KULIAH
akan segera dimulai. Tak ada lagi saat untuk bermalas-malasan dan menentukan
hendak bangun jam berapa. Kembali, waktu akan bergegas. Seminggu ini, kampus
mendadak ramai dengan banyak mahasiswa yang hilir mudik. Apartemen ramai dengan
aktivitas mereka yang hendak menghuni gedung baru, atau mereka yang hendak
meninggalkan apartemen.
Di
tengah suasana sibuk itu, saya memilih untuk tetap dengan rutinitas di Alden
Library, membuka-buka koleksi buku Asia Tenggara, membaca beberapa lembar, atau
sesekali membuat tulisan. Saya berusaha untuk mengatasi semua kebosanan agar
tidak terlanjut bersarang di kepala, agar pikiran tetap fresh dan focus pada
apa yang hendak dilakukan.
Saya
juga suka memperhatikan suasana. Beberapa hari ini, saya menyaksikan banyak
orang tua yang masuk kampus untuk menemani anaknya. Mereka menemani anaknya
yang menjalani orientasi, menemaninya menemukan apartemen yang ideal, hingga
ikut mengangkat barang di kamar baru anaknya.
Sering
saya melihatnya aneh. Di kampung saya, seorang siswa kelas satu sekolah dasar
(SD), sering merasa malu bila orang tuanya ikut mengantar sampai di depan
kelas. Saya merasakan sendiri rasa malu seorang sahabat yang ibunya ngotot
untuk berdiri di depan ruang belajar kelas satu, hingga menemani sang anak
ketika hendak pulang.
Di
sini, semuanya berbeda. Di lapangan dekat kampus, saya sering menyaksikan
anak-anak sekolah dasar yang bermain olahraga. Yang menarik, orangtuanya akan
datang dengan mebawa kursi lipat, lalu duduk di tepi lapangan demi menyemangati
anaknya. Sering, para orangtua itu bertengkar dengan wasit yang memberikan penalty
kepada sang anak.
Malah,
ada momen tertentu, di mana orangtua wajib hadir. Misalnya saat kelulusan sang
anak. Ketika orangtua tak hadir, maka si anak bisa marah dan tidak mau
berbicara kepada orangtuanya. Kehadiran orangtua adalah sesuatu yang wajib, dan
tak bisa ditawar.
Bahkan
ketika si anak mulai kuliah, orangtua akan ikut menemani anaknya. Orangtua akan mengantar anaknya, sang mahasiswa, untuk mengitari kampus. Para orangtua itu ingin
memastikan bahwa anak-anaknya belajar di tempat yang tepat, serta dibimbing
oleh orang-orang yang tepat.
Mungkin,
semua tempat memiliki kearifan masing-masing. Dahulu, saya menganggap orang
Amerika individualistis, tak peduli ikatan kekerabatan, serta tak memiliki
kedekatan emosional. Anggapan itu salah kaprah, yang entah datang dari mana.
Mungkin masyarakat di negeri kita yang banyak memelihara stereotype pada
masyarakat barat, yang sesungguhnya tidak selalu demikian. Malah, masyarakat
barat itu justru punya kearifan yang sering tak kita miliki.
Entah mengapa, kita sering diajarkan untuk membenci sesuatu yang sering tak kita pahami benar. Saya teringat tentang betapa banyaknya organisasi keagamaan yang membenci warga Amerika. Padahal, warga Amerika sendiri tak banyak tahu apa yang terjadi di luar. Para warga itu tak tahu politik, Mereka tak diajarkan untuk membenci.
Lagian, sungguh tak etis jika kebijakan politik suatu negara, langsung dinisbahkan sebagai prilaku seluruh warga. Itu sama saja dengan analogi kalau seluruh warga Indonesia suka teror, padahal yang suka melakukannya hanya beberapa gelintir orang saja. Namun, apa daya. Sikap membenci, melihat sebelah mata, serta sikap tengkar atas bangsa lain terlanjur melekat di benak banyak orang. Makanya, pengalaman, serta interaksilah yang kelak akan memperkaya pengetahuan dan pengalaman seseorang, serte kejernihannya dalam melihat sesuatu. Ia tak akan mudah dikaburkan oleh satu atau dua informasi sesat.
Maafkan saya yang sedang ingin berceloteh dengan sok serius. Kuliah
akan segera dimulai. Saya masih belum ada rencana hendak mengambil mata kuliah
apa. Saya masih selalu duduk melamun di apartemen, sembari menunggu-nunggu
sosok yang akan segera tiba di kota kecil ini.
Athens, 25 Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar