Seno Gumira Ajidarma |
DI
akhir tahun 1990-an, seorang sahabat bertemu sastrawan besar Pramoedya Ananta
Toer. Sahabat itu lalu bertanya pada
Pram, siapakah pengarang Indonesia masa kini yang paling disenanginya. Pram
terdiam sesaat, kemudian menjawab, “Saya
menyenangi penulis buku Matinya Seorang Penari Telanjang serta buku Saksi Mata.
Siapa namanya yaa?”
Pram
tak hapal nama pengarangnya yakni Seno Gumira Ajidarma. Ia hanya mengenali gaya
bertutur, sekelebatan ide yang ditata dalam kata-kata, dituangkan dalam
kalimat-kalimat bernas yang berisi dan menggigit, serta dikemas dalam tarian
paragraf yang aduhai.
Ketika
Pram menyebut karya Seno, bisa menjadi gambaran sejauh mana daya jelajah serta
kemampuan Seno di dunia sastra. Mungkin ia belum sehebat Pram, tapi setidaknya
ia sudah mulai menunjukkan jurus-jurus serta gaya bertarung kata yang piawai,
sebagaimana para master pengarang yang sudah mencipta bentuk kepengarangan dan
gaya bertarung dalam mencipta makna lewat kata.
Saya
pengagum berat Seno. Hampir semua karyanya saya baca. Mulai dari cerita pendek,
catatan perjalanan, analisis komik, hingga novel silat berjudul Nagabumi yang
setebal Musashi karya Eiji Yoshikawa. Seno adalah tipe penulis serba bisa yang
bisa menyimpan kata dalam benak hingga mengendap. Judul-judul cerpennya yang
tak bisa hilang dari kepalaku adalah
Sepotong
Senja untuk Pacarku, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Cinta di Atas Perahu Cadik, serta Pelajaran Mengarang.
Bulan
ini, saya kembali mengagumi Seno. Melalui blog pribadinya, ia mengumumkan
penolakannya atas penghargaan Bakrie Award 2012. Ia menolak untuk
dikait-kaitkan dengan perusahaan yang telah menyengsarakan banyak rakyat di
Sidoarjo. Mungkin, ia juga menolak untuk dikaitkan dengan kapitalisme yang
memiskinkan banyak orang dan mengayakan diri sendiri. Lewat blognya, Seno
mengumumkan:
BAGI YANG BERKEPENTINGANBersama ini saya sampaikan, bahwa saya telah menerima surat bertanggal 12 Juni 2012 dari Freedom Institute yang ditandatangani Sdr. Rizal Mallarangeng. Surat tersebut memberitahukan bahwa saya terpilih sebagai penerima Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) 2012 bidang Kesusastraan. Sehubungan dengan kemungkinan diumumkannya para penerima PAB 2012 pada tanggal yang belum saya ketahui, saya menyatakan bahwa saya telah mengirim surat bertanggal 18 Juni 2012 kepada pihak Freedom Institute, yang menyampaikan bahwa penghargaan tersebut sebaiknya diberikan kepada orang lain yang dianggap layak, karena saya tidak dapat menerimanya.Demikianlah pernyataan ini saya sampaikan, demi kelengkapan berita ketika diumumkan.Jakarta, 23 Juli 2012TertandaSeno Gumira Ajidarma
Seno
telah menambah panjang barisan sosok yang menolak Bakrie Award. Setelah Franz
Magnis Suseno, beberapa yang menolak adalah Daoed Joesoef, Sitor Situmorang,
serta Goenawan Mohammad yang telah mengembalikan penghargaan itu. Mereka telah
menunjukkan bahwa jalan menuju dunia intelektual dan dunia sastra adalah jalan pedang
yang sunyi. Mereka yang menempuh jalan pedang adalah mereka yang melakukannya
murni untuk nurani kemanusiaan, bukan untuk sebuah kategori atau penghargaan.
Inilah
jalan pedang yang dipilih Seno, sebuah jalan yang membuat saya tak henti
mengaguminya, dan menjadikannya sebagai kompas kepenulisan di jagad republik
yang kian aneh dan senantiasa menunggu para pendekar ilmu dan penyair yang bernurani dan bermartabat.
Athens, 21 Agustus 2012
1 komentar:
ikut baca ttg seno
Posting Komentar