top list dari buku yang saya sukai, sembari berharap agar kelak bisa menulis buku dengan kualitas seperti ini.

Telah banyak yang menulis preview tentang buku yang ditulis oleh profesor ekonomi di MIT dan Harvard University ini. Kita dengan mudah bisa menemukannya di berbagai jurnal ilmiah serta berbagai publikasi lainnya. Buku ini sungguh berbeda dengan beberapa buku ekonomi lainnya yang sangat kaku dan penuh istilah-istilah. Buku ini bisa dipahami berbagai disiplin ilmu lainnya, sebab penjelasannya tak melulu ekonomi.

Penulisnya menggabungkan berbagai sintesis ide-ide dalam ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, bahkan gegografi dan arkeologi demi membangun argumentasi atas fenomena yang disaksikannya. Penulis hendak menjelaskan pertanyaan mengapa ada negara yang makmur dan mengapa ada yang menjadi negara miskin. 

Pertanyaan penelitian ini sangat berbau ekonomi, tetapi metode untuk menjawabnya adalah menggunakan data-data sejarah, lalu menganalisis banyak hal semisal budaya, politik, kondisi sosial, hingga faktor-faktor geografi. Yang tersaji kemudian adalah banyaknya data yang disistematisir dengan cara memikat.

Kali ini, saya tak ingin fokus pada beberapa ide yang bisa ditemukan dalam buku ini. Saya ingin menelaah bagaimana gaya menulis di buku ini. Siapa tahu ini bisa menjadi rekomendasi atau rujukan bagi para ilmuwan untuk menulis dengan style seperti ini. Dalam bacaan saya selama beberapa kali, saya menemukan beberapa hal menarik yang bisa menjelaskan tentang bagaimana ide-ide dalam buku diorganisir.

Pertama, gaya menulis induktif. Buku ini tidak dimulai dari berbagai teori besar tentang kemakmuran. Tadinya saya mengira, penjelasan buku ini akan dimulai dari Adam Smith, David Ricardo, atau Keynes, para pemikir yang meletakkan landasan ilmu ekonomi tentang kesejateraan dan kemakmuran. 

Penulisnya memulai dari sesuatu yang spesifik, lalu membangun penjelasan sesuatu yang umum. Buku ini memulai dari data-data sejarah satu wilayah, lalu mengomparasikannya dengan data sejarah wilayah lain yang hampir identik. 

Pada bab satu, penulis menjelaskan tentang kota Nogales yang terbagi dua, satu masuk wilayah Arizona, Amerika Serikat, satu lagi masuk wilayah Sonora, Mexico. Dua kota ini memiliki masyarakat dengan kebudayaan yang sama. Sejarah panjangnya juga sama, hingga akhirnya terpisah secara politik. Penduduk Nogales yang berada di Amerika Serikat sangat makmur. 

Mereka memiliki kesempatan kerja dan berusha yang lebih baik. Akses pendidikan dan kesehatan sangat baik. Iklim bisnis terbangun dengan baik sebab pemerintah menyediakan banyak insentif bagi para pengusaha. Situasi yang sangat berbeda ditemukan pada kota Nogales di Mexico. Di sini, penduduknya miskin, tak ada akses pada pendidikan dan kesehatan, serta tak adanya perhatian pemerintah pada warganya.

Fakta-fakta ini lalu dijelaskan lebih mendalam. Penulis membahas bagaimana sejarah masa silam, kolonialisme yang memisah dua wilayah ini, hingga argumentasi mengapa tingkat kemakmurannya berbeda. Dari satu kepingan fakta, analisis lalu menembus kepingan fakta itu demi melihat berbagai kekuatan yang tak terlihat, khususnya aspek politik dan ekonomi.

Pada bab kedua, para penulis membedah berbagai hiptesis tentang kemakmuran. Mereka memberikan deskripsi, mulai dari teori hipotesis geografi, hipotesis kebudayaan, dan hipotesis kebodohan. Pada semua hipotesis, terdapat barisan ilmuwan yang menyokong hipotesis itu. Penulis lalu mendiskusikan semua hipotesis lalu membantahnya dengan berbagai fakta-fakta dan temuan lapangan. Sangat menarik.

Bab ketiga membahas perekonomian di Korea Utara dan Korea Selatan. Kembali, penulis memulai dengan kisah. Kali ini tentang pertemuan dua bersaudara yang terpisah di dua negara itu. Keadaannya sangat berbeda, bagai bumi dan langit. Perbedaan tingkat kemakmuran itu disebabkan oleh perbedaan institusi ekonomi berikut tata hukum atau perundangan yang mempengaruhi mekanisme ekonomi dan insentif bagi rakyat.

sampul edisi bahasa Indonesia

Yang dibahas adalah institusi ekonomi ekstraktif dan inklusif. Ekstraktif mengandalkan pada upaya memeras, mengeruk, menyadap, dan menghisap kekayaan satu lapisan demi memperkaya lapisan lainnya. Inklusif adalah menciptakan pasar yang berkeadilan, memberi kebebasan bagi rakyat untuk memilih pekerjaan, serta arena persaingan yang adil bagi siapa saja. 

Bagaimana cara membahasnya? Dengan mengolah berbagai data, melihat life history warga di kedua wilayah itu, lalu membahas bagaimana mekanisme ekonomi.

Bab-bab yang lain juga dibangun dengan pendekatan serupa. Mengedepankan fakta dan data-data lalu membangun argumentasi untuk menelaah, menganalisis, dan membanding-bandingkan berbagai data.

Kedua, parafrase dan style kepenulisan. Buku ini diniatkan sebagai buku ilmiah populer. Cara penulisannya pun mengacu pada gaya yang populis, tetapi tetap dalam sentuhan ilmiah yang padat, informatif, dan kaya. Gaya menulisnya berbeda dengan jurnal ilmiah. Di jurnal ilmiah, kita sering menemukan petikan informasi tentang buku, nama pengarang, dan tahun terbit. Buku ini tak seperti itu. Kalaupun membahas buku, maka semuanya dijelaskan ulang dalam perspektif penulisnya. Nanti pada bab akhir, penulis lalu mnyiapkan panduan buku-buku apa saja yang menginspirasi di setiap bab.

Setiap informasi, dijelaskan kembali dalam bentuk parafrase. Tak ada kutipan langsung dalam buku ini. Semua informasi dijelaskan kembali oleh penulisnya secara orisinil. Dengan cara demikian, buku ini menjadi sangat mengalir serupa sungai. 

Bagi para penulis pemula, parafrase adalah keterampilan yang harus dikuasai agar tidak terjebak dalam tindakan copy-paste. Bagi saya, cara terbaik untuk melaukan parafrase adalah membaca kutipan itu secara seksama, menulisnya di buku catatan, berusaha memahaminya, lalu menuliskan kembali dengan cara kita sendiri.

Di Indonesia, tak semua sarjana bisa membuat parafrase. Banyak sarjana yang terbiasa mengutip-ngutip nama tokoh dan pemikirannya. Padahal, di dalam setiap kutipan, terdapat jantung ide-ide yang hendak menjelaskan sesuatu, yang kemudian dijejalkan dalam kata-kata. 

Jika seseorang tak memahami dengan baik kutipan itu, maka parafrase yang dibuat pasti akan melenceng. Demi mendudukan persoalan dengan adil, biasanya ada catatan kaki yang menunjukkan kutipan asli. Dalam buku ini, tak perlu catatan kaki. Membaca banyak paragraf, terlihat kalau penulisnya sangat memahami apa yang dibahas.

Ketiga, pandangan holistik. Yang saya kagumi dalam buku ini adalah penjelasan tentang satu aspek dilihat dari berbagai perspektif, serta dari kurun waktu sebelumnya. Saat membahas satu negara, penulis tidak menempatkan negara itu hanya dari waktu sekarang, tetapi juga melihat bagaimana masa silam, dinamika aktor, hingga bagaimana relasinya dengan daerah sekitarnya.

Di bab enam yang membahas Eropa, saya sangat tertarik membaca kepingan informasi tentang Venesia. Di situ digambarkan tentang perekonomian Venesia yang hebat pada tahun 810 Masehi sebab ditopang oleh institusi ekonomi inklusif yang canggih di masa itu. Selanjutnya, terjadi huru-hara politik serta upaya dari penguasa wilayah itu untuk melancarkan siasat isolasi ekonomi, munculnya bangsawan yang ingin berkuasa penuh, hingga pemerintah yang serakah, telah membuat ekonomi Venesia terpuruk.

Yang mengejutkan buat saya adalah saat membaca bab sembilan, yang menjelaskan tentang Maluku yang kaya rempah-rempah, lalu kedatangan VOC, perusahaan Belanda. Perdagangan rempah-rempah itu takluk dalam kontrol Belanda yang menginginkan monopoli dagang. 

Penguasa lokal tak bisa memanfaatkan keunggulan sumber daya itu menjadi kekuatan, yang lalu tunduk pada kolonialisme Eropa. Warisan dari kolonialisme itu adalah feodalisme para penguasa lokal, ketiadaan inovasi dan hasrat untuk maju, lalu yang lebih parah adalah tragedi kurban manusia di tengah kemelut dan peperangan. Secara tidak langsung, Belanda memutus kejayaan perdagangan yang dirasakan kerajaan-kerajaan lokal pada era sebelumnya

Demi menjelaskan institusi ekonomi dan politik, para penulis menelaah sejarah berbagai negara. Mereka hendak menunjukkan klau di tangan penguasa yang serakah dan memperkaya diri sendiri, masa depan satu bangsa bisa menjadi terpuruk. Pelajarannya, sejarah menyediakan mata air inspirasi yang penting bagi generasi masa kini untuk memahami tumbuh dan berkembangnya setiap negara.

Saya mengagumi analisis tentang kemakmuran di masa silam, dengan cara melihat lapisan es di Greenland. Serpihan salju yang turun dari langit pasti ditempeli unsur polusi dan atmosfer, berupa timbal, perak, dan tembaga. Salju lalu membeku dan menumpuk dari tahun ke tahun 

Dalam Greenland Ice Core Project, lapisan es itu lalu dianalisis hingga kedalaman 3.030 meter. Unsur dalam lapisan itu menjelaskan apa yang terjadi dalam peradaban hingga 250.000 tahun. Makanya didapat kesimpulan kalau partikel debu yang mengandung perak, emas dan tembaga makin tinggi intensitasnya hingga abad ke-1 Masehi. 

Namun, partikel itu baru muncul lagi pada abad ke-13. Temuan itu menjelaskan bahwa intensitas pertambangan Romawi pernah mencapai kejayaan pada masa sebelum dan seudahnya. Ini membuktikan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Sayangnya, kemajuan itu tidak dibarengi penguatan institusi politik dan ekonomi.

***

MASIH banyak hal yang bisa dilihat sebagai style kepenulisan dalam buku ini. Satu ciri yang saya kagumi dalam buku-buku yang dibuat ilmuwan asing adalah sedemikian kayanya literatur dan kajian mereka. Bagi saya, kerja-kerja seperti itu hanya bisa dihasilkan di satu atmosfer kerja yang penuh literatur bermutu. Saya tak terlalu terkejut mereka bisa menulis sedalam itu. Saya pernah menyaksikan betapa kayanya literatur yang dikumpulkan di banyak kampus di Amerika Serikat. Kenyataan ini sungguh berbeda dengan koleksi buku-buku yang dimiliki perpustakaan di tanah air.




Di tambah lagi, iklim akademi di tanah air kita seakan membangun demarkasi antar disiplin ilmu sehingga sulit melahirkan satu publikasi yang sedemikian kaya perspektif dan mendalam. Menurut saya, kekakuan antar disiplin ilmu harus diterabas. Sains harus dikembalikan pada tujuannya yakni menjawab keingin-tahuan manusia atas satu aspek, bukannya membangun feodalisme seolah-olah ilmu identik dengan sekelompok orang.

Membaca buku seperti Why Nations Fall ini menjadi tamasya yang mengasyikkan di saat libur. Saat membacanya, saya merasa berpetualang ke banyak negeri, mengamati lintasan sejarah, bertemu banyak sosok-sosok sejarah, lalu menjawab pertanyaan mengapa ada bangsa yang kaya-raya, dan ada bangsa yang miskin.

Jawabannya terletak pada sejauh mana warga bangsa itu memberikan jawaban atas dinamika politik dan ekonomi yang dihadapi melalui institusi dan kelembagaan. Mereka yang punya visi, akan membangun kelembagaan yang memberikan ruang bagi banyak kalangan untuk maju dan kaya-raya. Mereka yang picik akan merekayasa kelembagaan itu hanya untuk mempertahankan kekayaan pada diri dan kelompoknya, hingga akhirnya ekonomi kolaps dan gagal.


Bogor, 1 Juli 2016



0 komentar:

Posting Komentar