Toko Goodwill, pusat penjualan pakaian bekas di Athens, Ohio |
DI
Indonesia, banyak yang malu mengenakan pakaian bekas yang diimpor dari negara
tetangga. Bahkan beberapa pemerintah daerah hendak melarang penjualan pakaian
bekas. Mungkin, mereka malu dengan fakta memakai sesuatu yang sudah dibuang di
negara lain. Tahukah Anda bahwa warga Amerika justru menggandrungi pakaian
bekas? Tahukah Anda bahwa di Amerika terdapat banyak toko pakaian bekas?
Hari
ini saya singgah ke toko Goodwill di Athens, Ohio. Bagi warga Amerika, Goodwill
adalah toko yang identik dengan pakaian bekas pakai, namun memiliki kualitas
yang bagus. Di toko yang serupa supermarket ini, segala rupa bisa ditemukan.
Tak hanya pakaian, juga buku- lemari, kursi, mainan, ponsel, perkakas rumah
tangga, alat dapur, hingga banyak selimut.
Bersama
seorang kawan, kami mulai melihat-lihat barang. Teman saya membeli sepatu yang
dijual sangat murah. Ia juga mengincar beberapa celana jeans serta seprei untuk
dibawanya pulang. Saya sendiri mengincar beberapa alat rumah tangga.
Pernah,
seorang teman bercerita kalau dirinya pernah menemukan satu jaket kulit asli
yang harganya cuma sekitar 5 dollar. Ia beberapa kali membanggakan koleksi
jaket kulit yang dikenakannya. Katanya, jika ia membeli yang baru, maka
pastilah tak terjangkau. Namun karena membeli yang loakan, ia bisa mendapatkan
jaket dengan yang sangat murah.
suasana di dalam toko Goodwill |
BH bekas yang juga dijajakan |
Pada
intinya, pakaian bekas bukanlah hal yang memalukan di negeri seperti Amerika.
Warganya dengan penuh percaya diri juga membeli pakaian bekas dengan alasan
praktis yakni murah meriah. Sayangnya, koleksi pakaian bisa datang
silih-berganti. Belum tentu, saat ke situ, anda menemukan barang yang ingin
dicari.
Budaya
membeli pakaian bekas ini bukan hanya melanda warga Amerika. Di kampung saya,
Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, pakaian bekas dinamakan RB (baca: erbe).
Diperkirakan berasal dari kata rombengan. Entah sejak kapan istilah ini masuk
ke perbendaharaan kata orang Buton.
Lain
lagi di Makassar, Sulawesi Selatan, pakaian bekas dinamakan “cakar.” Konon,
kata cakar ini berasal dari kata “Cap Karung” sebab pakaian-pakaian bekas itu
didatangkan dari Malaysia atau SIngapura yang dikemas dalam karung-karung.
Biasanya, saat karung pakaian itu datang, orang-orang berebutan untuk mencari
koleksi mana yang terbaik. Makanya, momen pertama membuka karung ini biasanya
ditunggu-tunggu, sebelum membawa pakaian itu ke toko atau pasar.
Yang
menarik buat saya adalah sejak kapan banyak orang di Indoneia merasa malu
mengenakan pakaian bekas? Mungkin kita sedang terjebak dengan budaya
sok gengsi. Kadang kita tak ingin dianggap miskin atau dianggap terbelakang.
Membeli pakaian bekas seolah identic dengan ketidakberdayaan secara finansial
sehingga pembelinya merasa malu. Tak hanya warga yang malu, beberapa pemerintah
daerah di Indonesia sempat mengeluarkan wacana pelarangan penjualan pakaian
bekas.
Entah apa
yang dipikirkan pihak pemerintah. Mungkin mereka menganggap itu barang
selundupan yang tidak legal. Jika ini alasannya, mestinya yang dikawal adalah
memotong mata rantai distribusi. Pemerintah harus memperketat perbatasan agar
barang itu tidak masuk. Bukannya melarang penjualan di pasar.
suasana penjualan pakaian bekas di Baubau, Sultra |
BH impor |
Tapi, seperti apapun larangan itu berlaku di
Indonesia, para konsumen jelas tidak peduli dengan larangan tersebut. Mereka
jelas menginginkan barang yang murah, bermerek, meskipun itu barang bekas. Saat
pakaian itu dikenakan, tak mungkin ada yang menanyakan apakah itu pakaian bekas
atau tidak. Sepanjang itu nampak gagah, anda bisa saja mengaku bahwa itu dibeli
pada sebuah butik ternama di Perancis.
Nah, pertanyaannya, ketika warga Amerika justru
ikut-ikutan membeli dan berburu pakaian bekas, masih malukah anda untuk membeli
dan memakainya? Masihkah kita merasa terbelakang ketika warga negara maju
justru juga punya tradisi yang sama dengan kita?
0 komentar:
Posting Komentar