ilustrasi |
DI
suatu biara pertapaan, seorang master Zen selalu memimpin meditasi. Ia
senantiasa membiarkan kucing kesayangannya duduk di sebelahnya. Hingga akhirnya
ia meninggal, para murid tetap membiarkan kucing itu tetap berada di ruang
meditasi. Hingga suatu hari, kucing itu pun ikut mati.
Para
murid tetap menganggap bahwa kucing adalah bagian penting dari proses meditasi.
Mereka tetap menghadirkan kucing dalam ruang meditasi. Seorang murid berujar
bahwa dirinya telah berkeliling dunia dan melihat kelas-kelas meditasi.
Katanya, kucing adalah elemen penting untuk melatih konsentrasi.
Kemudian
berdatanganlah para ilmuwan yang kemudian menulis tentang pentingnya sosok kucing
dalam meditasi. Mereka membuat studi mengenai pengaruh kucing pada upaya menghadirkan
ketenangan dan konsentrasi. Ketika kucing mengeong, maka itu dianggap sebagai
ujian pada konsentrasi. Masyarakat lalu memuji-muji kecerdasan guru sebelumnya yang
menghadirkan kucing. Masyarakat lalu menganggap itu sebagai satu-satunya
kebenaran.
Seratus
tahun berikutnya, terdapat seorang guru yang alergi dengan bulu kucing. Ia lalu
menyingkirkan kucing itu dalam proses meditasi. Meskipun ditentang masyarakat,
ia ngotot untuk menyingkiran kucing. Meditasi tetap berjalan sebagaimana biasa,
tanpa ada gangguan sedikitpun. Setelah dua puluh tahun, datanglah para ilmuwan
untuk membuat riset tentang pentngnya meditasi tanpa kehadiran kucing. Semua
lalu memuji-muji sebagai penemuan.
Sang
guru baru itu telah mengadakan sebuah revolusi. Ia mengubah tradisi yang sempat
bertahan selama lebih seratus tahun. Ia mengembalikan sesuatu pada esensinya.
Selama seratus tahun, tak satupun yang pernah menggugat, mengapa harus ada
kucing dalam satu meditasi. Tak satupun yang menggugat satu tradisi, yang
sejatinya tak punya makna. Guru itu adalah sosok yang berani mempertanyakan
ulang sesuatu yang selama ini dianggap sebagai kebenaran.
***
Saya
menemukan kisah ini dalam buku Paolo Coelho yang berjudul Like the Flowing River. Hikmah yang menohok diri adalah
jangan-jangan kita adalah bagian dari manusia-manusia yang sekadar menerima
begitu saja konvensi sosial, tanpa mempertanyakanya secara kritis. Kita
seringkali hanya mengiayakan atas apapun yang dikatakan orang, tanpa memelihara
sikap kritis.
Kita
sering memosisikan diri kita sebagai budak yang tunduk begitu saja atas sesuatu
yang dimapankan dalam satu sistem sosial. Kita sering tak berani berpikir
berbeda dari apa yang dipikirkan kebanyakan orang. Kita tak punya nyali untuk
mencoba sesuatu yang baru, dan menemukan jalan pedang sendiri pada sesuatu yang
kita yakini.
Pada
akhirnya, revolusi selalu lahir dari mereka yang berpikir unik, mereka yang
berpikir merdeka, melihat masa lalu secara kritis demi merencanakan masa depan.
Revolusi tak akan pernah lahir dari pribadi yang tunduk pada kebenaran versi
banyak orang. Revolusi akan lahir dari mereka yang membebaskan dirinya dari
konvensi sosial, mereka yang berani menarik jarak, dan mereka yang selalu
berpikir terbuka pada segala hal baru.
Lantas,
di manakah posisi kita?
Athens, 4 Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar