Menculik Semesta, Memenjara Kenyataan


Suatu Senja di Athens (foto: Nanang Erma Gunawan)

DALAM dua minggu ini, aku menginginkan sebuah kamera. Aku ingin belajar satu kemahiran baru yakni membingkai keindahan pada satu frame atau bingkai. Aku ingin belajar fotografi. Aku ingin menculik satu keindahan semesta, dan memenjarakannya lewat frame foto.

Selama beberapa tahun, aku menyenangi foto, namun belum tertarik untuk belajar. Saat ini, keinginan itu mulai meluap-luap. Aku ingin menemukan tantangan baru ketika mengabadikan satu bingkai kenyataan yang kemudian disimpan rapi di layar computer. Menurutku, yang paling penting bukanlah mengabadikan sebuah momen. Tak penting untuk menyimpan kenangan atas sesuatu. Yang jauh lebih penting adalah upaya untuk menyampaikan sesuatu. Fotografi adalah upaya untuk berkomunikasi.

Menurutku, para fotografer adalah mereka yang amat santun untuk menyampaikan pendapat, tidak melalui jejalan kata-kata yang berbaris rapi, namun melalui gambar-gambar. Mereka berbicara lewat foto. Pada dasarnya, foto itu jadi sebuah artefak biasa yang tak berbeda dengan artefak lainnya. Namun, ada kisah, ada cerita, ada kenangan, ada pendapat, ada opini, romansa, nostalgia, atau mungkin sebuah pahatan ingatan yang hendak bertutur tentang sesuatu.

Foto karya Eddie Adams yang kemudian mengubah perang Vietnam.
Fotografi hanya bermakna bagi mereka yang tersentuh hatinya. Mungkin kedengarannya sepele. Tapi tahukah Anda bahwa sebuah foto yang dipublikasikan bisa mengubah pendapat seluruh warga dunia? Baiklah. Kukisahkan sebuah foto yang dibuat Eddie Adams. Foto ini memenangkan Pulitzer, penghargaan tertinggi di dunia jurnalistik. Foto ini menjadi sembilu yang menikam perasaan semua orang tentang betapa jahatnya peperangan. Adams memotret Jenderal Nguyen Ngoc Loan, seorang anggota polisi Vietnam, yang hendak menembak Nguyen Van Lem, seorang prajurit Vietcong.

Foto ini menguatkan kredo atau pandangan bahwa “a picture is worth one thousand words.” Sebuah gambar lebih bernilai ketimbang ribuan kata-kata. Lewat foto ini, Adams berhasil mengetuk hati semua orang bahwa peperangan hanya menyisakan nestapa dan tragedi manusia. Foto ini menjadi ikon anti-perang, yang disebut Adams sebagai ‘upaya membunuh jenderal itu dengan kamera.’

Foto karya Kevin Carter tentang kelaparan di Sudan. Foto ini membuat Kevin memilih bunuh diri karena merasa bersalah

Selembar foto adalah percikan konsep, pemikiran, serta ide-ide. Sebuah foto ibarat pestol yang menembak hati orang lain. Namun, foto bisa pula menjadi pestol yang menembak sang fotografernya sendiri. Itu terlihat pada Kevin Carter. Sebuah foto jurnalistik yang dibuatnya tentang kelaparan di Sudan, akhirnya mememangkan banyak penghargaan, namun juga menjadi penyebab mengapa Carter akhirnya bunuh diri.

Ia tak tahan dengan pertanyaan yang menusuknya; “Apa yang Anda lakukan sebagai fotografer ketika melihat anak yang meregang nyawa karena lapar dan ditunggui burung kondor? Apakah Anda hanya akan memotret dan pergi?”

Sebuah foto memang menyimpan kisah, esai, serta gagasan filosofis. Foto itu tak penting. Yang penting adalah ide dari manusia di belakang kamera tersebut. Foto itu hanyalah representasi dari apa yang sedang dipikirkan, sekaligus apa yang ingi disampaikan. Yang kusukai dari fotografi adalah adanya universalitas atau cara pandang yang sama. Tak peduli bahasa dan kebudayaan yang menjadi latar seseorang, namun saat melihat foto, semua orang bisa menemukan bahasa yang sama. Semua orang tiba-tiba berada pada persimpangan yang sama untuk memahami sebuah gambar.

Jika aku menjadi fotografer, apa yang ingin kusampaikan? Aku belum punya ide. Mungkin, aku tak muluk-muluk. Aku hanya ingin bercerita dan berbagi atas apa yang kulihat. Tak lebih.(*)


Athens, 29 Agustus 2012



0 komentar:

Posting Komentar