toko buku Half Price di Columbus |
JIKA
kau bertanya padaku seperti apakah gerangan surga, maka akan kujawab bahwa
surga itu adalah sebuah tempat yang dipenuhi ribuan buku-buku. Surga adalah
sebuah tempat di mana segala hasrat untuk membaca, membolak-balik buku, hingga
mencium wanginya buku-buku baru bisa terpenuhi.
Kemarin,
saya seakan menemukan surga itu saat mengunjungi sebuah toko buku yang cukup
besar di Columbus, Ohio. Tempat ini mengejawantahkan segala hal-hal yang paling
saya inginkan atas bacaan. Di situ, saya menyaksikan, ribuan buku, baik baru
maupun lama, tempat-tempat membaca dan mendongeng untuk anak-anak, hingga
beragam koleksi yang dipilah-pilah berdasarkan jenis dan minat baca.
Nama
toko itu adalah Half Price. Dari namanya, semua buku yang dijual di sini adalah
separuh harga. Memang, buku ini menerima semua jenis buku loakan atau buku yang
sudah dibaca. Pantas saja jika mereka berani measang harga murah. Namun,
kualitas buku-bukunya sangatlah bagus. Antara buku bekas dan buku baru seolah
tak bisa dibedakan.
suasana di dalam toko buku |
Saya
memperhatikan, pihak toko buku menata lemari dalam posisi yang berbeda dengan
penataan buku di toko Gramedia di tanah air. Jika di Gramedia, buku hanya
ditata berdasarkan kategori semisal sastra, ilmu sosial, atau fiksi, maka di
toko Half Price, rak-rak yang disusun berdasarkan kategori dan membentuk
lorong-lorong.
Saat
memasuki toko buku ini, saya serasa memasuki sebuah mall, di mana di dal1amnya
terdapat banyak kios atau los. Nah, di setiap ‘kios’ itu terdapat kategori
semisal buku agama. Di situ, kita bebas membaca dan bahkan duduk di kursi yang
disediakan. Saya melihat ada banyak ‘kios’ misalnya agama, filsafat, science
fiction, biografi, sejarah. Kategorisasi seperti ini tidaklah baru. Yang saya
anggap baru hanyalah konsep ‘kios-kios buku’.
'kios' buku Religion atau agama |
Saya
pikir ini adalah satu cara yang kreatif dan memudahkan untuk menemukan buku
yang sesuai. Saya juga singgah ke koleksi anak-anak. Saya melihat ada meja-meja
serta kursi kecil. Di situ, ada seorang ibu serta seorang wanita yang
membacakan sebuah buku dongeng bagi seorang anak kecil berkepang dua yang duduk
di situ.
Saya
juga melihat jenis buku audio yang isinya adalah rekaman suara seseorang yang
membacakan buku tersebut. Saya teringat tentang pengarang Harry Potter, JK
Rowling, yang sering diundang untuk membacakan dongeng. Mungkin, dalam banyak
situasi, anak-anak lebih suka dibacaan dongeng, sebab imajinasinya bisa
melanglangbuana ke mana-mana, sembari tetap fokus pada mimik, ekspresi serta
jalinan cerita yang dikemukakan seorang pembaca dongeng.
Konsep
audio book sangatlah populer di Amerika Serikat (AS). Padahal, sewaktu saya
masih kecil di Buton, hampir setiap sore, saya mendengarkan kisah sandiwara
radio yang kebanyakan setting-nya adalah sejarah. Saah satu favorit saya adalah
Tutur Tinular yang mengambil setting
ketika Kerajaan Singosari runtuh pada abad ke-13, lalu Kerajaan Majapahit kemudian
muncul sebagai salah satu kerajaan paling besar di Nusantara. Tanpa sadar, saya
belajar banyak tentang sejarah melalui kisah sandiwara radio tersebut.
saat seorang anak dibacakan dongeng |
konsep buku yang dikemas sebagai hadiah |
ini bukan buku, melainkan audio book Harry Potter |
Nah,
kisah sandiwara radio memiliki kemiripan konsep dengan audio book. Malah,
sandiwara radio jauh lebih dahsyat, sebab di situ ada kombinasi antara dialog, cerita
berupa perkelahian ataupun perjalanan yang diikat dalam satu narasi yang kokoh
dan musik yang menghentak serta terkadang menyayat-nyayat. Jika di Amerika
konsep audio book sedang naik daun, maka sesungguhnya di tanah air kita, konsep
sandiwara radio lebih interaktif dan mengasyikkan. Sungguh amat disayangkan
karena konsep ini kemudian seolah ditinggalkan.
Saya
menikmati proses menenggelamkan diri pada samudera buku di Half Price. Namun
saya juga didera kekhawatiran bahwa di masa-masa mendatang, aktivitas ini akan
lenyap. Sebab konsep toko buku mulai dianggap usang bagi warga Amerika.
Buktinya, toko buku terbesar Borders Group ditutup setahun silam karena tak
sanggup mengantisipasi trend penjualan secara online serta trend e-book yang
lagi marak. Konsep penjualan buku lewat online sebagaimana yang ditempuh Amazon serta Barnes and Noble yang sedang menjadi trend.
Mungkin
kelak akan ada masa ketika membuka-buku buku akan menjadi satu aktivitas yang
mewah. Mungkin kelak, lembaran-lembaran buku hanya akan menjadi kenangan
seiring dengan kemajuan teknologi. Membayangkannya, saya tiba-tiba saja
dirayapi perasaan sedih. Betapa romantisnya saat-saat ketika membeli atau
menemukan buku yang diinginkan, membuka-buka lembarannya, membaui aroma khas
buku, lalu membacanya dengan pelan-pelan, dengan kenikmatan ala menjilati es krim, semakin lama akan semakin nikmat.
Perasaan
itu sedemikian membahagiakan. Perasaan itu sedemikian memikat. Pada saat menemukan
buku yang diinginkan, saya seolah tidak sedang memijak bumi. Bukankah saat itu
saya sedang berada di surga?
Athens, 13 Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar