Nyanyi Sunyi Kemerdekaan


67 tahun Indonesia merdeka

Negeri ini semestinya merayakan rasa malu kepada pendahulunya. Semangat terkepal untuk memajukan bangsa 67 tahun lalu, kini hanya menjadi slogan untuk pembakar semangat. Antara masa lalu dan masa kini, tak ada perbedaan yang substansial sebab negeri ini masih saja bergelut dengan persoalan yang sama. 67 tahun silam, anak bangsa bertekad memajukan rakyat yang miskin dan terbelakang akibat ditindas oleh cengkeraman kolonialisme. Kini, kemiskinan dan keterbelakangan itu masih sangat mudah ditemukan di mana-mana, semudah membalikkan telapak tangan.

67 tahun Indonesia merdeka

Dulunya kolonialisme berbendera VOC dan berwajah sangar ketika menghardik anak negeri, kini kolonialisme berganti rupa dengan bendera perusahan multinasional. Mereka berwajah santun, khususnya ketika menyogok pemerintah dan pejabat lokal demi mendapatkan kuasa pertambangan dan mengeruk sesuka-sukanya. Kini, penjajah berwajah tampan, blasteran, yang setiap kemunculannya selalu menghadirkan histeria massa. Mereka hadir laksana bintang sinetron yang baik, kemudian mengeruk hasil bumi dan menyisakan sampah yang harus dimakan oleh anak negeri.

67 tahun Indonesia merdeka

Negeri ini seolah tak pernah beranjak dan terus saja jalan di tempat, tanpa menyerap hikmah dari ceceran perjalanan sejarah bangsa sejak mengumandangkan kemerdekaan. 67 tahun yang lalu, kaum cerdik cendekia mendengungkan semangat perubahan bagi negeri ini. Kini semangat perubahan itu hanya menjadi nyanyian pengiring bagi karnaval anak kecil yang membawa bendera merah putih. Kalimat perubahan itu tidak menjelma menjadi darah dan daging serta sumsum perubahan yang semestinya dibumikan para pemimpinnya. Para pemimpin hanya menjadikan semangat itu sebagai nyanyian pengantar tidur bahwa ini negeri besar, bahwa ini negeri yang sungguh kaya raya dengan hasil bumi. Dan keesokan harinya, pemimpin itu kemudian tersenyum dan mengemis pada bangsa asing. Keesokan harinya menjual mineral yang ada di perut ibu pertiwi.

67 tahun Indonesia merdeka

Banyak berdiri gedung pencakar langit, banyak berseliweran parade mobil mewah. Setiap harinya adegan kemewahan dipertontonkan di televisi. Sementara jutaan anak negeri lainnya masih mengais sampah demi menyambung hidup, masih menangis tersedu-sedu di kala malam tatkala perut lapar melilit, masih harus menjadi maling karena tak mampu mencukupi nafkah. Serta masih banyak anak negeri yang bunuh diri karena lapar.

67 tahun Indonesia merdeka

Perut ibu pertiwi masih kaya dengan sumber daya alam. Akan tetapi semuanya diraup bangsa lain. Sementara anak negeri hanya menjadi penonton dan tak bisa berkata apa-apa. Para pemimpin sibuk memperkaya diri dan membangun istana-istana kemewahan di mana-mana. Para pemimpin sudah tidak peduli dengan tangis orang miskin. Setiap harinya, para pemimpin pongah dengan mobil mewah yang dikendarainya dan di saat bersamaan masih saja sibuk meneriakkan “peduli rakyat kecil.”

67 tahun Indonesia merdeka

Para intelektual dan cerdik cendekia masih menjadi stempel dari berbagai keserakahan pemimpinnya. Intelektual sibuk kongkalikong biar jadi pegawai atau dosen, sibuk mengejar proyek demi merayakan hidup mewah seperti para pejabat. Para intelektual tidak lagi memiliki tangis lirih untuk mereka yang biasa ditindas. Kaum intelektual sudah buta mata dan buta hati. Mereka mengaku intelektual, padahal gelar itu hanya menjadi gelar kebangsawanan. Gelar profesor gampang dibeli semudah membeli jabatan atau gelar di pemerintahan. Para intelektualnya semua karbitan dan hanya menjadi kayu bakar dari proses pembodohan di negeri ini.

67 tahun Indonesia merdeka

Para ulama sudah tidak peduli dengan umatnya. Ke mana-mana pidato dengan naik mobil mewah dan hanya menjadi juru kampanye dari pejabat korup negeri ini. Ulama sudah seperti pengemis dan sibuk menadahkan tangan ke sana-sini denganj cara menjadi tim sukses. Kalimat Tuhan sudah tidak sakral lagi sebagai bahasa kebenaran bagi rakyat, namun menjadi alat kekuasaan demi memenangkan sebuah rezim. Ulama sudah tidak mau lagi mendengarkan tangis sedu-sedan umatnya sendiri. Ulama sibuk mencari cara agar kaya raya.

67 tahun Indonesia merdeka

Negeri ini kehilangan rasa malu. Kehilangan malu kepada Tuhan, malu pada sejarah, serta kehilangan malu kepada seluruh manusia yang mendiami ibu pertiwi ini. Kemerdekaan menjadi nyanyi sunyi. Hanya jadi seremonial yang membahana, namun sepi dari hikmah, kearifan, kontemplasi, dan penghargaan masa silam, serta sunyi dari harapan akan masa depan. Apakah anak cucu kita kelak tidak sedang mengutuk kita di masa kini yang tak tahu bagaimana menjaga warisan sejarah?


Athens, 17 Agustus 2012

1 komentar:

Unknown said...

Saya ingin berbagi cerita kepada anda bahwa saya ini HANDAYANI seorang TKW dari malaysia dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar IBU DARNA yg dari singapur tentan AKI SYHE MAULANA yg telah membantu dia menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomor toto 6D dr hasil ritual/ghaib dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.230.000 Ringgit ,kini saya kembali indon membeli rumah dan kereta walaupun sy Cuma pembantu rumah tanggah di selangor malaysia , sy sangat berterimakasih kepada AKI SYHE MAULANA dan tidak lupa mengucap syukur kepada ALLAH karna melalui AKI MAULANA saya juga sudah bisa sesukses ini. Jadi kawan2 yg dalam kesusahan jg pernah putus asah, kalau sudah waktunya tuhan pasti kasi jalan asal anda mau berusaha, ini adalah kisah nyata dari seorang TKW, Untuk yg punya mustika bisa juga di kerjakan narik uang karna AKI MAULANA adalah guru spiritual terkenal di indonesia. jika anda ingin seperti saya silahkan kunjungi situs/website AKI MAULANA ~>KLIK DISINI<~  yg punya rum terimakasih atas tumpangannya.

Post a Comment